Diterbitkan perdana oleh Balai
Pustaka tahun 1985, buku ini awalnya adalah skripsi dari Ibu Irna Hanny
Nastoeti saat menempuh pendidikan Ilmu Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas
Indonesia, yang diterbitkan kembali oleh penerbit Gramedia, 2019.
Yang saya kagumi dari penulis adalah
keseriusan beliau dalam menempuh pendidikan meskipun di usia yang tak lagi
muda. Beliau melanjutkan kuliah saat keempat putranya sudah besar, menunggu tugas
pengasuhan anak tertunaikan. Tidak malu belajar bersama mahasiswa lain yang
usianya jauh lebih muda.
Berdasarkan wawancara dengan
kerabat dan pelaku sejarah, 6 halaman daftar pustaka, surat kabar/majalah serta
berbagai sumber tertulis lainnya, buku ini menceritakan kisah perjuangan
Soewardi Soerjaningrat, yang kita kenal sebagai Ki Hadjar Dewantara, pendiri
Taman Siswa yang menjadi pelopor pendidikan nasional.
Sebagai priyayi berdarah biru (putra
GPH Soerjaningrat, cucu Pakualam III), alih-alih menikmati zona nyaman dengan
menjadi kacung penjajah, beliau malah berusaha membangkitkan kesadaran kaum
pribumi untuk bangkit dan berusaha menjadi negeri yang merdeka.
Soewardi sempat diasingkan ke
Belanda selama 4 tahun bersama Dr Tjipto Mangunkusumo dan Douwes Dekker karena
menulis kritikan kepada pemerintah Hindia Belanda yang saat itu mewajibkan
pribumi untuk ikut merayakan 100 tahun kemerdekaan Belanda dengan memungut uang
derma secara paksa. Bagaimana mungkin negeri yang terjajah merayakan
kemerdekaan penjajahnya? Walaupun terbuang dari negeri yang dicintainya, beliau
tetap berjuang menuliskan berbagai opini yang membakar semangat nasionalisme di
berbagai media cetak baik yang diterbitkan di negeri Belanda maupun tanah air.
Beliau tidak mau menerima bantuan material yang disodorkan berbagai
pihak, karena menjaga harga diri dan independensi. Padahal saat itu meletus
Perang Dunia I dimana kondisi ekonomi di Eropa sangat sulit. Untuk mencukupi
kebutuhan keluarga beliau mengandalkan honor menulis dari media, sedangakan Nyi
Hadjar membantu mencari nafkah dengan menjadi guru TK. Saat kelahiran si sulung
Asti yang mengalami masalah kesehatan sehingga harus dirawat berbulan-bulan di
rumah sakit, Soewardi akhirnya menyerah. Beliau mau menerima uang dengan catatan bukan pemberian cuma-cuma tapi
pinjaman, yang akan dicicil di kemudian hari.
Putri beliau ini juga mengalami
keterbelakangan mental (ada yang berpendapat mungkin disebabkan karena beliau
menikahi sepupu yang terhitung kerabat dekat), sehingga meneguhkan cita2 beliau
untuk mengganti sistem pendidikan kolonial yang menggunakan metode perintah,
paksaan, hukuman menjadi sistem “among” yang membiarkan anak tumbuh sesuai
kodratnya.
Ing Ngarso Sung Tulodho (di depan
memberi teladan), Ing Madyo Mangun Karso (di tengah membangun semangat), Tut
Wuri Handayani (di belakang memberi dorongan) adalah semboyan beliau dalam
menjalankan peran menjadi pemimpin dan pendidik yang kemudian menjadi slogan
Kemendiknas. Ahhh.... andai semua pemimpin di negeri ini meneladani beliau.
Buku ini kecil dan tipis, cuma
118 halaman. Masih banyak informasi yang saya harapkan ada didalamnya tapi
belum saya temukan. Salah satunya proses
jatuh bangun membangun Perguruan Taman Siswa belum dikupas disini. Semoga ada
sejarawan lain yang berkenan melengkapi, karena perjalanan hidup beliau sangat
menarik untuk dipelajari dan diteladani.
Bintaro, 2 November 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar