Selasa, 22 November 2022

Madhep Ngalor Sugih, Madhep Ngidul Sugih

 



        Saya pernah hampir ngambek berhenti berkontribusi menulis di suatu media ketika mendapat kritik yang lumayan pedes (setara keripik Mak Icih level-9 mungkin) dari editor, terkait pemilihan struktur kalimat dan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar.

        Tapi kemudian saya kembali berbesar hati saat membaca buku ini.
Bertajuk "Madhep Ngalor Sugih, Madhep Ngidul Sugih" karya ke sekian dari Ki Ageng Kayam (Prof. Umar Kayam Ph. D, (1932-2002)).
Allaahu yarham.
        Buku punya pak-suami yang kertasnya sudah berwarna coklat di makan usia ini masih saja renyah dinikmati, apalagi sambil leyeh2 nyeruput kopi ditemani belahan jiwa. Eaaa..
        Kalimat demi kalimat campur aduk antara Bahasa Indonesia, Jawa, dan Inggris.
Struktur kalimatnya juga gak pakem2 amat. Cenderung fleksibel, lentur, kadang lompat2.
        Prof Umar Kayam adalah alumni pedagogi UGM. Beliau dosen senior fakultas sastra di berbagai universitas seperti UGM, UI, Unand, dll. Pernah menjabat sebagai Dirjen RTF, rektor IKJ, Ketua Dewan Kesenian Jakarta, dan juga kolumnis di berbagai media massa seperti Majalah Horison, Koran Kedaulatan Rakyat, dll. Satu lagi, beliau adalah pemeran Ir. Soekarno dalam film Pengkhianatan G30S PKI.
        Membaca buku ini seolah membawa kita ke dalam sebuah rumah joglo yang besar nan asri, penuh perabot yang artistik dan konvensional milik priyayi bernama Ki Ageng di kawasan pemukiman Yogyakarta.
        Ki Ageng menceritakan betapa nikmatnya menjadi priyayi, dengan berbagai fasilitas yang dimiliki, serta diladeni dengan sepenuh hati oleh sepasang pembantu bernama Mister Rigen dan istrinya Nansiyem, beserta dua anaknya si Beni & Tolo-tolo.
        Di lain sisi Ki Ageng juga menggarisbawahi bahwa priyayi dan abdi bukanlah 2 golongan yang harus bertarung, tapi selaras satu sama lain. Priyayi diladeni, abdi ngladeni. Dua strata yang saling melengkapi.
        Buku ini ditulis sebagai kritik atas cara pandang orang Barat yang menggambarkan priyayi jawa sebagai makhluk arogan, egois, menang sendiri. Di sini priyayi digambarkan "ngreken" (meng-orangkan) batur2nya, sering ditraktir makan bareng, diajak ngobrol, didengar pendapatnya.
        Ada pula tokoh Ki Joyoboyo, maestro penjual "eyem penggeng" yang selalu gigih menawarkan dagangannya, dan sukses membuat saya terbayang2, seperti apa rupa ayam uenak yang menjadi favorit Ki Ageng itu.
        Kesimpulan saya: nulis gak pakem2 amat yo gak pa-pa, yang penting pembaca suka. Selow aja.

PSAK 71 Picu Sengketa Pajak, Betulkah?

 


Artikel ini telah dimuat pada portal online:

https://pajak.go.id/id/artikel/psak-71-picu-sengketa-pajak-betulkah


        Dua tahun sudah Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 71 diterapkan. Dewan Standar Akuntansi Keuangan (DSAK) Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) sebenarnya telah mengesahkan standar akuntansi tentang Instrumen Keuangan ini sejak tanggal 26 Juli 2017. Namun entitas diwajibkan untuk  menerapan secara efektif per 1 Januari 2020, dengan penerapan dini diperkenankan.

 Definisi Instrumen Keuangan

        Definisi Instrumen Keuangan dijelaskan pada PSAK 50 tentang Instrumen Keuangan: Penyajian. Setiap kontrak yang menambah nilai aset, liabilitas, dan ekuitas keuangan entitas termasuk dalam kategori instrumen keuangan.

        Aset keuangan terdiri dari kas, instrumen ekuitas yang diterbitkan entitas lain, hak kontraktual, dan kontrak yang akan diselesaikan dengan penerbitan instrumen ekuitas. Hak kontraktual yang dimaksud di sini adalah hak untuk menerima kas atau aset keuangan dari pihak lain, atau pertukaran aset keuangan dengan entitas lain yang berpotensi memperoleh keuntungan.  

        Liabilitas keuangan dapat berupa kewajiban kontraktual, seperti kewajiban untuk menyerahkan kas atau piutang kepada entitas lain, atau pertukaran aset/liabilitas keuangan yang berpotensi tidak menguntungkan entitas. Selain itu, kewajiban keuangan juga berbentuk kontrak yang akan diselesaikan dengan menggunakan instrumen ekuitas yang diterbitkan entitas, baik yang bersifat derivatif ataupun non-derivatif.

Pada sisi ekuitas, instrumen ini berupa kontrak yang memberikan hak residual (sisa) atas aset suatu entitas setelah dikurangi dengan seluruh kewajibannya.

        PSAK 55 menambahkan dua klasifikasi pada definisi instrumen keuangan, yaitu instrumen derivatif dan lindung nilai. Derivatif  adalah kontrak atau perjanjian yang nilai atau peluang keuntungannya terkait dengan kinerja aset lain. Aset lain ini disebut sebagai underlying assetsSedangkan hedging (lindung nilai) adalah strategi yang digunakan untuk mengurangi penurunan nilai sebuah aset atau portofolio investasi.

 Mengganti atau Merevisi?

        PSAK 71 mengadopsi International Financial Reporting Standards (IFRS) 9 tentang Financial Instruments. IFRS 9 disahkan pada 1 Januari 2016, menggantikan International Accounting Standard (IAS) 39. Penggantian standar ini muncul sebagai reaksi atas krisis keuangan global karena bank tiba-tiba harus mengakui kerugian yang tidak diprediksi sebelumnya. Laporan Keuangan versi  IAS 39 dianggap tidak mampu menyajikan nilai aset, kewajiban, dan ekuitas yang sebenarnya.

        PSAK 71 tidak menghapus PSAK tentang instrumen keuangan sebelumnya, yaitu PSAK 50 tentang mengatur tentang penyajian, PSAK 55  tentang pengakuan dan pengukuran, serta PSAK 60 tentang pengungkapan. Beleid ini hanya merevisi sebagian dari PSAK 55, yaitu perubahan klasifikasi dan pengukuran, penurunan nilai, serta akuntansi lindung nilai. Hal-hal diluar itu tetap mengacu pada ketentuan terdahulu.

 Dampak terhadap Industri Perbankan

        Salah satu industri yang terdampak signifikan dari penerapan PSAK 71 ini adalah perbankan. Nilai pembentukan Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) menjadi lebih besar dari sebelumnya, sehingga menggerus laba entitas. Hal ini disebabkan oleh perubahan metode penilaian yang sebelumnya reaktif menjadi proaktif.

PSAK 55 mengatur pembentukan CKPN dengan metode incurred loss (data kerugian yang telah terjadi) dan bersifat backward-looking (menggunakan data historis). Sebagai contoh, entitas telah menghimpun data kerugian kredit konsumen selama tiga tahun terakhir, ternyata kerugian yang dialami rata-rata sebesar 9%. Maka entitas akan membentuk CKPN berdasarkan data historis tersebut, yaitu sebesar 9% dari jumlah piutang.

            PSAK 71 mengubah penentuan CKPN menjadi expected loss dan forward looking. Entitas melakukan estimasi risiko instrumen keuangan sejak awal piutang itu diakui. Perkiraan risiko dibentuk dengan menggunakan informasi seperti proyeksi pertumbuhan ekonomi, inflasi, tingkat pengangguran, indeks harga komoditas, dan lainnya. Ruang judgement atas CKPN ini menjadi sangat luas karena informasi yang digunakan sebagai dasar estimasi sangat beragam.

 Bagaimana CKPN di Mata Pajak?

            Ditjen Pajak telah merespons perubahan standar akuntansi keuangan ini. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) mengatur bahwa:

Pasal 9 ayat (1) huruf c:

“Untuk menentukan besarnya penghasilan kena pajak bagi wajib pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap tidak boleh dikurangkan:

c. pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali:

1. cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain yang menyalurkan kredit, sewa guna usaha dengan hak opsi, perusahaan pembiayaan konsumen, dan perusahaan anjak piutang yang dihitung berdasarkan standar akuntansi keuangan yang berlaku dengan batasan tertentu setelah berkoordinasi dengan Otoritas Jasa Keuangan.”

Pasal 32 C huruf o:

“Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan atau pemupukan dana cadangan yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.”

        Sampai dengan tulisan ini dibuat, Peraturan Pemerintah (PP) terkait pembentukan/pemupukan cadangan tersebut belum terbit. Oleh karena itu, panduan penetapan CKPN masih menggunakan Peraturan Menteri Keuangan nomor PMK-81/PMK.03/2009 yang diubah dengan PMK-219/PMK.011/2012 tentang Pembentukan atau Pemupukan Dana Cadangan yang Boleh Dikurangkan Sebagai Biaya. PMK ini tidak berlaku lagi apabila PP turunan UU HPP membuat pengaturan yang berbeda dari PMK tersebut.

        PMK-81/2009 menetapkan CKPN Bank Umum maksimal sebesar; 1% dari piutang lancar, 5% dari piutang dalam pengawasan khusus, 15% dari piutang kurang lancar, 50% dari piutang diragukan, dan 100% dari piutang macet. Nilai Piutang terlebih dahulu dikurangi dengan agunan yang diserahkan oleh nasabah kepada bank.

 Potensi Sengketa Pajak

            Ketentuan perpajakan yang bersifat historical cost tidak akan pernah bertemu dengan standar akuntansi baru yang sifatnya expected value. Otoritas pajak dapat menentukan pelaporan pajak dengan mengikuti Standar Akuntansi Keuangan (SAK) atau memilih pengaturan yang berbeda dari SAK.

            Meskipun  PSAK 71 telah diakomodasi oleh UU HPP, standar tersebut belum dapat diterapkan untuk kepentingan penghitungan pajak terutang. Pengaturan batas CKPN masih menggunakan ketentuan yang lama (PMK-81/2009) sampai dengan terbitnya PP sebagai petunjuk pelaksaan UU HPP. Wajib pajak dan fiskus wajib memahami dan mengikuti perkembangan terkait hal ini, agar sengketa pajak dapat dihindari.

 

*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.