1. Sebagai pegawai tetap rumah sakit atau institusi lainnya, dokter menerima gaji dan berbagai tunjangan lain.
2. Sebagai tenaga ahli, dokter menerima honorarium, fee, komisi.
3. Sebagai peserta kegiatan (misalnya seminar), dokter menerima uang saku, uang presentasi, honor rapat.
4. Perusahaan obat memberikan balas jasa berupa hadiah, penghargaan, bonus, gratifikasi atau imbalan dalam bentuk lain.
5. Dokter yang buka praktek sendiri, mendapatkan laba usaha.
6. Penghasilan lain diluar profesi dokter.
Mari kita bahas satu-persatu:
1. Dokter sebagai pegawai tetap rumah sakit atau insitusi lain.
Penghasilan berupa gaji, tunjangan, imbalan lain yang diterima dokter sebagai pegawai tetap dipotong/pungut Pajak Penghasilan Pasal 21 oleh bendaharawan rumah sakit/institusi lain.
Dokter Rahman dengan status menikah dengan 1 anak (K/1) menerima penghasilan dari RS Sehat berupa gaji sebesar Rp20 juta, tunjangan kehadiran sebesar Rp10 juta.
Cara penghitungan PPh Pasal 21 sebagai berikut:
Gaji
|
: Rp20.500.000,-
|
|
Tunjangan
|
: Rp10.250.000,-
|
|
Total penghasilan sebulan
|
: Rp30.750.000,-
|
|
Penghasilan setahun
|
: Rp30.750.000,- x 12
|
= Rp369.000.000,-
|
Pengurang:
|
|
|
-Biaya jabatan *)
|
: Rp 6.000.000,-
|
|
-Penghasilan Tidak Kena Pajak **)
|
: Rp63.000.000,-
|
|
Total Pengurang
|
|
= Rp 63.000.000,-
|
Penghasilan Kena Pajak
|
|
= Rp300.000.000,-
|
Pajak Terutang ***)
|
|
|
5% x 50.000.000,-
|
= Rp 2.500.000,-
|
|
15% x 50.000.000,-
|
= Rp 7.500.000,-
|
|
25% x 200.000.000,-
|
= Rp50.000.000,-
|
|
Pajak Terutang
|
|
=Rp 60.000.000,-
|
*) Biaya jabatan adalah sebesar 5% x penghasilan bruto, maksimal Rp6juta per tahun
**) Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) sebagai berikut:
Keterangan
|
Status
|
PTKP
|
Diri sendiri
|
TK
|
54.000.000
|
Kawin
|
K/0
|
58.500.000
|
Kawin tanggungan 1
|
K/1
|
63.000.000
|
Kawin tanggungan 2
|
K/2
|
67.500.000
|
Kawin tanggungan 3
|
K/3
|
72.000.000
|
***) Tarif PPh Orang Pribadi:
Tarif
|
Lapisan Penghasilan Kena Pajak
|
5%
|
50.000.000
|
15%
|
50.000.000
|
25%
|
250.000.000 – 500.000.000
|
30%
|
Lebi dari 500.000.000
|
2. Dokter sebagai tenaga ahli.
Dokter menerima honorarium, bonus, fee, imbalan, PPh Pasal 21 dipotong oleh pemberi penghasilan. PPh Pasal 21 dipotong oleh pemberi penghasilan.
a. Jika dokter berstatus PNS yang menerima dana berasal dari APBN/APBD, maka dipotong PPh Pasal 21 final 15%.
Misal : dokter PNS menerima honorarium dari kementerian kesehatan sebesar Rp 10.000.000,- Maka honor tersebut harus dipotong pajak sebesar 15% x 10.000.000= Rp1.500.000,-
b. Jika dokter non-PNS yang menerima dana berasal dari APBN/APBD maupun non APBN/APBD, dipotong PPh Pasal 21 sebesar 5% x (50% x penghasilan).
Misal : dokter non PNS menerima fee dari Kementerian Pedesaan/PT FGH sebesar Rp10.000.000,- Maka fee tersebut dipotong PPh Pasal 21 sebesar 5% x (50% x 10.000.000,-) = Rp250.000,-
Pemotong pajak wajib memberikan bukti potong PPh Pasal 21 kepada dokter yang bersangkutan.
3. Dokter sebagai peserta kegiatan.
Perhitungan pajak atas honor, uang saku, imbalan lain sehubungan dengan suatu kegiatan, sama dengan angka 2 tersebut diatas. PPh Pasal 21 dipotong oleh pemberi penghasilan.
Misalnya dokter mengikuti seminar kesehatan, dan mendapatkan uang saku sebesar Rp 5.000.000,-Maka Pajak yang harus dipotong oleh penyelenggara kegiatan adalah sebesar 5% x (50% x 5.000.000,-) = Rp125.000,-
Bukti potong PPh Pasal 21 harus diberikan kepada dokter yang bersangkutan.
4. Dokter sebagai penerima imbalan dari perusahaan obat.
Perhitungan pajak atas imbalan, sama dengan angka 2 tersebut diatas. PPh Pasal 21 dipotong oleh pemberi perusahaan obat.
Misalnya: dokter menerima imbalan berupa tiket perjalanan ke Eropa dari PT ABC senilai Rp30.000.000,-. Maka atas imbalan tersebut wajib dipotong PPh Pasal 21 sebesar 5% x (50% x 30.000.000). Bukti potong PPh Pasal 21 harus diberikan kepada dokter tersebut.
Catatan untuk angka 2,3,4:
· Bukti Potong dapat dikreditkan pada SPT Tahunan PPh Orang Pribadi.
· Jika penghasilan tersebut diberikan karena pekerjaan atau jasanya diterima lebih dari 1 (satu) kali (bersifat berkesinambungan) baik berdasarkan kontrak atau kenyataan sebenarnya, maka tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a diterapkan atas jumlah kumulatifnya.
Misalnya di bulan Agustus 2018 Dokter Agus juga mendapat honorarium sebesar Rp80.000.000,- dari Rumah Sakit Sehat (bulan Juli 2018) telah menerima Rp30.000.000,-), sehingga jumlah kumulatifnya menjadi Rp30.000.000,- + Rp80.000.000,- = Rp110.000.000,-
Dasar Pemotongan PPh Pasal 21 dari jumlah kumulatif tersebut adalah 50% x Rp110.000.000,- = Rp55.000.000,- , sehingga PPh Pasal 21 yang terutang dan harus dipotong oleh Rumah Sakit Sehat adalah :
5% x Rp50.000.000 = Rp2.500.000,-
15% x Rp5.000.000 = Rp 750.000,- (+)
Total Rp3.250.000,-
Karena bulan Juli 2018 telah dipotong Rp750.000,-, maka bulan Agustus 2018 PPh yang harus dipotong Rp3.250.000,- - Rp750.000 = Rp2.500.000
· Jumlah penghasilan bruto bagi Dokter yang melakukan praktik di rumah sakit dan/atau klinik adalah sebesar jasa Dokter yang dibayar oleh pasien melalui rumah sakit dan/atau klinik sebelum dipotong biaya-biaya atau bagi hasil oleh rumah sakit dan/atau klinik.
Contoh:
Pasien Tn Budi membayar kepada RS Sehat sebesar Rp25 juta, dengan rincian uang obat Rp5.000.000,- dan uang jasa dokter Chairil sebesar Rp20.000.000,-. RS Sehat menerima bagi hasil dari uang jasa dr. Chairil sebesar 50% dari jumlah tersebut atau Rp10.000.000,- (sesuai dengan perjanjian).
RS Sehat memotong PPh Pasal 21 atas penghasilan yang diterima dr. Chairil dari jumlah penghasilan bruto Rp20.000.000,- bukan dari jumlah penghasilan bruto setelah dikurangi bagi hasil atau Rp10.000.000,-. Sehingga PPh Pasal 21 yang dipotong Rumah Sakit Z adalah : 5% x (50% x Rp20.000.000) = Rp500.000,-
5. Dokter buka praktek sendiri.
Dokter yang melakukan praktek sendiri, dapat memilih untuk menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan.
Menurut Pasal 1 angka 26 UU No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum Perpajakan (KUP):
Pembukuan adalah:
suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan, dan biaya serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi pada setiap tahun pajak berakhir.
Pencatatan adalah:
pengumpulan data secara teratur tentang peredaran bruto dan atau penghasilan bruto sebagai dasar untuk menghitung jumlah pajak yang terutang termasuk penghasilan yang bukan objek pajak dan atau yang dikenakan pajak yang bersifat final. Pencatatan lebih sederhana dibandingkan pembukuan. Pencatatan tidak harus menyajikan laporan keuangan secara lengkap.
Contoh Perhitungan Pajak Penghasilan sebagai berikut:
Dokter Agus (status K/1), menyelenggarakan pembukuan untuk menghitung besarnya PPh yang terutang selama satu tahun, yaitu:
Peredaran bruto
Pengurang:
Biaya operasional (gaji pegawai, peralatan, Obat, listrik, dll)
Penghasilan neto
|
Rp400.000.000,-
Rp300.000.000,-
Rp100.000.000,-
|
Selain itu, Dokter Agus mendapatkan penghasilan neto sebagai pegawai tetap di RS Sehat sebesar Rp200.000.000,- setahun. Maka perhitungan PPh terutang adalah:
Penghasilan neto (Rp100.000.000+Rp200.000.000)
Pengurang:
PTKP (K/1)
Penghasilan Kena Pajak
| |
Rp 300.000.000,-
Rp 63.000.000,-
Rp 237.000.000,-
|
PPh Pasal 21 terhutang :
Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh
5% x Rp 50.000.000,-
15% x Rp187.000.000,-
Total Pajak Terutang
|
= Rp 2.500.000,-
= Rp 33.855.000,-
= Rp 28.050.000,-
|
|
| | | |
Pajak terutang tersebut, disetorkan sendiri ke kas negara dengan menggunakan kode MAP/KJS 411125/200.
Pelaporan Pajak Terutang
Setelah menyetorkan PPh terutang, selanjutnya dokter tersebut wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh Orang Pribadi ke Kantor Pelayanan Pajak tempat terdaftar paling lambat 3 bulan setelah berakhirnya tahun pajak. Untuk tahun pajak 2018, maka harus dilaporkan paling lambat tanggal 31 Maret 2019.
Pelaporan bisa dilakukan secara langsung atau secara online melalui djponline.pajak.go.id.
6. Penghasilan lain diluar profesi dokter seperti penjualan harta, usaha sewa harta, deposito dll.
a. Penghasilan yang dipotong PPh final
Penghasilan atas deposito, penjualan tanah/bangunan, sewa tanah/bangunan telah dipotong PPh final, sehingga tidak perlu diperhitungkan lagi dalam SPT Tahunan Orang Pribadi.
b Penghasilan yang tidak dipotong PPh final
- Penghasilan atas penjualan selain tanah/bangunan seperti mobil, alat kesehatan
- Sewa selain tanah/bangunan seperti penjualan mobil
Penghasilan-penghasilan tersebut digabungkan dalam penghasilan kena pajak yang dilaporkan pada SPT Tahunan Orang Pribadi.
Dasar Hukum:
1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
2. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER - 16/PJ/2016 tanggal 29 Sept 2016 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi
3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 2010 tentang Tarif Pemotongan dan Pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 21 Atas Penghasilan yang Menjadi Beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.