Minggu, 01 November 2020

Soewardi Soerjaningrat

 




    Awalnya saya tertarik dengan buku ini  karena diskonnya, (mohom maklum namanya juga emak2, gak tahan lihat diskon), ternyata isinya menarik.

    Diterbitkan perdana oleh Balai Pustaka tahun 1985, buku ini awalnya adalah skripsi dari Ibu Irna Hanny Nastoeti saat menempuh pendidikan Ilmu Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Indonesia, yang diterbitkan kembali oleh penerbit Gramedia, 2019.

    Yang saya kagumi dari penulis adalah keseriusan beliau dalam menempuh pendidikan meskipun di usia yang tak lagi muda. Beliau melanjutkan kuliah saat keempat putranya sudah besar, menunggu tugas pengasuhan anak tertunaikan. Tidak malu belajar bersama mahasiswa lain yang usianya jauh lebih muda.

    Berdasarkan wawancara dengan kerabat dan pelaku sejarah, 6 halaman daftar pustaka, surat kabar/majalah serta berbagai sumber tertulis lainnya, buku ini menceritakan kisah perjuangan Soewardi Soerjaningrat, yang kita kenal sebagai Ki Hadjar Dewantara, pendiri Taman Siswa yang menjadi pelopor pendidikan nasional.

    Sebagai priyayi berdarah biru (putra GPH Soerjaningrat, cucu Pakualam III), alih-alih menikmati zona nyaman dengan menjadi kacung penjajah, beliau malah berusaha membangkitkan kesadaran kaum pribumi untuk bangkit dan berusaha menjadi negeri yang merdeka.

    Soewardi sempat diasingkan ke Belanda selama 4 tahun bersama Dr Tjipto Mangunkusumo dan Douwes Dekker karena menulis kritikan kepada pemerintah Hindia Belanda yang saat itu mewajibkan pribumi untuk ikut merayakan 100 tahun kemerdekaan Belanda dengan memungut uang derma secara paksa. Bagaimana mungkin negeri yang terjajah merayakan kemerdekaan penjajahnya? Walaupun terbuang dari negeri yang dicintainya, beliau tetap berjuang menuliskan berbagai opini yang membakar semangat nasionalisme di berbagai media cetak baik yang diterbitkan di negeri Belanda maupun tanah air.

    Beliau tidak mau menerima  bantuan material yang disodorkan berbagai pihak, karena menjaga harga diri dan independensi. Padahal saat itu meletus Perang Dunia I dimana kondisi ekonomi di Eropa sangat sulit. Untuk mencukupi kebutuhan keluarga beliau mengandalkan honor menulis dari media, sedangakan Nyi Hadjar membantu mencari nafkah dengan menjadi guru TK. Saat kelahiran si sulung Asti yang mengalami masalah kesehatan sehingga harus dirawat berbulan-bulan di rumah sakit, Soewardi akhirnya menyerah. Beliau mau menerima uang  dengan catatan bukan pemberian cuma-cuma tapi pinjaman, yang akan dicicil di kemudian hari.

    Putri beliau ini juga mengalami keterbelakangan mental (ada yang berpendapat mungkin disebabkan karena beliau menikahi sepupu yang terhitung kerabat dekat), sehingga meneguhkan cita2 beliau untuk mengganti sistem pendidikan kolonial yang menggunakan metode perintah, paksaan, hukuman menjadi sistem “among” yang membiarkan anak tumbuh sesuai kodratnya.

    Ing Ngarso Sung Tulodho (di depan memberi teladan), Ing Madyo Mangun Karso (di tengah membangun semangat), Tut Wuri Handayani (di belakang memberi dorongan) adalah semboyan beliau dalam menjalankan peran menjadi pemimpin dan pendidik yang kemudian menjadi slogan Kemendiknas. Ahhh.... andai semua pemimpin di negeri ini meneladani beliau.

    Buku ini kecil dan tipis, cuma 118 halaman. Masih banyak informasi yang saya harapkan ada didalamnya tapi belum saya temukan.  Salah satunya proses jatuh bangun membangun Perguruan Taman Siswa belum dikupas disini. Semoga ada sejarawan lain yang berkenan melengkapi, karena perjalanan hidup beliau sangat menarik untuk dipelajari dan diteladani.

 

Bintaro, 2 November 2020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar