Sabtu, 29 Juni 2019

PPN Ekspor Jasa Kini 0%


Berdasarkan data Statistik Perkembangan Ekspor Sektor Non Migas periode 2014-2018 yang dirilis oleh Pusat Data dan Sistem Informasi Kementerian Perdagangan, kinerja ekspor non migas terus berfluktuasi. Meskipun terdapat kecenderungan meningkat pada dua tahun terakhir, penerimaan devisa dari kegiatan ekspor ini masih perlu ditingkatkan. Tercatat total ekspor non migas (dalam juta US$) berturut-turut dari tahun 2014 - 2018 adalah sebagai berikut: 145.961 - 131.792 - 132.082 - 153.084 - 162.810.

        Menteri Koordinator Bidang Perekonomian telah merumuskan 2 (dua) langkah kebijakan yaitu penyederhanaan prosedur dan efisiensi logistik. Penyederhanaan prosedur dilakukan dengan pengurangan jenis komoditas yang wajib menyampaikan Laporan Surveyor (LS), dan pengurangan Larangan Terbatas (LT) ekspor lainnya. Sedangkan untuk meningkatkan efisiensi sektor logistik, diterapkan sistem Delivery Order (DO) secara online yang  telah diluncurkan pada tanggal 29 Juni 2018 dan telah diterapkan di lima pelabuhan yaitu Belawan, Tanjung Priok, Tanjung Perak, Makassar, dan Pelabuhan Tanjung Emas, Semarang. 
    Sistem ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas arus barang dan mengurangi dwelling time (waktu tunggu di pelabuhan). Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) juga berpartisipasi dengan mempermudah prosedur layanan ekspor, salah satunya dengan menerbitkan Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor PER-01/BC/2019 tentang Tata Laksana Ekspor Kendaraan Bermotor dalam Bentuk Jadi, yang ditetapkan pada 11 Februari 2019.

        Di lain sisi, ekspor jasa belum berkontribusi optimal dalam keseluruhan kinerja ekspor. Padahal pertumbuhan sektor jasa dalam negeri cukup tingggi. Dikutip dari Berita Resmi Statistik pada situs Biro Pusat Statistik (BPS) www.bps.go.id, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada Triwulan I tahun 2019 mencapai 5,07%, naik sedikit dari periode yang sama tahun 2018 yang sebesar 5,06%. Pada Triwulan I Tahun 2019,  Jasa Perusahaan merupakan penyumbang pertumbuhan ekonomi tertinggi yaitu sebesar 10,36%, disusul oleh Jasa Lainnya sebesar 9,99%.  Hal ini menunjukkan bahwa sektor jasa merupakan penyumbang Produk Domestik Bruto secara signifikan, yang berpotensi meningkat dari tahun ke tahun.

       Ketentuan perpajakan terdahulu, yaitu pada pasal 2 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-70/PMK.03/2010, kegiatan ekspor jasa dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10%. Pada ketentuan ini, hanya ada 3 sektor yang berikan fasilitas tarif PPN 0% yaitu: 1)jasa maklon, 2)jasa perbaikan dan perawatan, dan 3)jasa pengurusan transportasi (freight forwarding) terkait barang untuk tujuan ekspor.

       Pengenaan PPN ini dianggap menghambat pelaku usaha karena ekspor jasa dari Indonesia menjadi tidak kompetitif dibandingkan dengan negara-negara ASEAN yang telah lama mengenakan tarif PPN 0% untuk kegiatan yang sama. Selain itu, ketentuan ini tidak sesuai dengan sifat PPN yang menganut destination principle (prinsip tempat tujuan), yaitu pajak dikenakan dimana barang/jasa tersebut digunakan, tanpa melihat dimana barang/jasa tersebut diproduksi. Artinya, pajak atas barang/jasa hanya dikenakan di negara pengimpor sebagai tempat barang/jasa itu dikonsumsi.

       Menyikapi perkembangan ekonomi tersebut, Direktorat Jenderal Pajak turut serta bersinergi dengan memberikan kebijakan insentif pajak untuk kegiatan ekspor jasa. Melalui Peraturan Menteri Keuangan nomor PMK-32/PMK.010/2019 tanggal 29 Maret 2019 tentang Batasan Kegiatan dan Jenis Jasa Kena Pajak yang atas Ekspornya Dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN), pemerintah memperluas jenis kegiatan ekspor jasa yang dikenakan PPN dengan tarif 0%. Fasilitas pengenaan tarif PPN 0% yang semula hanya untuk 3 sektor saja, sekarang ditambah menjadi 10 sektor. 
    Sektor tambahan tersebut adalah: 1)jasa konsultasi konstruksi, 2)jasa teknologi dan informasi, 3)jasa penelitian dan pengembangan, 4)jasa persewaan alat angkut untuk penerbangan atau pelayaran internasional, 5)jasa perdagangan berupa jasa mencarikan penjual barang di dalam daerah pabean untuk tujuan ekspor, 6)jasa interkoneksi, 7)jasa penyelenggaraan satelit dan komunikasi atau konektivitas data.

       Insentif pajak yang diatur dalam ketentuan tersebut berupa pengenaan PPN dengan tarif  0%. Perlu dipahami bahwa insentif berupa “PPN dibebaskan” dan “tarif PPN 0%” memiliki makna dan konsekuensi yang berbeda. “Bebas PPN” berarti tidak ada pajak yang dikenakan, sehingga Wajib Pajak yang telah membayar PPN masukan melalui mekanisme pemungutan, tidak dapat mengkreditkannya pada SPT Masa PPN. PPN masukan tersebut dapat dibebankan sebagai biaya yang mengurangi penghasilan kena pajak. Umumnya fasilitas “PPN dibebaskan” diberikan atas penyerahan barang seperti air bersih, hasil pertanian, perkebunan, pertambangan yang diambil langsung dari sumbernya, impor barang strategis, juga atas penyerahan jasa tertentu seperti jasa pendidikan, keagamaan, perhotelan, catering, serta penyerahan lain yang diatur dengan ketetentuan tersendiri oleh Menteri Keuangan.

       Sedangkan “tarif PPN 0%” hanya dikenakan pada saat Wajib Pajak menerima penggantian atas jasa yang telah diberikan, artinya PPN Masukan yang berhubungan langsung dengan kegiatan ekspor jasa tetap dapat dikreditkan. Apabila penghasilan Wajib Pajak murni berasal dari kegiatan ekspor jasa dan terdapat PPN Masukan yang telah dipungut, maka SPT Masa PPN akan berstatus lebih bayar. Kelebihan pembayaran ini dapat diajukan kompensasi atau restitusi ke Kantor Pelayanan Pajak dimana Wajib Pajak terdaftar.

Sesuai ketentuan PMK-32/PMK.010/2019, ekspor jasa  dapat diberikan fasilitas PPN 0% jika memenuhi 2 (dua) persyaratan formal yaitu:
  1. didasarkan atas perikatan atau perjanjian tertulis antara pengusaha kena pajak dengan penerima ekspor jasa kena pajak yang mencantumkan jenis, rincian kegiatan jasa yang dihasilkan dan nilai penggantian jasa yang diberikan,
  2. Terdapat pembayaran disertai bukti pembayaran yang sah dari penerima ekspor jasa kepada pengusaha kena pajak yang melakukan ekspor jasa.

Kegiatan ekspor jasa yang tidak memenuhi persyaratan formal tersebut, penyerahan jasanya dianggap terjadi di dalam wilayah Indonesia dan dikenakan PPN dengan tarif normal 10%.


*) pendapat pribadi, tidak terkait instansi.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar