Minggu, 01 November 2020

Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat

 



What to do when you’re feeling blue? 
Read this book!...

Buku ini terjemahan dari The Subtle Art of Not Giving a F*ck: A Counterintuitive Approach to Living a Good Life karya Mark Manson, penulis muda kelahiran Texas, Amerika Serikat.

Menyabet kategori 1st best seller versi New York Times, buku ini adalah kumpulan tulisan-tulisannya di blog www.markmanson.net yang membahas berbagai topik pertemanan, psikologi & pilihan hidup.

Cukup lama saya menyelesaikan buku ini, karena menurut saya “mbulet” (versi Jawa) alias ceritanya muter2 dan berhasil membuat saya bingung.
Selain jalan cerita yg melompat2, banyak kata2 vulgar & mungkin faktor terjemahan dari bahasa asing sehingga kalimat2nya membuat saya mengernyitkan dahi.

Poin-poin yang saya catat dalam buku ini sbb:

Tidak apa-apa menjadi orang yang biasa-biasa saja karena tidak semua orang memiliki kesempatan atau kemampuan menjadi luar biasa. Ada pemenang dan ada pecundang. Ada beberapa peristiwa yang tidak adil & kadang terjadi bukan karena kesalahan kita. Maka ketahui batasan dirimu dan terimalah dengan lapang dada.

Cuek/masa bodoh adalah cara sederhana untuk menyelamatkan diri. Jangan memusingkan semua persoalan karena hidup adalah rentetan masalah yg tidak berujung. Pikirkan yg benar2 penting & lepaskan hal2 lainnya.

Buku-buku pengembangan diri umumnya memotivasi kita supaya lebih baik. Sebaliknya buku ini mengatakan bahwa semakin kita berusaha menjadi lebih baik, justru kita merasa semakin tidak puas karena mengejar sesuatu yang meneguhkan fakta bahwa awalnya kita tidak baik.
Marson memberi contoh ketika kita semakin mati-matian berusaha ingin kaya, kita justru akan merasa semakin miskin dan tidak berharga. Jangan berusaha, katanya.

Tidak semua statement dalam buku ini saya sepakati , tetapi dg membacanya lumayan menghibur diri & jadi berterimakasih atas segala nikmat yang telah Allah beri.

Tidak perlu membandingkan capaian diri dengan orang lain. Cukup bandingkan dengan diri kita sendiri. Apakah lebih baik dari sebelumnya?

Have a nice Monday..



Soewardi Soerjaningrat

 




    Awalnya saya tertarik dengan buku ini  karena diskonnya, (mohom maklum namanya juga emak2, gak tahan lihat diskon), ternyata isinya menarik.

    Diterbitkan perdana oleh Balai Pustaka tahun 1985, buku ini awalnya adalah skripsi dari Ibu Irna Hanny Nastoeti saat menempuh pendidikan Ilmu Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Indonesia, yang diterbitkan kembali oleh penerbit Gramedia, 2019.

    Yang saya kagumi dari penulis adalah keseriusan beliau dalam menempuh pendidikan meskipun di usia yang tak lagi muda. Beliau melanjutkan kuliah saat keempat putranya sudah besar, menunggu tugas pengasuhan anak tertunaikan. Tidak malu belajar bersama mahasiswa lain yang usianya jauh lebih muda.

    Berdasarkan wawancara dengan kerabat dan pelaku sejarah, 6 halaman daftar pustaka, surat kabar/majalah serta berbagai sumber tertulis lainnya, buku ini menceritakan kisah perjuangan Soewardi Soerjaningrat, yang kita kenal sebagai Ki Hadjar Dewantara, pendiri Taman Siswa yang menjadi pelopor pendidikan nasional.

    Sebagai priyayi berdarah biru (putra GPH Soerjaningrat, cucu Pakualam III), alih-alih menikmati zona nyaman dengan menjadi kacung penjajah, beliau malah berusaha membangkitkan kesadaran kaum pribumi untuk bangkit dan berusaha menjadi negeri yang merdeka.

    Soewardi sempat diasingkan ke Belanda selama 4 tahun bersama Dr Tjipto Mangunkusumo dan Douwes Dekker karena menulis kritikan kepada pemerintah Hindia Belanda yang saat itu mewajibkan pribumi untuk ikut merayakan 100 tahun kemerdekaan Belanda dengan memungut uang derma secara paksa. Bagaimana mungkin negeri yang terjajah merayakan kemerdekaan penjajahnya? Walaupun terbuang dari negeri yang dicintainya, beliau tetap berjuang menuliskan berbagai opini yang membakar semangat nasionalisme di berbagai media cetak baik yang diterbitkan di negeri Belanda maupun tanah air.

    Beliau tidak mau menerima  bantuan material yang disodorkan berbagai pihak, karena menjaga harga diri dan independensi. Padahal saat itu meletus Perang Dunia I dimana kondisi ekonomi di Eropa sangat sulit. Untuk mencukupi kebutuhan keluarga beliau mengandalkan honor menulis dari media, sedangakan Nyi Hadjar membantu mencari nafkah dengan menjadi guru TK. Saat kelahiran si sulung Asti yang mengalami masalah kesehatan sehingga harus dirawat berbulan-bulan di rumah sakit, Soewardi akhirnya menyerah. Beliau mau menerima uang  dengan catatan bukan pemberian cuma-cuma tapi pinjaman, yang akan dicicil di kemudian hari.

    Putri beliau ini juga mengalami keterbelakangan mental (ada yang berpendapat mungkin disebabkan karena beliau menikahi sepupu yang terhitung kerabat dekat), sehingga meneguhkan cita2 beliau untuk mengganti sistem pendidikan kolonial yang menggunakan metode perintah, paksaan, hukuman menjadi sistem “among” yang membiarkan anak tumbuh sesuai kodratnya.

    Ing Ngarso Sung Tulodho (di depan memberi teladan), Ing Madyo Mangun Karso (di tengah membangun semangat), Tut Wuri Handayani (di belakang memberi dorongan) adalah semboyan beliau dalam menjalankan peran menjadi pemimpin dan pendidik yang kemudian menjadi slogan Kemendiknas. Ahhh.... andai semua pemimpin di negeri ini meneladani beliau.

    Buku ini kecil dan tipis, cuma 118 halaman. Masih banyak informasi yang saya harapkan ada didalamnya tapi belum saya temukan.  Salah satunya proses jatuh bangun membangun Perguruan Taman Siswa belum dikupas disini. Semoga ada sejarawan lain yang berkenan melengkapi, karena perjalanan hidup beliau sangat menarik untuk dipelajari dan diteladani.

 

Bintaro, 2 November 2020