Tulisan ini dimuat pada Harian Ekonomi Neraca, Sabtu, 7 September 2019
http://www.neraca.co.id/article/121591/menakar-potensi-pajak-google?fbclid=IwAR0xtgYU883S9q0pH0GPSPmmcAeIjPt2F9uWQxN-iN2nQxXgut-gtGPIBbo
Khabar baik datang dari Google,
perusahaan multinasional yang berbasis di California, Amerika Serikat. Google memutuskan untuk memindahkan hak atas
kontrak Google Ads dari Google Asia
Pacific Pte. Ltd. yang berkedudukan di Singapura ke PT Google Indonesia. Artinya, setiap transaksi
pemasangan iklan di Google Ads harus
tunduk pada ketentuan perpajakan di Indonesia.
Berdasarkan data statistik Google Trends, Google menduduki peringkat
kedua setelah Facebook dalam kategori 10 situs yang paling banyak dikunjungi
sampai dengan tahun 2018, disusul oleh Youtube, Twitter, Wikipedia, Lingkedln,
Baidu, Ebay, Instagram, dan terakhir adalah Bing. Google diperkirakan mengoperasikan lebih dari
1 juta server di berbagai belahan
dunia dan memproses miliaran query
data setiap harinya. Tahun 2018 lalu, Alphabet Inc (perusahaan induk Google)
mengumumkan pendapatan sebesar USD 39,2 miliar atau setara Rp546,3 triliun.
Indonesia merupakan pasar yang sangat
potensial karena keunggulan demografi yang dimilikinya. Asosiasi Penyelenggara
Jasa Internet Indonesia (APJII) melakukan Survey Penetrasi dan Profil Pelaku
Pengguna Internet Indonesia tahun 2018, yang melibatkan 5.900 sampel dengan margin error 1,28%. Hasil survey
menyatakan bahwa dari total jumlah penduduk Indonesia berdasarkan data Biro
Pusat Statistik (BPS) sebesar 264,16 juta jiwa, 171,17 juta jiwa diantaranya (64,8%)
merupakan pengguna internet aktif. Sejumlah 62,8% dari pengguna internet
tersebut, menghabiskan waktu lebih dari 2 jam per hari untuk berselancar di
dunia maya. Potensi ini tentu tidak disia-siakan oleh Google dan perusahaan
teknologi informasi berbasis internet lainnya.
Produk yang disediakan oleh Google antara
lain: 1) Search Engine (aplikasi pencarian) berupa Google
Search, Google Maps, Google Earth, dan Google
Books; 2) Sarana komunikasi dan layanan cloud
berupa Gmail, Google Drive, Google Docs,
dan browser Google Chrome; 3) Software
(perangkat lunak) berupa sistem Android yang lazim digunakan pada telepon
genggam; 4) Google Analytics, yaitu layanan yang berisi peralatan bagi para webmaster untuk menganalisis pengguna
webnya; 5) Google SMS, yaitu short message service (layanan pesan singkat); 6) Google Aps Premier Edition, sebuah
versi lain Google Apps yang
difokuskan pada pengguna bisnis, memiliki beberapa tambahan seperti ruang disk
lebih banyak untuk e-mail
dan akses Application Programming
Interface (API); 7) Knol, sebuah situs web
yang ditujukan sebagai sumber referensi pengetahuan.
Dari keseluruhan produk tersebut, jasa
periklanan (Google Adwords dan Google Adsense) memberikan porsi pendapatan
yang terbesar. Pada layanan Google
AdWords, pelanggan memasang iklan yang akan muncul pada halaman hasil
penelusuran Google dan jaringan situs partnernya. Selain itu Google Adwords juga terdapat pada Youtube dan Maps berupa banner, teks, foto, video, dll. Terdapat 2 macam sistem pembayaran pada Google Adwors, yaitu Pay Per Click (PPC), dimana pembayaran berdasarkan
jumlah klik pada iklan dan Pay Per Million (PPM), pembayaran berdasarkan jumlah
iklan yang ditampilkan per 1000 kali tampil.
Sedangkan pada Google Adsense (GoogleAds), pemilik
website/blog memasang iklan yang bentuk dan materinya telah ditentukan oleh
Google. GoogleAds
banyak dimanfaatkan oleh publisher/kreator
seperti youtuber atau blogger, karena menitikberatkan pada trafffic suatu blog atau banyaknya view suatu konten. Pemilik web/blog/akun youtube akan mendapatkan
pembagian keuntungan dari Google untuk setiap 1 iklan yang di klik oleh pengunjung situs dengan sistem Pay Per Click (PPC). Ada
pula Adsense for Search, dimana pemilik situs web
memasang kotak pencarian Google pada halaman web mereka dan mendapatkan penghasilan dari
google untuk setiap pencarian yang dilakukan pengunjung melalui kotak pencarian
tersebut.
Google menghadapi sengketa pajak
dengan berbagai negara. Otoritas pajak Inggris akhirnya berhasil memaksa Google
membayar pajak sebesar 130 juta poundsterling (Rp2,2 triliun) setelah
bersengketa kurang lebih 6 tahun. Angka tersebut masih jauh dari yang
diharapkan oleh pemerintah Inggris, mengingat omset Google di Inggris mencapai
7,2 miliar poundsterling (Rp123 triliun). Pemerintah Perancis menagih pajak
sebesar 1,6 miliar euro (Rp23,5 triliun) karena Google memindahkan sebagian
besar penghasilannya ke Irlandia, negeri surga pajak. Hal ini juga terjadi di
Italia, Spanyol dan banyak negara lainnya.
PT GI sebagai perpanjangan tangan Google
LLC. (Amerika Serikat), mulai.beroperasi di Indonesia sejak September 2011 dan tercatat
pernah bersengketa dengan Direktorat Jenderal Pajak pada tahun 2016 karena
dianggap tidak membayar pajak atas seluruh penghasilan yang diperoleh di
Indonesia. Berdasarkan kontrak dengan induknya, PT Google Indonesia mendapatkan
fee sebesar 4% dari pendapatan iklan
yang diperoleh di Indonesia. Pendapatan tersebut dijadikan basis pajak, padahal
seharusnya basis pajak dihitung dari keseluruhan pendapatan iklan. Saat itu PT
GI menolak ditetapkan sebagai Bentuk Usaha Tetap (BUT) dan menolak dilakukan
pemeriksaan oleh Ditjen Pajak.
Dipicu oleh kebuntuan sengketa
tersebut serta menyikapi perkembangan perusahaan multinasional terutama sektor
ekonomi digital yang semakin pesat, bulan April lalu Menteri Keuangan Sri
Mulyani Indrawati telah menandatangai Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-35/PMK.03/2019
tentang Penentuan Bentuk Usaha (BUT). Ketentuan ini menegaskan bahwa setiap
bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi asing atau badan asing untuk
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia dengan kriteria: 1) adanya
suatu tempat usaha di Indonesia; 2) tempat usaha tersebut bersifat permanen;
dan 3) tempat usaha tersebut digunakan untuk menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan. adalah BUT dan wajib mematuhi
ketentuan perpajakan di Indonesia.
Beleid ini menegaskan pengertian Place of Business (tempat usaha), yaitu:
segala jenis tempat, ruang, fasilitas, atau instalasi, termasuk mesin atau
peralatan, yang digunakan Orang Pribadi Asing atau Badan Asing untuk
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan, yang dapat berupa: tempat kedudukan
manajemen; cabang perusahaan; kantor perwakilan; gedung kantor; pabrik;
bengkel; gudang; ruang untuk promosi dan penjualan; pertambangan dan penggalian
sumber alam; wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi; perikanan,
peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan; dan komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang
dimiliki, disewa, atau digunakan Orang Pribadi Asing atau Badan Asing untuk menjalankan usaha melalui internet.
PT GI
telah memenuhi kriteria BUT dalam ketentuan tersebut karena memiliki kantor
perwakilan, komputer, agen elektronik dan peralatan otomatis yang dimiliki dan
digunakan untuk menjalankan usaha dan mendapatkan penghasilan di Indonesia.
Dikutip dari laman resmi google: https://support.google.com/google-ads, PT Google Indonesia mengumumkan
kepada para pelanggan Google Ads beberapa
hal sebagai berikut: 1) Mulai tanggal 1 Oktober 2019 invoice akan diterbitkan
oleh PT Google Indonesia (GI) sebagai reseller
layanan, 2) Untuk mematuhi peraturan pajak setempat, semua penjualan Google Ads di Indonesia akan dikenakan
PPN sebesar 10%, 3) Pelanggan diminta untuk mengupdate alamat penagihan di
Indonesia, 4) Jika pelanggan ingin memotong Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23
sebesar 2%, maka diminta mengirimkan bukti potong PPh 23 tersebut ke PT GI, 5)
Untuk pelanggan yang berstatus pemungut PPN, diminta memberikan bukti
pembayaran berupa Surat Setoran Pajak (SSP) dengan mengirimkan dokumen fisik
asli dan bertandatangan, 6) Google tidak dapat memberikan saran tentang masalah
pajak, pelanggan dipersilahkan menghubungi konsultan pajak jika ada hal-hal
yang belum dipahami. Terkait pengalihan kontrak tersebut, pihak PT GI akan
meminta pelanggan Google Ads untuk
memperbarui data-data mereka berupa nama asli, Nomor Induk Kependudukan (NIK)
serta Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) untuk keperluan pembuatan Faktur Pajak.
Itikad baik PT Google Indonesia untuk
menaati ketentuan perpajakan melalui pemungutan PPN dan Pemotongan PPh Pasal 23
per 1 Oktober 2019 ini patut diapresiasi, apalagi dalam kondisi sulitnya
memenuhi target penerimaan pajak di tengah lesunya perekonomian global. Semoga langkah ini dapat diikuti oleh Youtube, Instagram, Facebook dan
platform Over The Top (OTT) sejenis yang beroperasi dan mengeruk keuntungan dari
rakyat Indonesia.
*)
pendapat pribadi penulis, tidak terkait instansi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar