Tulisan ini telah dimuat pada Harian Ekonomi Neraca tanggal 27/09/2019
Silang pendapat antara
Perkumpulan Bulutangkis (PB) Djarum dengan Komisi Perlindungan Anak Indonesia
(KPAI) baru saja usai, tetapi perdebatan pro dan kontra di masyarakat terkait
industri rokok dan kontribusi kepada negara masih terus berlanjut.
Pada rapat terbatas di
Istana Merdeka Jumat sore (13/9/2019), Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengumumkan
kenaikan cukai rokok rata-rata sebesar 23% dan Harga Jual Eceran (HJE) sebesar 35% yang akan berlaku mulai 1 Januari 2020. Petunjuk
teknis terkait mekanisme dan proporsi
kenaikan
tersebut akan dituangkan ke dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Senada dengan
Menteri Keuangan, Menko Perekonomian Darmin Nasution pada acara Indotrans Expo
2019 di Jakarta, Sabtu (14/9/2019), menyatakan
bahwa ada 3 alasan obyektif dibalik kenaikan cukai rokok yaitu: alasan
kesehatan, penerimaan negara dan kesempatan kerja.
Gagasan tentang perlunya
kenaikan cukai rokok ini sebelumnya juga disampaikan oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI)
melalui Ketua Pengurus Harian Tulus Abadi. "Atau yang urgen adalah menaikkan
cukai rokok secara signifikan, dan persentase kenaikan cukai rokok itu
sebagiannya langsung dialokasikan untuk memasok subsidi ke BPJS
Kesehatan," jelasnya dalam keterangan
tertulis, Kamis (29/8/2019).
Pendapat berbeda
disampaikan oleh Henry Najoan, Ketua Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok
Indonesia (GAPPRI). Pada siaran pers Minggu, (15/9/2019) Henry
menyatakan kekhawatirannya bahwa kenaikan tarif tersebut akan memberatkan
Industri Hasil Tembakau (IHT) dan berpotensi meningkatkan produksi rokok
ilegal.
Pembicaraan tentang
kenaikan tarif cukai dan pajak rokok ini sebenarnya sudah mengemuka sejak
beberapa tahun terakhir. Peredaran rokok yang semakin masif dan tingginya pertumbuhan jumlah perokok aktif
terutama di kalangan generasi muda meresahkan banyak kalangan. Tobacco Atlas
menyatakan bahwa Indonesia menduduki peringkat ketiga dalam kategori negara
dengan konsumsi rokok terbesar di dunia, setelah China dan India. Harga yang
terlalu murah menjadi salah satu penyebab terus meningkatnya konsumsi rokok. Benchmark tarif pajak menurut WHO adalah
70%, sedangkan tarif di Indonesia saat ini hanya 49,45%.
World Health
Organization (WHO) Regional Asia Tenggara dalam rilisnya bertajuk: Fact Sheet
2018 Indonesia, menyatakan bahwa rokok telah membunuh 225.720 jiwa melalui
penyakit jantung, infeksi pernafasan, kanker, dll. Persentase kematian akibat
rokok mencapai 14,7% dari seluruh angka
kematian selama tahun 2018.
Selain itu, WHO juga
bekerjasama dengan pemerintah Indonesia melakukan survei Global Youth Tobacco
Survey (GYTS) periode tahun 2014 (rilis terakhir). Survei ini menggunakan metode
kuesioner yang melibatkan 72 sekolah dengan total responden sejumlah 5.986
siswa kelas 7 - 9 berusia 13 -15 tahun. Hasil survey menyatakan bahwa jumlah siswa yang merokok menyentuh angka
20,3%, artinya 1 dari 5 anak adalah perokok. Angka yang cukup mengejutkan.
Pemerintah
mengambil peran dalam mengendalikan peredaran rokok, diantaranya melalui cukai
dan pajak. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007, Barang Kena Cukai (BKC) adalah barang tertentu yang mempunyai
sifat dan atau karakteristik tertentu yaitu: 1) konsumsinya perlu dikendalikan,
2) peredarannya perlu diawasi, 3) pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif
bagi masyarakat atau lingkungan hidup, 4) pemakaiannya perlu pembebanan
pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan. Cukai dikenakan terhadap produk etil
alkohol, Minuman Mengandung Etil Alkohol (MMEA) serta hasil tembakau (tembakau iris,
sigaret, rokok daun, cerutu, dan hasil olahan tembakau lainnya). Dasar pengenaan cukai
adalah Harga Jual Eceran (HJE) atau harga bandrol.
Selain cukai,
rokok juga dikenai pajak daerah, dengan istilah Pajak Rokok. Hal ini diatur pada Peraturan
Pemerintah Nomor 55 Tahun 2016 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Pemungutan
Pajak Daerah, dengan tarif sebesar 10% dari nilai cukai, dan harus disetorkan
ke rekening kas umum daerah provinsi sesuai proporsi jumlah penduduk. Pajak tersebut dipungut bersamaan dengan
pemungutan cukai oleh instansi yang berwenang. Penerimaan Pajak Rokok dibagi
secara proporsial sebesar 30% untuk provinsi dan 70% untuk kabupaten/kota yang
termasuk dalam wilayah provinsi terkait.
Pajak Pertambahan
Nilai (PPN) juga dikenakan terhadap penjualan rokok sesuai ketentuan pada Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 207/PMK.010/2016 tentang Perubahan atas PMK
174/PMK.03/2015 tentang Tata Cara Penghitungan dan Pemungutan PPN atas
Penyerahan Hasil Tembakau. Dasar pengenaan pajaknya adalah Nilai Lain, yaitu
Harga Jual Eceran (HJE) yang didalamnya sudah termasuk cukai dan pajak rokok.
Tarif efektif PPN ditetapkan sebesar 9,1%.
Saat ini terdapat
4 produsen rokok besar yang terdaftar di Bursa Efek
Indonesia yaitu:
1) PT Hanjaya
Mandala Sampoerna Tbk. (HMSP),
2) PT Gudang Garam, Tbk. (GGRM), 3) PT Bentoel
Internasional Investama Tbk.
(RMBA) dan 4) PT
Wismilak Inti Makmur (WIIM). Selain itu, masih banyak produsen berskala besar lain
seperti PT Djarum dan PT Nojorono Tobacco International, serta ratusan produsen
berbentuk Usaha Kecil dan Menengah (UMKM). Data dari Direktorat Industri
Minuman, Hasil Tembakau dan Bahan Penyegar Kementerian Perindustrian menyatakan bahwa produksi rokok secara nasional
mencapai 332,3 miliar batang pada tahun 2018.
Sampoerna merupakan
market leader yang menguasai 33% pasar
rokok nasional, dengan nama Djisamsoe, Marlboro, A Mild, U Mild, Magnum dan
Sampoerna. Perusahaan yang dimiliki oleh PT Phillip Morris Indonesia (PMI) (92,5%)
dan publik (7,5%) ini memiliki 7 pabrik yang mampu menjual 101,4 miliar batang
rokok dan membukukan laba bersih sebesar Rp 13,6 triliun di tahun 2018, naik
9,42% dari tahun 2017 yang sebesar Rp12.483 triliun. Saham PMI 100% dimiliki
oleh Philip Morris Investment BV (Belanda), yang merupakan kepanjangan tangan
dari Philip Morris International, produsen rokok bermerk “Marlboro” yang
bermarkas di New York, Amerika Serikat.
Gudang Garam
mencatat kenaikan penjualan sebesar 8,3% dari 79 miliar batang rokok di tahun
2017 menjadi 85,2 miliar, dan memperolah laba bersih sebesar Rp 7,79 triliun di
tahun 2018. Pabriknya yang berada di 2 lokasi yaitu Kediri dan Pasuruan,
memproduksi rokok bernama Gudang Garam, Surya, Sriwedari, Djaja, dan Klobot.
Perusahaan ini dimiliki oleh pengusaha lokal dan 23% sahamnya dijual di bursa.
Bentoel menguasai
8% pangsa pasar rokok dalam negeri dengan produknya Bentoel Biru, Lucky Strike,
Ardath, Dunhill, Pall Mall, Star Mild, dll. Perusahaan yang memiliki pabrik di
Malang, Jawa Timur ini memproduksi 181.925 ton tembakau dari 186 ribu hektar
lahan yang dimilikinya. Selain dijual di pasar domestik, tembakau dan hasil
olahannya berupa rokok kretek dan rokok putih di ekspor ke 19 negara. Meskipun selalu
membukukan rugi bersih sejak 7 tahun terakhir, sebenarnya laba kotor Bentoel naik
26,98% dari Rp2,1 triliun di tahun 2017 menjadi Rp2,66 triliun di tahun 2018.
Bentoel dimiliki oleh British American Tobacco Ltd (92,48%), United Bank of
Switzerland (7,29%), dan publik (0,23%).
Wismilak yang
pabriknya berlokasi di Bojonegoro, Jawa Timur ini memproduksi rokok dengan merk
Wismilak, Diplomat, Galan, dan cerutu Wismilak. Pemegang sahamnya adalah pengusaha lokal dan publik sebesar 32,57%.
Meskipun mengalami penurunan volume penjualan sebesar 4% yaitu Rp1,41 triliun
di tahun 2018 sedangkan sebelumnya di tahun 2017 sebesar Rp1,48 triliun, tetapi
Wismilak berhasil mencatat laba sebesar Rp51,14 miliar, naik 40,59% dari 2017
yang sebesar Rp40,59 miliar.
Tahun lalu pemerintah
menaikkan cukai rokok sebesar rata-rata 10,4% melalui
PMK 146/PMK.010/2017 yang berlaku
mulai 1 Januari 2018. Berdasarkan data empiris laporan keuangan perusahaan
rokok tersebut di atas, kenaikan cukai
tersebut ternyata secara umum tidak menurunkan performa keuangan
perusahaan di tahun 2018. Sebagian besar masih memperolah keuntungan dari
kegiatan bisnis yang dijalankan.
Jumlah rupiah
yang bisa dihimpun negara dari cukai dan pajak yang dibayar oleh
perusahaan-perusahaan tersebut tentu tidak sedikit. Rencana kenaikan tarif
cukai dan pajak akan mendongkrak penerimaan negara secara signifikan. Di sisi
lain, upaya ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat
dengan cara membatasi daya beli masyarakat terhadap produk tembakau dan
turunannya.
Dalam hal
peredaran rokok ilegal dan cukai palsu, perlu kerja keras jajaran Ditjen Bea Cukai dan
instansi terkait untuk melakukan serangkaian tindakan preventif berupa
penyuluhan/sosialisasi kepada masyarakat maupun tindakan represif berupa penindakan
terhadap produsen dan operasi pasar secara rutin.
(Tulisan merupakan pendapat pribadi, tidak terkait instansi tempat penulis bekerja)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar