Rabu, 09 Oktober 2019
Lumbung Data Itu Bernama DIP
Tulisan ini telah dimuat pada laman www.pajak.go.id
https://pajak.go.id/id/artikel/lumbung-data-itu-bernama-dip
Direktorat Data dan Informasi Perpajakan (DIP) telah beroperasi secara resmi pada hari Senin, 08 Juli 2019. Unit Eselon II baru ini resmi disahkan oleh Menteri Keuangan pada tanggal 11 Juni 2019 lalu melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-87/PMK.01/2019 tentang Perubahan atas PMK-217/PMK.01/2018 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan.
Selain DIP, terdapat satu direktorat baru lainnya yaitu Direktorat Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK), yang merupakan peleburan dari Direktorat Teknologi Informasi Perpajakan (TIP) dan Direktorat Transformasi Teknologi Komunikasi dan Informasi (TTKI).
Direktorat DIP bertugas merumuskan dan melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang data dan informasi perpajakan, dalam rangka pembenahan basis data wajib pajak yang menjadi tulang punggung reformasi pajak jilid III. Sejumlah 6 (enam) subdirektorat akan mendukung kinerja Direktorat DIP yaitu: 1)Tata Kelola Data dan Informasi, 2)Pengelolaan Data Internal, 3)Pengelolaan Data Eksternal, 4)Analisis Data dan 5) Risiko Kepatuhan Wajib Pajak dan Sains Data, 6) Subbagian Tata Usaha.
Sebagaimana kita ketahui, pemerintah Indonesia telah bergabung bersama negara-negara lain di dunia internasional dalam kerjasama AEOI (Auto Exchange Of Information), yaitu suatu sistem pertukaran data wajib pajak otomatis antar negara, yang memungkinkan tiap yurisdiksi pajak bertukar data wajib pajak secara periodik, sistematis dan berkesinambungan.
Berdasarkan data yang disampaikan pada Global Forum on Transparency and Exchange of Information for Tax Purposes yang diselenggarakan oleh Organisation of Economic Cooperation and Development (OECD) di Guangzhou-China tanggal 2-6 Juli 2018 lalu, negara-negara yang telah menyatakan siap bergabung dalam AEOI saat ini berjumlah 150 negara, 49 diantaranya telah menerapkannya pada tahun 2017, 53 negara (termasuk Indonesia) bergabung di tahun 2018, 4 negara berjanji melaksanakannya di tahun 2019-2020, dan 40 negara lainnya belum menentukan tenggat waktu penerapan AEOI tersebut.
Terkait AEOI tersebut, sejumlah data berskala besar dari 55 negara telah diterima Ditjen Pajak dalam bentuk Laporan Per Negara atau Country by Country Report (CbC Report), yaitu salah satu dokumen transfer pricing yang berisi alokasi penghasilan, pajak yang dibayar, dan aktivitas usaha dari seluruh anggota grup usaha yang disajikan dalam tabulasi khusus sesuai dengan standar internasional dan akan dipertukarkan dengan otoritas pajak negara lain sesuai perjanjian internasional.
Selain data dari Luar Negeri, Ditjen Pajak juga terus menghimpun data wajib pajak dari dalam negeri melalui pertukaran data dengan 67 instansi, termasuk kerjasama dengan pihak bank dan lembaga keuangan lainnya. Undang-undang Nomor 9 Tahun 2017 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU) Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan, mewajibkan lembaga keuangan seperti bank, pasar modal, perasuransian dan lembaga jasa keuangan lainnya untuk melaporkan data nasabah mereka kepada Ditjen Pajak.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah siap bekerjasama untuk program pertukaran data keuangan tersebut. Direktur Jenderal Pajak Bapak Robert Pakpahan dalam acara seminar perpajakan di Kantor Pusat Ditjen Pajak tanggal 14 Maret 2019 mengatakan bahwa DJP telah meminta data dari 378 lembaga keuangan melalui kerjasama dengan OJK. Data keuangan nasabah tersebut akan disandingkan dengan laporan Wajib Pajak dalam Surat Pemberitahuan (SPT). Jika terdapat selisih maka akan menjadi potensi pajak yang dapat ditindaklanjuti dengan kegiatan klarifikasi, himbauan atau pemeriksaan untuk menguji kepatuhan wajib pajak.
Tingginya volume dan variasi jenis data yang telah berhasil dihimpun, menjadi tantangan tersendiri bagi DJP. Tidak mudah mengelola data yang sedemikian besar dan kompleks agar dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk kegiatan pelayanan, pengawasan kepatuhan wajib pajak, serta penegakan hukum. Selama ini data wajib pajak dikelola oleh beberapa unit yang terpisah, sehingga timbul berbagai kendala dalam pengelolaan dan pemanfaatannya. Belum adanya Single Identity Number (SIN) untuk seluruh warga negara Indonesia menjadi kendala terbesar untuk mengintegrasikan seluruh data yang tersedia.
Jika kita tengok pengelolaan data di otoritas pajak negara tetangga kita Australia, mereka memiliki sebuah program bernama Smarter Data Program (SDP) yang mengelola data wajib pajak. Australian Taxation Office (ATO) meramu seluruh data wajib pajak mereka pada SDP , kemudian menyajikannya pada website www.ato.gov.au yang tak hanya dapat diakses oleh pihak petugas pajak saja, tapi juga oleh wajib pajak dengan menggunakan login tax number (NPWP).
Fiskus dan Wajib Pajak mengakses data yang sama persis, sehingga pihak ATO tidak perlu mengirimkan pemberitahuan kepada ”tax payer” jika terjadi selisih data, misalnya selisih data faktur pajak vs pemberitahuan ekspor/impor barang, atau selisih omset. Fiskus dapat menghemat waktu, biaya dan tenaga, karena tindakan yang mereka lakukan langsung kepada tahap mengingatkan Wajib Pajak untuk membetulkan laporan pajaknya, atau melakukan pemeriksaan jika diperlukan.
Direktorat DIP diharapkan mampu menjadi unit lumbung data yang andal. Berbagai unsur yang bergabung di dalamnya akan berkolaborasi sesuai keahlian masing-masing untuk merumuskan kebijakan, menyusun norma, standar dan prosedur, melaksanakan kebijakan, serta memberikan bimbingan teknis dan evaluasi terkait data dan informasi perpajakan.
Pengelolaan basis data terintegrasi akan mempersulit pengemplang pajak untuk menyembunyikan aset dan menghindari pajak. Kuantitas dan kualitas data yang semakin baik akan berkontribusi langsung terhadap pencapaian target penerimaan pajak dan perbaikan tax ratio di masa datang.
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi penulis bekerja.
Menimbang Rencana Kenaikan Cukai dan Pajak Rokok
Tulisan ini telah dimuat pada Harian Ekonomi Neraca tanggal 27/09/2019
Silang pendapat antara
Perkumpulan Bulutangkis (PB) Djarum dengan Komisi Perlindungan Anak Indonesia
(KPAI) baru saja usai, tetapi perdebatan pro dan kontra di masyarakat terkait
industri rokok dan kontribusi kepada negara masih terus berlanjut.
Pada rapat terbatas di
Istana Merdeka Jumat sore (13/9/2019), Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengumumkan
kenaikan cukai rokok rata-rata sebesar 23% dan Harga Jual Eceran (HJE) sebesar 35% yang akan berlaku mulai 1 Januari 2020. Petunjuk
teknis terkait mekanisme dan proporsi
kenaikan
tersebut akan dituangkan ke dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Senada dengan
Menteri Keuangan, Menko Perekonomian Darmin Nasution pada acara Indotrans Expo
2019 di Jakarta, Sabtu (14/9/2019), menyatakan
bahwa ada 3 alasan obyektif dibalik kenaikan cukai rokok yaitu: alasan
kesehatan, penerimaan negara dan kesempatan kerja.
Gagasan tentang perlunya
kenaikan cukai rokok ini sebelumnya juga disampaikan oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI)
melalui Ketua Pengurus Harian Tulus Abadi. "Atau yang urgen adalah menaikkan
cukai rokok secara signifikan, dan persentase kenaikan cukai rokok itu
sebagiannya langsung dialokasikan untuk memasok subsidi ke BPJS
Kesehatan," jelasnya dalam keterangan
tertulis, Kamis (29/8/2019).
Pendapat berbeda
disampaikan oleh Henry Najoan, Ketua Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok
Indonesia (GAPPRI). Pada siaran pers Minggu, (15/9/2019) Henry
menyatakan kekhawatirannya bahwa kenaikan tarif tersebut akan memberatkan
Industri Hasil Tembakau (IHT) dan berpotensi meningkatkan produksi rokok
ilegal.
Pembicaraan tentang
kenaikan tarif cukai dan pajak rokok ini sebenarnya sudah mengemuka sejak
beberapa tahun terakhir. Peredaran rokok yang semakin masif dan tingginya pertumbuhan jumlah perokok aktif
terutama di kalangan generasi muda meresahkan banyak kalangan. Tobacco Atlas
menyatakan bahwa Indonesia menduduki peringkat ketiga dalam kategori negara
dengan konsumsi rokok terbesar di dunia, setelah China dan India. Harga yang
terlalu murah menjadi salah satu penyebab terus meningkatnya konsumsi rokok. Benchmark tarif pajak menurut WHO adalah
70%, sedangkan tarif di Indonesia saat ini hanya 49,45%.
World Health
Organization (WHO) Regional Asia Tenggara dalam rilisnya bertajuk: Fact Sheet
2018 Indonesia, menyatakan bahwa rokok telah membunuh 225.720 jiwa melalui
penyakit jantung, infeksi pernafasan, kanker, dll. Persentase kematian akibat
rokok mencapai 14,7% dari seluruh angka
kematian selama tahun 2018.
Selain itu, WHO juga
bekerjasama dengan pemerintah Indonesia melakukan survei Global Youth Tobacco
Survey (GYTS) periode tahun 2014 (rilis terakhir). Survei ini menggunakan metode
kuesioner yang melibatkan 72 sekolah dengan total responden sejumlah 5.986
siswa kelas 7 - 9 berusia 13 -15 tahun. Hasil survey menyatakan bahwa jumlah siswa yang merokok menyentuh angka
20,3%, artinya 1 dari 5 anak adalah perokok. Angka yang cukup mengejutkan.
Pemerintah
mengambil peran dalam mengendalikan peredaran rokok, diantaranya melalui cukai
dan pajak. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007, Barang Kena Cukai (BKC) adalah barang tertentu yang mempunyai
sifat dan atau karakteristik tertentu yaitu: 1) konsumsinya perlu dikendalikan,
2) peredarannya perlu diawasi, 3) pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif
bagi masyarakat atau lingkungan hidup, 4) pemakaiannya perlu pembebanan
pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan. Cukai dikenakan terhadap produk etil
alkohol, Minuman Mengandung Etil Alkohol (MMEA) serta hasil tembakau (tembakau iris,
sigaret, rokok daun, cerutu, dan hasil olahan tembakau lainnya). Dasar pengenaan cukai
adalah Harga Jual Eceran (HJE) atau harga bandrol.
Selain cukai,
rokok juga dikenai pajak daerah, dengan istilah Pajak Rokok. Hal ini diatur pada Peraturan
Pemerintah Nomor 55 Tahun 2016 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Pemungutan
Pajak Daerah, dengan tarif sebesar 10% dari nilai cukai, dan harus disetorkan
ke rekening kas umum daerah provinsi sesuai proporsi jumlah penduduk. Pajak tersebut dipungut bersamaan dengan
pemungutan cukai oleh instansi yang berwenang. Penerimaan Pajak Rokok dibagi
secara proporsial sebesar 30% untuk provinsi dan 70% untuk kabupaten/kota yang
termasuk dalam wilayah provinsi terkait.
Pajak Pertambahan
Nilai (PPN) juga dikenakan terhadap penjualan rokok sesuai ketentuan pada Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 207/PMK.010/2016 tentang Perubahan atas PMK
174/PMK.03/2015 tentang Tata Cara Penghitungan dan Pemungutan PPN atas
Penyerahan Hasil Tembakau. Dasar pengenaan pajaknya adalah Nilai Lain, yaitu
Harga Jual Eceran (HJE) yang didalamnya sudah termasuk cukai dan pajak rokok.
Tarif efektif PPN ditetapkan sebesar 9,1%.
Saat ini terdapat
4 produsen rokok besar yang terdaftar di Bursa Efek
Indonesia yaitu:
1) PT Hanjaya
Mandala Sampoerna Tbk. (HMSP),
2) PT Gudang Garam, Tbk. (GGRM), 3) PT Bentoel
Internasional Investama Tbk.
(RMBA) dan 4) PT
Wismilak Inti Makmur (WIIM). Selain itu, masih banyak produsen berskala besar lain
seperti PT Djarum dan PT Nojorono Tobacco International, serta ratusan produsen
berbentuk Usaha Kecil dan Menengah (UMKM). Data dari Direktorat Industri
Minuman, Hasil Tembakau dan Bahan Penyegar Kementerian Perindustrian menyatakan bahwa produksi rokok secara nasional
mencapai 332,3 miliar batang pada tahun 2018.
Sampoerna merupakan
market leader yang menguasai 33% pasar
rokok nasional, dengan nama Djisamsoe, Marlboro, A Mild, U Mild, Magnum dan
Sampoerna. Perusahaan yang dimiliki oleh PT Phillip Morris Indonesia (PMI) (92,5%)
dan publik (7,5%) ini memiliki 7 pabrik yang mampu menjual 101,4 miliar batang
rokok dan membukukan laba bersih sebesar Rp 13,6 triliun di tahun 2018, naik
9,42% dari tahun 2017 yang sebesar Rp12.483 triliun. Saham PMI 100% dimiliki
oleh Philip Morris Investment BV (Belanda), yang merupakan kepanjangan tangan
dari Philip Morris International, produsen rokok bermerk “Marlboro” yang
bermarkas di New York, Amerika Serikat.
Gudang Garam
mencatat kenaikan penjualan sebesar 8,3% dari 79 miliar batang rokok di tahun
2017 menjadi 85,2 miliar, dan memperolah laba bersih sebesar Rp 7,79 triliun di
tahun 2018. Pabriknya yang berada di 2 lokasi yaitu Kediri dan Pasuruan,
memproduksi rokok bernama Gudang Garam, Surya, Sriwedari, Djaja, dan Klobot.
Perusahaan ini dimiliki oleh pengusaha lokal dan 23% sahamnya dijual di bursa.
Bentoel menguasai
8% pangsa pasar rokok dalam negeri dengan produknya Bentoel Biru, Lucky Strike,
Ardath, Dunhill, Pall Mall, Star Mild, dll. Perusahaan yang memiliki pabrik di
Malang, Jawa Timur ini memproduksi 181.925 ton tembakau dari 186 ribu hektar
lahan yang dimilikinya. Selain dijual di pasar domestik, tembakau dan hasil
olahannya berupa rokok kretek dan rokok putih di ekspor ke 19 negara. Meskipun selalu
membukukan rugi bersih sejak 7 tahun terakhir, sebenarnya laba kotor Bentoel naik
26,98% dari Rp2,1 triliun di tahun 2017 menjadi Rp2,66 triliun di tahun 2018.
Bentoel dimiliki oleh British American Tobacco Ltd (92,48%), United Bank of
Switzerland (7,29%), dan publik (0,23%).
Wismilak yang
pabriknya berlokasi di Bojonegoro, Jawa Timur ini memproduksi rokok dengan merk
Wismilak, Diplomat, Galan, dan cerutu Wismilak. Pemegang sahamnya adalah pengusaha lokal dan publik sebesar 32,57%.
Meskipun mengalami penurunan volume penjualan sebesar 4% yaitu Rp1,41 triliun
di tahun 2018 sedangkan sebelumnya di tahun 2017 sebesar Rp1,48 triliun, tetapi
Wismilak berhasil mencatat laba sebesar Rp51,14 miliar, naik 40,59% dari 2017
yang sebesar Rp40,59 miliar.
Tahun lalu pemerintah
menaikkan cukai rokok sebesar rata-rata 10,4% melalui
PMK 146/PMK.010/2017 yang berlaku
mulai 1 Januari 2018. Berdasarkan data empiris laporan keuangan perusahaan
rokok tersebut di atas, kenaikan cukai
tersebut ternyata secara umum tidak menurunkan performa keuangan
perusahaan di tahun 2018. Sebagian besar masih memperolah keuntungan dari
kegiatan bisnis yang dijalankan.
Jumlah rupiah
yang bisa dihimpun negara dari cukai dan pajak yang dibayar oleh
perusahaan-perusahaan tersebut tentu tidak sedikit. Rencana kenaikan tarif
cukai dan pajak akan mendongkrak penerimaan negara secara signifikan. Di sisi
lain, upaya ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat
dengan cara membatasi daya beli masyarakat terhadap produk tembakau dan
turunannya.
Dalam hal
peredaran rokok ilegal dan cukai palsu, perlu kerja keras jajaran Ditjen Bea Cukai dan
instansi terkait untuk melakukan serangkaian tindakan preventif berupa
penyuluhan/sosialisasi kepada masyarakat maupun tindakan represif berupa penindakan
terhadap produsen dan operasi pasar secara rutin.
(Tulisan merupakan pendapat pribadi, tidak terkait instansi tempat penulis bekerja)
Langganan:
Postingan (Atom)