Selasa, 30 Oktober 2018

pulang

Ketika saatnya nanti aku harus "pulang", akankah ada kebaikanku yang dikenang orang?

Mbak Hesti Nuraini,  yg baik, humble, ramah, suka menolong, super sibuk tapi kemana2 selalu bawa quran kecil utk murajaah alquran.
Inget ketika hamil bareng, bersebelahan di rumah kontrakan kecil di Jurangmangu.
Kebetulan anak kami bersekolah di tempat yg sama, dari playgroup sampai SMA (pesantren).
Dua pekan lalu beliau ke rumah, titip baju buat anandanya karena saya mau nengok si bujang di pesantren.
Kami tertawa bersama, cerita ini itu. Padahal aku tahu beliau sedang risau.  Ayahandanya sedang sakit dan beliau tidak bisa merawat penuh karena harus bolak balik ke Bangka. Beliau juga kepikiran si bungsu yang baru masuk playgroup di Jakarta, terpaksa berpisah, sedangkan sebelumnya diasuh sendiri, dibawa ke Bangka.
Ahh.. Mbakk. Kau selalu ceria meskipun sedang punya masalah, tak pernah terlihat sedih sedikitpun.

Pratomo Wira Dewanto, yang bersama ayahnya pernah menolongku, si anak kampung yang baru menginjak Jakarta.
Saat itu kami bertemu di RSUP Fatmawati untuk melengkapi dokumen2 persyaratan kesehatan untuk daftar ulang di STAN.
Karena melihatku celingak-celinguk kebingungan, beliau menanyakan keperluan mbak apa dst, dan akhirnya  diajak bareng2 melengkapi dokumen2 itu. Alhamdulillah lancar, selesai dengan cepat.
Selanjutnya kami kuliah bareng, dan saat kami dalam proses penempatan ke kantor tujuan, Pratomo adalah salah satu orang yg gigih memperjuangkan agar kami mendapatkan penempatan sesuai kota yang diinginkan. Tanpa meminta imbalan apapun.

Nicko Yogha Marenta Utama, anak muda yang kukenal saat diklat di Slipi kemarin. Ayah dari dua balita, si bungsu masih bayi. Seharusnya diklat itu wajib menginap, tapi aku dan Nicko memilih untuk pulang setiap hari, menyelinap pulang diam2 dan datang subuh untuk ikut kegiatan pagi. Saat itu aku salut padanya. Tak banyak ayah-ayah diluar sana yang rela mondar mandir pulang seperti itu. Beda dengan ibu2 yang relative lebih dekat dengan anak2. Sebagian besar memilih untuk beristirahat di asrama sambil belajar untuk persiapan ujian.

Kemarin kalian bertiga berangkat menuju ke tempat tugas bersama teman2 sejawat lain yang sempat juga kukenal meskipun tak dekat.
Dan sampai sekarang kalian tak kembali.

Semoga kebaikan2 kalian yang telah kami lihat dan kami rasakan, menjadi pemberat timbangan amal kebaikan di yaumul hisab.

Semoga aku yang sedang menunggu giliran ini, masih memiliki kesempatan untuk menorehkan kebaikan yang pantas dikenang,
Sebagai bekal jika sudah tiba saatnya "pulang".

#lionair JT-610#

Kamis, 20 September 2018

Siap-siap! Mulai 10 Oktober 2018; beli barang online Rp1juta dari Luar Negeri Kena Bea Masuk dan Pajak


Baru-baru ini telah terbit Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-112/PMK.04/2018 tanggal 6 September 2018 tentang Perubahan PMK-182/PMK.04/2016 tentang Ketentuan Impor Barang Kiriman.
Peraturan ini mengatur tentang impor barang melalui e-commerce yang akan mulai berlaku efektif per 10 Oktober 2018. Pembelian barang impor secara online dengan nilai sebesar $75 atau Rp1juta akan dikenakan Bea Masuk sebesar 7,5% yang berlaku flat (sama untuk semua jenis barang).
Pada aturan sebelumnya (PMK-182/2016) importir bisa mengimpor barang berkali-kali dalam sehari tanpa dikenakan bea masuk dan pajak impor, selama per transaksi tidak melebihi US$ 100.
Sedangkan pada PMK-112/2018, telah diatur jika pembelian beberapa kali maka nilai pada saat telah melebihi $75 yang dikenakan bea masuk. Pembelian sebelumnya, sepanjang belum mencapai $75 tidak dikenakan bea masuk. Contoh: seseorang membeli barang secara online sehari tiga kali transaksi, pertama US$ 50, kedua US$ 20, ketiga US$ 40, maka yang US$ 50 tetap mendapat pembebasan bea masuk dan pajak impor, begitu pun yang US$ 20, karena jika ditotal baru mencapai US$ 70.   Yang US$ 20 karena secara akumulatif masih di bawah US$ 75 juga mendapatkan kebebasan. Tapi yang US$ 40 tidak dapat karena sudah melampaui US$ 75.
Untuk menghindari kecurangan dengan cara pemalsuan dokumen seperti KTP dan NPWP, Ditjen Bea Cukai bekerjasama dengan Asosiasi Peretail Indonesaia (APRINDO) dan menggunakan program algoritma yang dapat mendeteksi duplikasi data secara system.
Selain Bea Masuk, impor barang tersebut sesuai ketentuan perpajakan juga dikenakan PPh Pasal 22 impor dan PPN impor. PPh Pasal 22 impor dapat dikreditkan pada SPT Tahunan PPh Badan, sedangkan PPN impor dapat dikreditkan sebagai Pajak Masukan pada SPT Masa PPN.
Pada tanggal 5 September 2018, Menteri Keuangan menaikkan tarif PPh Pasal 22 impor untuk beberapa jenis barang impor dengan tujuan untuk melindungi produsen dalam negeri, melalui Peraturan Menteri Keuangan nomor PMK-110/PMK.010/2018 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor  34/PMK.010/2017 Tentang Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 Sehubungan Dengan Pembayaran Atas Penyerahan Barang Dan Kegiatan Di Bidang Impor Atau Kegiatan Usaha Di Bidang Lain.

Penyesuaian tarif tersebut  sebagai berikut:
a.    210 item komoditas, naik dari 7,5% menjadi 10%. Termasuk dalam kategori ini adalah barang mewah seperti mobil CBU dan motor besar.
b.    218 item komoditas, naik dari 2,5% menjadi 10%. Termasuk dalam kategori ini adalah seluruh barang konsumsi yang sebagian besar telah dapat diproduksi di dalam negeri seperti barang elektronik (dispense air, pendingin ruangan, lampu), keperluan sehari-hari seperti sabun, shampo, kosmetik serta peralatan masak / dapur.
c.    719 item komoditas, naik dari 2,5% menjadi 7,5%. Termasuk dalam kategori ini seluruh barang yang digunakan dalam proses konsumsi dan keperluan lainnya. Contohnya seperti bahan bangunan (keramik), ban, peralatan elektronik audio-visual (kabel, box speaker), produk tekstil (over coat, polo shirt, swim wear).

     Rincian lengkap daftar tarif PPh Pasal 22 impor terhadap berbagai jenis barang impor, dapat dilihat pada lampiran Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-110/PMK.010/2018 tanggal 5 September 2018.

Kamis, 13 September 2018

Rumitkah Menghitung Pajak Dokter?

Bagi anda yang berprofesi sebagai seorang dokter, yang sehari-hari berkutat dengan ilmu kesehatan, menyelamatkan nyawa para pasien, mengobati berbagai jenis penyakit, kata PAJAK mungkin terdengar asing dan tidak mengenakkan. Terbayang pencatatan yang ruwet, perhitungan pajak yang rumit dan cara  pelaporan yang sulit dan merepotkan. 

Benarkah demikian? Yuk kita pelajari! 

Berdasarkan keahliannya di bidang kesehatan, dokter dapat menerima jenis-jenis penghasilan sebagai berikut:
1. Sebagai pegawai tetap rumah sakit atau institusi lainnya, dokter menerima gaji dan berbagai tunjangan lain.
2.   Sebagai tenaga ahli, dokter menerima honorarium, fee, komisi.
3.   Sebagai peserta kegiatan (misalnya seminar), dokter menerima uang saku, uang presentasi, honor rapat.
4. Perusahaan obat memberikan balas jasa berupa hadiah, penghargaan, bonus, gratifikasi atau imbalan dalam bentuk lain.
5.   Dokter yang buka praktek sendiri, mendapatkan laba usaha.
6.   Penghasilan lain diluar profesi dokter. 

Mari kita bahas satu-persatu:

1.   Dokter sebagai pegawai tetap rumah sakit atau insitusi lain. 

Penghasilan berupa gaji, tunjangan, imbalan lain yang diterima dokter sebagai pegawai tetap dipotong/pungut Pajak Penghasilan Pasal 21 oleh bendaharawan rumah sakit/institusi lain. 

Dokter Rahman dengan status menikah dengan 1 anak (K/1) menerima penghasilan dari RS Sehat berupa gaji sebesar Rp20 juta, tunjangan kehadiran sebesar Rp10 juta. 

Cara penghitungan PPh Pasal 21 sebagai berikut:

Gaji
: Rp20.500.000,-

Tunjangan
: Rp10.250.000,-

Total penghasilan sebulan
: Rp30.750.000,-

Penghasilan setahun
: Rp30.750.000,- x 12
= Rp369.000.000,-
Pengurang:


-Biaya jabatan  *)
: Rp  6.000.000,-

-Penghasilan Tidak Kena Pajak **)
: Rp63.000.000,-

Total Pengurang

= Rp 63.000.000,-
Penghasilan Kena Pajak

= Rp300.000.000,-
Pajak Terutang ***)


5% x   50.000.000,-
= Rp 2.500.000,-

15% x   50.000.000,-
= Rp 7.500.000,-

25% x 200.000.000,-
= Rp50.000.000,-

Pajak Terutang

=Rp 60.000.000,-

*) Biaya jabatan adalah sebesar 5% x penghasilan bruto, maksimal Rp6juta per tahun 
**) Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) sebagai berikut:


Keterangan
Status
PTKP
Diri sendiri
TK
54.000.000
Kawin
K/0
58.500.000
Kawin tanggungan 1
K/1
63.000.000
Kawin tanggungan 2
K/2
67.500.000
Kawin tanggungan 3
K/3
72.000.000

***) Tarif PPh Orang Pribadi:
Tarif
Lapisan Penghasilan Kena Pajak
5%
50.000.000
15%
50.000.000
25%
250.000.000 – 500.000.000
30%
Lebi dari 500.000.000

2.   Dokter sebagai tenaga ahli. 

Dokter menerima honorarium, bonus, fee, imbalan, PPh Pasal 21 dipotong oleh pemberi penghasilan. PPh Pasal 21 dipotong oleh pemberi penghasilan. 

a. Jika dokter berstatus PNS yang menerima dana berasal dari APBN/APBD, maka dipotong PPh Pasal 21 final 15%. 

Misal : dokter PNS menerima honorarium dari kementerian kesehatan sebesar Rp 10.000.000,- Maka honor tersebut harus dipotong pajak sebesar 15% x 10.000.000= Rp1.500.000,-

b.  Jika dokter non-PNS yang menerima dana berasal dari APBN/APBD maupun non APBN/APBD, dipotong PPh Pasal 21 sebesar 5% x (50% x penghasilan). 

Misal : dokter non PNS menerima fee dari Kementerian Pedesaan/PT FGH sebesar Rp10.000.000,- Maka fee tersebut dipotong PPh Pasal 21 sebesar 5% x (50% x 10.000.000,-) = Rp250.000,- 

Pemotong pajak wajib memberikan bukti potong PPh Pasal 21 kepada dokter yang bersangkutan.


3.  Dokter sebagai peserta kegiatan. 

Perhitungan pajak atas honor, uang saku, imbalan lain sehubungan dengan suatu kegiatan, sama dengan angka 2 tersebut diatas. PPh Pasal 21 dipotong oleh pemberi penghasilan. 

Misalnya dokter mengikuti seminar kesehatan, dan mendapatkan uang saku sebesar Rp 5.000.000,-Maka Pajak yang harus dipotong oleh penyelenggara kegiatan adalah sebesar 5% x (50% x 5.000.000,-) = Rp125.000,-

Bukti potong PPh Pasal 21 harus diberikan kepada dokter yang bersangkutan.

4.   Dokter sebagai penerima imbalan  dari perusahaan obat. 

Perhitungan pajak atas imbalan, sama dengan angka 2 tersebut diatas. PPh Pasal 21 dipotong oleh pemberi perusahaan obat.

Misalnya: dokter menerima imbalan berupa tiket perjalanan ke Eropa dari PT ABC senilai Rp30.000.000,-. Maka atas imbalan tersebut wajib dipotong PPh Pasal 21 sebesar 5% x (50% x 30.000.000). Bukti potong PPh Pasal 21 harus diberikan kepada dokter tersebut.


Catatan untuk angka 2,3,4:
·   Bukti Potong dapat dikreditkan pada SPT Tahunan PPh Orang Pribadi.
·  Jika penghasilan tersebut diberikan karena pekerjaan atau jasanya diterima lebih dari 1 (satu) kali (bersifat berkesinambungan) baik berdasarkan kontrak atau kenyataan sebenarnya, maka tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a diterapkan atas jumlah kumulatifnya.

Misalnya di bulan Agustus 2018 Dokter Agus juga mendapat honorarium sebesar Rp80.000.000,- dari Rumah Sakit Sehat (bulan Juli 2018) telah menerima Rp30.000.000,-), sehingga jumlah kumulatifnya menjadi Rp30.000.000,- + Rp80.000.000,- = Rp110.000.000,-


Dasar Pemotongan PPh Pasal 21 dari jumlah kumulatif tersebut adalah 50% x Rp110.000.000,- = Rp55.000.000,- , sehingga PPh Pasal 21 yang terutang dan harus dipotong oleh Rumah Sakit Sehat adalah :
5% x Rp50.000.000 = Rp2.500.000,-
15% x Rp5.000.000 = Rp 750.000,- (+)
Total Rp3.250.000,-
Karena bulan Juli 2018  telah dipotong Rp750.000,-, maka bulan Agustus 2018 PPh yang harus dipotong Rp3.250.000,- - Rp750.000 = Rp2.500.000

·                     Jumlah penghasilan bruto bagi Dokter yang melakukan praktik di rumah sakit dan/atau klinik adalah sebesar jasa Dokter yang dibayar oleh pasien melalui rumah sakit dan/atau klinik sebelum dipotong biaya-biaya atau bagi hasil oleh rumah sakit dan/atau klinik. 

Contoh: 
Pasien Tn Budi membayar kepada RS Sehat sebesar Rp25 juta, dengan rincian uang obat Rp5.000.000,- dan uang jasa dokter Chairil sebesar Rp20.000.000,-. RS Sehat menerima bagi hasil dari uang jasa dr. Chairil sebesar 50% dari jumlah tersebut atau Rp10.000.000,- (sesuai dengan perjanjian).

RS Sehat memotong PPh Pasal 21 atas penghasilan yang diterima dr. Chairil dari jumlah penghasilan bruto Rp20.000.000,- bukan dari jumlah penghasilan bruto setelah dikurangi bagi hasil atau Rp10.000.000,-. Sehingga PPh Pasal 21 yang dipotong Rumah Sakit Z adalah : 5% x (50% x Rp20.000.000) = Rp500.000,-

5.   Dokter buka praktek sendiri. 

Dokter yang melakukan praktek sendiri, dapat memilih untuk menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan. 

Menurut Pasal 1 angka 26 UU No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum Perpajakan (KUP):  

Pembukuan adalah: 

suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan, dan biaya serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi pada setiap tahun pajak berakhir.

Pencatatan adalah: 
pengumpulan data secara teratur tentang peredaran bruto dan atau penghasilan bruto sebagai dasar untuk menghitung jumlah pajak yang terutang termasuk penghasilan yang bukan objek pajak dan atau yang dikenakan pajak yang bersifat final. Pencatatan lebih sederhana dibandingkan pembukuan. Pencatatan tidak harus menyajikan laporan keuangan secara lengkap.

Contoh Perhitungan Pajak Penghasilan sebagai berikut: 

Dokter Agus (status K/1), menyelenggarakan pembukuan untuk menghitung besarnya PPh yang terutang selama satu tahun, yaitu:
Peredaran bruto
Pengurang:
Biaya operasional (gaji pegawai, peralatan, Obat, listrik, dll)
Penghasilan neto 
Rp400.000.000,-

Rp300.000.000,-
Rp100.000.000,-

Selain itu, Dokter Agus mendapatkan penghasilan neto sebagai pegawai tetap di RS Sehat sebesar Rp200.000.000,- setahun. Maka perhitungan PPh terutang adalah:
Penghasilan neto (Rp100.000.000+Rp200.000.000)
Pengurang:
PTKP (K/1)
Penghasilan Kena Pajak
Rp 300.000.000,-

Rp   63.000.000,-
Rp    237.000.000,-
PPh Pasal 21 terhutang :

Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh

  5% x Rp  50.000.000,-   
15% x Rp187.000.000,-      
Total Pajak Terutang




= Rp     2.500.000,-
= Rp   33.855.000,-
= Rp   28.050.000,-




Pajak terutang tersebut, disetorkan sendiri ke kas negara dengan menggunakan kode MAP/KJS 411125/200. 

Pelaporan Pajak Terutang
Setelah menyetorkan PPh terutang, selanjutnya dokter tersebut wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh Orang Pribadi ke Kantor Pelayanan Pajak tempat terdaftar paling lambat 3 bulan setelah berakhirnya tahun pajak. Untuk tahun pajak 2018, maka harus dilaporkan paling lambat tanggal 31 Maret 2019. 

Pelaporan bisa dilakukan secara langsung atau secara online melalui djponline.pajak.go.id.

6. Penghasilan lain diluar profesi dokter seperti penjualan harta, usaha sewa harta, deposito dll.
a.    Penghasilan yang dipotong PPh final 

Penghasilan atas deposito, penjualan tanah/bangunan, sewa tanah/bangunan telah dipotong PPh final, sehingga tidak perlu diperhitungkan lagi dalam SPT Tahunan Orang Pribadi. 

b  Penghasilan yang tidak dipotong PPh final
- Penghasilan atas penjualan selain tanah/bangunan  seperti mobil, alat kesehatan  
Sewa selain tanah/bangunan seperti penjualan mobil 

Penghasilan-penghasilan tersebut  digabungkan dalam penghasilan kena pajak yang dilaporkan pada SPT Tahunan Orang Pribadi.  

Dasar Hukum:

1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
2. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER - 16/PJ/2016 tanggal  29 Sept 2016 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi 
3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 2010 tentang  Tarif Pemotongan dan Pengenaan  Pajak Penghasilan Pasal 21 Atas Penghasilan yang Menjadi Beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.