Selasa, 05 Desember 2023

Pajak Dalam Perhelatan Pemilu

 







Tulisan ini telah dimuat pada Majalah Indonesian Tax Review, Vol XIV, Edisi 07 Tahun 2023

Iklim politik di negeri ini kian menghangat. Tiga pasangan yang bakal menjadi calon presiden dan wakil presiden telah mendaftarkan diri kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU). Pasangan  Anies Rasyid Baswedan - Abdul Muhaimin Iskandar dari Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KIP), Ganjar Pranowo - Mohammad Mahfud Mahmodin dari Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KIRR), dan Prabowo Subianto Djojohadikusumo - Gibran Rakabuming Raka dari Koalisi Indonesia Maju (KIM).

  Pemilihan anggota legislatif (Pileg), presiden dan wakil presiden (Pilpres) Republik Indonesia masa jabatan 2024 – 2029 dijadwalkan digelar pada 14 Februari 2024. Sedangkan pemilihan kepala daerah (Pilkada) untuk menentukan 33 Gubernur, 514 Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota kota akan diselenggarakan serentak di seluruh Indonesia pada tanggal 27 November 2024.

 Anggaran Pemilu

Pendanaan kegiatan Pileg dan Pilpres ditanggung sepenuhnya oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sedangkan pendanaan Pilkada bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Sebagaimana kita ketahui,  bahwa 80% pendapatan negara pada APBN berasal dari pajak. Sisanya dikumpulkan dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan hibah. Pendapatan pajak dalam struktur APBN terdiri dari Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Bea Masuk dan Keluar, Cukai, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), dan pajak lainnya.

Pendapatan daerah pada APBD berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), pendapatan transfer dari Pemerintah Pusat atau daerah otonom lain, serta pendapatan lain seperti bagi hasil provisi dan Dana Desa. Penopang utama PAD adalah Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Pada tanggal 6 Juni 2022 lalu  DPR RI dan KPU telah menyepakati anggaran Pemilu 2024 sebesar Rp102,8 triliun, dimana Rp76,6 triliun ditanggung oleh APBN dan sisanya sebesar Rp26,2 triliun dari APBD. Mengingat besaran anggaran pesta demokrasi yang cukup fantastis, dan sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada rakyat yang telah membayar pajak, maka akuntabilitas pemanfaatan anggaran pemilu harus menjadi prioritas utama.

Sesuai kewenangannya, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melakukan audit Laporan Keuangan KPU setiap tahun. Opini terhadap kewajaran Laporan Keuangan diberikan atas realisasi anggaran, operasional, dan perubahan ekuitas sesuai Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP). Di sisi lain, BPK juga melakukan audit sistem pengendalian intern dan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan.

 

Dana Kampanye

Dalam rangka menjamin persaingan yang sehat dan menghindari tindakan pencucian uang, pendanaan kampanye pemilu diatur melalui Peraturan KPU Nomor 18 Tahun 2023 tentang Dana Kampanye. Sebagai bentuk pertanggungjawaban, kontestan wajib melaporkan dana kampanye dalam 3 format yaitu: Laporan Awal Dana Kampanye (LADK), Laporan Pemberi Sumbangan Dana Kampanye (LPSDK), dan Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye (LPPDK). Laporan Dana Kampanye tersebut akan diaudit oleh Kantor Akuntan Publik yang ditunjuk oleh KPU.

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2021 tentang Pemilu (UU Pemilu) mengatur besaran sumbangan yang boleh diterima dalam rangka kampanye. Sumbangan dana kampanye dari perseorangan tidak boleh lebih dari Rp 2,5 miliar. Sedangkan dana dari non perseorangan (kelompok, perusahaan, dan/atau badan usaha non pemerintah) tidak boleh lebih Rp 25 miliar.

Penyumbang wajib menyampaikan identitas lengkap berupa nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), surat keterangan tidak memiliki tunggakan pajak, serta tidak dalam keadaan pailit berdasarkan putusan pengadilan.

              Sanksi pelanggaran besaran sumbangan kampanye juga diatur pada ketentuan tersebut. Setiap orang, kelompok, perusahaan/badan usaha non Pemerintah yang memberikan dana kampanye pemilu melebihi batas yang ditentukan diancam pidana penjara maksimal 2 tahun, dan denda maksimal Rp 500 juta. Selanjutnya, peserta Pemilu yang menggunakan kelebihan sumbangan, atau tidak melaporkan kelebihan sumbangan kepada KPU/tidak menyerahkan kelebihan sumbangan ke kas negara maksimal 14 hari setelah kampanye Pemilu berakhir, diancam pidana penjara maksimal 2 tahun, dan denda maksimal Rp500 juta.

             

Aspek Pajak Belanja Pemilu

a.       Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

              Terdapat  objek PPN terkait belanja Pemilu, yaitu pembelian Barang Kena Pajak (BKP) seperti pengadaan logistik berupa kertas, tinta, alat peraga, kaos, bendera, baliho dan berbagai atribut lainnya. PPN juga dikenakan atas penggantian Jasa Kena Pajak (JKP) seperti jasa konsultasi, sewa kendaraan, jasa teknologi informasi, jasa iklan, jasa kebersihan, dll.

Tarif PPN sesuai UU No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan adalah sebesar 11% dari Dasar Pengenaan Pajak yang berupa harga jual, penggantian, nilai impor, nilai ekspor, atau nilai lain.

Pajak Penghasilan (PPh)

Porsi terbesar pemanfaatan dana pemilu adalah gaji dan honorarium pegawai lembaga penyelenggara Pemilu dan petugas Badan Adhoc Pemilu. Penyelenggara Pemilu adalah KPU, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Sedangkan Badan Adhoc Pemilu, terdiri dari Panitia Pemiilhan Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan Suara (PPS), Kelompok Penyelenggaraan Pemungutan Suara (KPPS), dan Petugas Pemutakhiran Data Pemilih (Pantarlih). KPU juga membayarkan premi asuransi apalagi para petugas tersebut mengalami resiko pada saat melaksanakan tugas.

Pemotongan PPh Pasal 21 atas uang kehormatan yang diterima oleh pimpinan dan anggota KPU, KPU Propinsi, dan KPU Kabupaten/Kota serta uang honorarium bagi anggota kepanitiaan yang berstatus sebagai Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil (PNS), anggota TNI/POLRI dan Pensiunannya dipotong PPh Pasal 21 sebesar 0%-15%, tergantung golongannya.

Sedangkan PPh Pasal 21 atas uang kehormatan yang diterima oleh pimpinan dan anggota KPU, KPU Propinsi, dan KPU Kabupaten/Kota yang berstatus bukan sebagai Pejabat Negara,Pegawai Negeri Sipil (PNS), anggota TNI/POLRI, dan Pensiunannya dipotong PPh Pasal 21 yang dihitung sesuai tarif Pasal 17 UU PPh dari Penghasilan Kena Pajak selama 1 (satu) tahun takwim atau jumlah yang disetahunkan sebagaimana cara penghitungan PPh Pasal 21 atas gaji pegawai tetap.

Apabila penghasilan tersebut diterima oleh anggota kepanitiaan sehubungan dengan Pemilu atau Pilkada yang berstatus bukan sebagai Pejabat Negara,Pegawai Negeri Sipil (PNS), anggota TNI/POLRI, dan Pensiunannya dipotong PPh Pasal 21 yang dihitung sesuai tarif Pasal 17 UU PPh dari penghasilan bruto.

 

b.       PPh Pasal 23/26 dan Pasal 4 ayat (2)

              Penyelenggara Pemilu membutuhkan berbagai jasa penunjang operasional seperti sewa kendaraan, jasa iklan, jasa teknologi informasi, jasa percetakan, jasa konsultasi, jasa transportasi, dll. Penggantian jasa tersebut merupakan objek PPh Pasal 23 dengan tarif sebesar 2% apabila penerima penghasilan memiliki NPWP. Jika tidak, maka dikenakan tarif 100% lebih tinggi, sehingga tarif non-NPWP sebesar 4%.

              Apabila penerima penghasilan adalah Wajib Pajak Luar Negeri, maka terutang PPh Pasal 26 dengan tarif sebesar 20%, atau menyesuaikan dengan tarif pada Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B).

Untuk melakukan konsolidasi dan promosi, kadang kontestan Pemilu menyewa kantor atau booth. Terkait sewa tanah dan/atau bangunan tersebut  terutang  PPh Pasal 4 ayat (2) yang bersifat final dengan tarif sebesar 10% dari harga sewa.

Penerimaan PPN, PPh Pasal 21, PPh Pasal 23/26, dan PPh Pasal 4 ayat (2)  tahun 2024 diprediksi tumbuh signifikan seiring meningkatnya belanja Pemilu tersebut.

 Penutup

Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan pesta demokrasi yang berlangsung lima tahun sekali. Pada dasarnya Pemilu erat kaitannya dengan pajak., karena sebagian besar dana penyelenggaraan pemilu berasal dari pajak. Di sisi lain, terdapat dua jenis pajak yang dikenakan saat terjadinya aktivitas pemilu, yaitu, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penghasilan. Terdapat beberapa aspek pada Pajak Penghasilan yaitu, PPh Pasal 21, PPh Pasal 23 dan PPh Pasal 4 ayat (2).

Dengan diselenggarakannya Pemilu secara serentak pada Februari 2024 mendatang, dapat berlangsung dengan lancar, aman, dan tertib. Semoga terpilih anggota legislatif dan eksekutif yang jujur, adil, amanah, dan membawa kesejahteraan untuk seluruh rakyat Indonesia. Uang pajak yang dibayar oleh rakyat untuk menyelenggarakan pesta demokrasi lima tahunan ini, tidak menjadi sia-sia.