Tanggal 1 April 2019 lalu, Menteri
Keuangan Sri Mulyani Indrawati menandatangani Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-35/PMK.03/2019
tentang Penentuan Bentuk Usaha Tetap (BUT), yang mengatur kegiatan apa saja
yang dapat dikategorikan sebagai BUT, dan apa saja kewajiban mereka dalam hal
perpajakan.
Peraturan ini disambut baik oleh berbagai
kalangan, diantaranya para operator seluler, seperti Telkomsel, Indosat, dll yang
mengharapkan kontribusi penyedia layanan Over
The Top (OTT) kepada mereka serta kesetaraan dalam hal regulasi hukum dan perpajakan.
OTT adalah layanan dengan konten berupa data, informasi atau
multimedia, yang beroperasi di atas jaringan internet milik sebuah operator
telekomunikasi. Contoh
layanan OTT diantaranya: Google,
Facebook, Twitter, Youtube, Whatsapp, Line dan lain-lain. Biasanya OTT tidak menjalin kerjasama
secara resmi dengan operator seluler
Rancangan Peraturan Menteri
Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia Tentang Penyediaan Layanan
Aplikasi dan/atau Konten Melalui Internet membagi Layanan OTT menjadi 2 (dua),
yaitu:
1.
Layanan Aplikasi melalui Internet
Layanan Aplikasi melalui Internet
didefinisikan sebagai penggunaan perangkat lunak yang memungkinkan terjadinya
layanan komunikasi dalam bentuk pesan singkat, panggilan suara, panggilan video,
surat elektronik dan percakapan daring (chatting/instant messaging)
serta layanan transaksi finansial, transaksi komersial, penyimpanan dan
pengambilan data, mesin pencari, permainan (game), jejaring dan media
sosial, termasuk turunannya dengan memanfaatkan jasa akses internet melalui
penyelenggara jaringan telekomunikasi
2.
Layanan Konten melalui Internet
Layanan Konten melalui Internet
adalah penyediaan informasi digital yang dapat berbentuk tulisan, suara,
gambar, animasi, musik, video, film, permainan (game) atau kombinasi
dari sebagian dan/atau semuanya, termasuk dalam bentuk yang dialirkan (streaming)
atau diunduh (download) dengan memanfaatkan jasa akses internet melalui
penyelenggara jaringan telekomunikasi
Layanan OTT dalam Rperkominfo
memiliki 3 (tiga) bentuk yang berbeda, yaitu perorangan Warga Negara Indonesia,
badan usaha Indonesia yang berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum dan Badan
Usaha Tetap (“BUT”), khusus penyedia layanan OTT asing.
Sebenarnya operator seluler juga
mendapatkan keuntungan karena traffic
layanan didominasi oleh OTT tersebut. Tetapi mereka mengharapkan mendapatkan
kontribusi lebih karena OTT dianggap hanya menumpang pada infrastruktur yang
dibangun oleh operator seluler. Tanpa jaringan milik operator, OTT tidak bisa
menjalankan kegiatan usahanya. Di sisi lain, jasa Short Message Service (SMS) dan telepon milik operator seluler semakin
jarang digunakan karena orang lebih memilih menggunakan layanan OTT yang bebas
biaya, cukup menggunakan data internet.
Sejumlah 267 juta jiwa penduduk
Indonesia menjadi pasar yang sangat potensial dalam era digital ini. Dikutip
dari Buletin Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) edisi
III-Januari 2019, jumlah pengguna internet di Indonesia sebesar 143,26 juta
jiwa. Lebih dari 50% masyarakat Indonesia mengakses jaringan internet bukan
semata tren kekinian, tetapi sudah menjadi kebutuhan pokok sehari-hari, hampir
setara dengan sandang, pangan dan papan. Masyarakat sangat tergantung pada keberadaan bandwith untuk berbagai aktivitas
seperti memesan moda transportasi, berbelanja online, mengakses layanan perbankan,
mencari bahan pembelajaran untuk peserta didik, dll.
Kominfo diharapkan untuk sigap menangkap
aspirasi para operator seluler, dan segera menerbitkan peraturan yang lebih
adil bagi semua pihak, misalnya dengan mewajibkan penyedia layanan OTT untuk membuka
perwakilan di Indonesia agar dapat memberikan jaminan layanan seperti
penanganan keluhan dan keamanan data nasabah. Ketentuan mengenai bagi hasil
dengan operator, royalti, perlindungan content
creator dalam negeri juga harus mendapatkan perhatian dalam bentuk regulasi
yang transparan.
Kesetaraan dalam hal kewajiban perpajakan
menjadi issue yang penting, karena sebagian besar perusahaan teknologi berskala
multinasional yang melakukan bisnis di Indonesia mendapatkan keuntungan yang
besar tanpa membayar pajak. Selama ini Ditjen Pajak mengalami kesulitan
menjaring mereka karena ketentuan mengenai BUT hanya terdapat pada
Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh) dan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan (KUP). Belum ada peraturan turunan yang memperjelas, sehingga
terjadi banyak kerancuan di lapangan. Memang ada Surat Edaran Dirjen Pajak
Nomor SE-4/SE.PJ/2017 tentang
penentuan BUT Bagi Subjek Pajak Luar Negeri yang Menyediakan layanan
Aplikasi Aplikasi dan/atau Layanan Konten Melalui Internet, tapi Surat Edaran
hanya ditujukan untuk kalangan internal DJP, tidak untuk masyarakat luas.
PMK-35/PMK.03/2019 diterbitkan untuk
merespon perkembangan model bisnis lintas negara. Beleid ini adalah strategi
pemerintah untuk memaksa agar penyedia layanan OTT membayar kontribusi ke
negara melalui pajak. Orang pribadi/badan asing yang melakukan usaha di
Indonesia, wajib mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak
(NPWP), sebulan setelah mereka beroperasi. Jika tidak, maka Ditjen Pajak berhak
menerbitkan NPWP secara jabatan.
Menurut ketentuan ini, BUT adalah
bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi asing atau badan asing untuk
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang memenuhi kriteria:
1) adanya suatu tempat usaha di Indonesia; 2) tempat usaha tersebut bersifat
permanen; dan 3) tempat usaha tersebut digunakan untuk menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan.
Bentuk
usaha sebagai berikut merupakan bentuk usaha tetap meskipun tidak memenuhi
kriteria sebagaimana dimaksud diatas, meliputi:
1.
proyek konstruksi, instalasi, atau
proyek perakitan;
2.
pemberian jasa dalam bentuk apa pun
oleh pegawai atau orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh)
hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan;
3.
orang atau badan yang bertindak
selaku agen yang kedudukannya tidak bebas; dan
4.
agen atau pegawai dari perusahaan
asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang
menerima premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia.
Pengertian usaha atau kegiatan tersebut
diatas mencakup segala hal yang dilakukan untuk mendapatkan, menagih, atau
memelihara penghasilan.
Place
of Business (tempat
usaha) yang dimaksud pada PMK tersebut adalah: segala jenis
tempat, ruang, fasilitas, atau instalasi, termasuk mesin atau peralatan, yang
digunakan Orang Pribadi Asing atau Badan Asing untuk menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan, yang dapat berupa:
tempat kedudukan manajemen; cabang perusahaan; kantor
perwakilan; gedung kantor; pabrik; bengkel; gudang; ruang untuk promosi dan
penjualan; pertambangan dan penggalian sumber alam; wilayah kerja pertambangan
minyak dan gas bumi; perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau
kehutanan; dan komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang
dimiliki, disewa, atau digunakan Orang Pribadi Asing atau Badan Asing untuk
menjalankan usaha melalui internet.
OTT
seperti Google, Youtube, Instagram dst. tidak bisa lagi mengelak membayar pajak,
karena telah diatur secara tegas, bahwa komputer, agen elektronik, peralatan
otomatis yang dimiliki, disewa dan digunakan, dinyatakan sebagai BUT yang
kewajiban pembayaran pajaknya disetarakan dengan Wajib Pajak Dalam Negeri, baik
Pajak Penghasilan (PPh) maupun Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Mekanisme
penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan status Pengusaha Kena Pajak
(PKP) juga diatur dalam ketentuan ini. NPWP dan PKP hanya dapat dicabut oleh
jika BUT telah berhenti melakukan usaha di Indonesia. Pencabutan NPWP/PKP
tersebut dapat dilakukan berdasarkan permohonan Wajib Pajak atau secara jabatan
oleh petugas pajak.
Tulisan ini dimuat di harian ekonomi NERACA Selasa, 07 Mei 2019
http://www.neraca.co.id/article/116450/mengejar-pajak-over-the-top-ott