Berdasarkan data Statistik Perkembangan
Ekspor Sektor Non Migas periode 2014-2018 yang dirilis oleh Pusat Data dan
Sistem Informasi Kementerian Perdagangan, kinerja ekspor non migas terus
berfluktuasi. Meskipun terdapat kecenderungan meningkat pada dua tahun
terakhir, penerimaan devisa dari kegiatan ekspor ini masih perlu ditingkatkan.
Tercatat total ekspor non migas (dalam juta US$) berturut-turut dari tahun 2014
- 2018 adalah sebagai berikut: 145.961 - 131.792 - 132.082 - 153.084 - 162.810.
Menteri
Koordinator Bidang Perekonomian telah merumuskan 2 (dua) langkah kebijakan
yaitu penyederhanaan prosedur dan efisiensi logistik. Penyederhanaan prosedur
dilakukan dengan pengurangan jenis komoditas yang wajib menyampaikan Laporan
Surveyor (LS), dan pengurangan Larangan Terbatas (LT) ekspor lainnya. Sedangkan
untuk
meningkatkan efisiensi sektor logistik, diterapkan sistem Delivery Order
(DO) secara online yang telah diluncurkan pada tanggal 29 Juni 2018 dan
telah diterapkan di lima pelabuhan yaitu Belawan, Tanjung Priok, Tanjung Perak,
Makassar, dan Pelabuhan Tanjung Emas, Semarang.
Sistem ini diharapkan dapat
meningkatkan kualitas arus barang dan mengurangi dwelling time (waktu
tunggu di pelabuhan). Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) juga berpartisipasi
dengan mempermudah prosedur layanan ekspor, salah satunya dengan menerbitkan
Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor PER-01/BC/2019 tentang Tata
Laksana Ekspor Kendaraan Bermotor dalam Bentuk Jadi, yang ditetapkan pada 11
Februari 2019.
Di lain sisi,
ekspor jasa belum berkontribusi optimal dalam keseluruhan kinerja ekspor.
Padahal pertumbuhan sektor jasa dalam negeri cukup tingggi. Dikutip dari Berita
Resmi Statistik pada situs Biro Pusat Statistik (BPS) www.bps.go.id,
pertumbuhan ekonomi Indonesia pada Triwulan I tahun 2019 mencapai 5,07%, naik
sedikit dari periode yang sama tahun 2018 yang sebesar 5,06%. Pada Triwulan I
Tahun 2019, Jasa Perusahaan merupakan penyumbang pertumbuhan ekonomi
tertinggi yaitu sebesar 10,36%, disusul oleh Jasa Lainnya sebesar 9,99%.
Hal ini menunjukkan bahwa sektor jasa merupakan penyumbang Produk
Domestik Bruto secara signifikan, yang berpotensi meningkat dari tahun ke
tahun.
Ketentuan perpajakan
terdahulu, yaitu pada pasal 2 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor
PMK-70/PMK.03/2010, kegiatan ekspor jasa dikenakan Pajak Pertambahan Nilai
(PPN) sebesar 10%. Pada ketentuan ini, hanya ada 3 sektor yang berikan
fasilitas tarif PPN 0% yaitu: 1)jasa maklon, 2)jasa perbaikan dan perawatan,
dan 3)jasa pengurusan transportasi (freight forwarding) terkait barang
untuk tujuan ekspor.
Pengenaan PPN ini
dianggap menghambat pelaku usaha karena ekspor jasa dari Indonesia menjadi
tidak kompetitif dibandingkan dengan negara-negara ASEAN yang telah lama
mengenakan tarif PPN 0% untuk kegiatan yang sama. Selain itu, ketentuan ini
tidak sesuai dengan sifat PPN yang menganut destination principle (prinsip
tempat tujuan), yaitu pajak dikenakan dimana barang/jasa tersebut digunakan,
tanpa melihat dimana barang/jasa tersebut diproduksi. Artinya, pajak atas
barang/jasa hanya dikenakan di negara pengimpor sebagai tempat barang/jasa itu
dikonsumsi.
Menyikapi
perkembangan ekonomi tersebut, Direktorat Jenderal Pajak turut serta bersinergi
dengan memberikan kebijakan insentif pajak untuk kegiatan ekspor jasa. Melalui
Peraturan Menteri Keuangan nomor PMK-32/PMK.010/2019 tanggal 29 Maret 2019
tentang Batasan Kegiatan dan Jenis Jasa Kena Pajak yang atas Ekspornya Dikenai
Pajak Pertambahan Nilai (PPN), pemerintah memperluas jenis kegiatan ekspor jasa
yang dikenakan PPN dengan tarif 0%. Fasilitas pengenaan tarif PPN 0% yang
semula hanya untuk 3 sektor saja, sekarang ditambah menjadi 10 sektor.
Sektor
tambahan tersebut adalah: 1)jasa konsultasi konstruksi, 2)jasa teknologi dan informasi,
3)jasa penelitian dan pengembangan, 4)jasa persewaan alat angkut untuk
penerbangan atau pelayaran internasional, 5)jasa perdagangan berupa jasa
mencarikan penjual barang di dalam daerah pabean untuk tujuan ekspor, 6)jasa
interkoneksi, 7)jasa penyelenggaraan satelit dan komunikasi atau konektivitas
data.
Insentif pajak yang
diatur dalam ketentuan tersebut berupa pengenaan PPN dengan tarif 0%.
Perlu dipahami bahwa insentif berupa “PPN dibebaskan” dan “tarif PPN 0%”
memiliki makna dan konsekuensi yang berbeda. “Bebas PPN” berarti tidak ada
pajak yang dikenakan, sehingga Wajib Pajak yang telah membayar PPN masukan
melalui mekanisme pemungutan, tidak dapat mengkreditkannya pada SPT Masa PPN.
PPN masukan tersebut dapat dibebankan sebagai biaya yang mengurangi penghasilan
kena pajak. Umumnya fasilitas “PPN dibebaskan” diberikan atas penyerahan barang
seperti air bersih, hasil pertanian, perkebunan, pertambangan yang diambil
langsung dari sumbernya, impor barang strategis, juga atas penyerahan jasa tertentu
seperti jasa pendidikan, keagamaan, perhotelan, catering, serta penyerahan lain
yang diatur dengan ketetentuan tersendiri oleh Menteri Keuangan.
Sedangkan “tarif PPN
0%” hanya dikenakan pada saat Wajib Pajak menerima penggantian atas jasa yang
telah diberikan, artinya PPN Masukan yang berhubungan langsung dengan kegiatan
ekspor jasa tetap dapat dikreditkan. Apabila penghasilan Wajib Pajak murni
berasal dari kegiatan ekspor jasa dan terdapat PPN Masukan yang telah dipungut,
maka SPT Masa PPN akan berstatus lebih bayar. Kelebihan pembayaran ini dapat
diajukan kompensasi atau restitusi ke Kantor Pelayanan Pajak dimana Wajib Pajak
terdaftar.
Sesuai ketentuan PMK-32/PMK.010/2019, ekspor jasa dapat diberikan fasilitas PPN 0% jika memenuhi 2
(dua) persyaratan formal yaitu:
- didasarkan atas perikatan atau perjanjian tertulis antara pengusaha kena pajak dengan penerima ekspor jasa kena pajak yang mencantumkan jenis, rincian kegiatan jasa yang dihasilkan dan nilai penggantian jasa yang diberikan,
- Terdapat pembayaran disertai bukti pembayaran yang sah dari penerima ekspor jasa kepada pengusaha kena pajak yang melakukan ekspor jasa.
Kegiatan ekspor jasa yang tidak
memenuhi persyaratan formal tersebut, penyerahan jasanya dianggap terjadi di
dalam wilayah Indonesia dan dikenakan PPN dengan tarif normal 10%.
*) pendapat
pribadi, tidak terkait instansi.