Tulisan ini telah dimuat pada https://www.pajak.go.id/id/artikel/ekonomi-melambat-dividen-segera-bebas-pajak
Sebagian besar negara di dunia saat
ini sedang berjuang melawan pandemi virus COVID-19. Jumlah korban yang semakin banyak
memaksa beberapa negara melakukan kebijakan
“lock down” untuk mencegah meluasnya wabah ini. Indonesia juga tak ketinggalan
memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di beberapa kota zona
merah, yang mengakibatkan lumpuhnya kegiatan masyarakat. Hibernasi ekonomi
menjadi bom waktu yang akan segera kita hadapi.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada
Bursa Efek Indonesia
(BEI) tercatat mencapai
rekor terburuk pada tanggal 12
Maret 2020 pukul 15.33 WIB,
anjlok sebesar 5,01%. Saat itu BEI melakukan
penghentian perdagangan
saham sementara, sesuai protokol Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang mengatur
jika penurunan IHSG melebihi 5% maka diberlakukan autohalting (penghentian otomatis untuk kurun waktu tertentu). Hal
ini dilakukan untuk menjaga agar pasar tetap kondusif dan mengatasi kepanikan
pelaku pasar. Memasuki bulan April ini IHSG makin lesu seiring mulai dirilisnya
laporan keuangan perusahaan-perusahaan yang mencerminkan memburuknya kinerja
mereka. Banyak perusahaan berhenti beroperasi dan terpaksa merumahkan
karyawannya.
Harga minyak
mentah dunia juga masih sangat
rendah. Pada saat
tulisan ini dibuat, Selasa (14/4), harga
komoditas Brent Crude Oil sebesar US$32,23 per barel, sedangkan Crued Oil West
Texas Intermediate (WTI) sebesar US$22,62 per barel. Harga ini sudah mulai naik
dibandingkan bulan-bulan sebelumnya yang merosot tajam akibat perang harga
minyak Saudi-Rusia. Organization of the
Petroleum Exporting Countries (OPEC) plus Rusia bersepakat untuk
memangkas produksi mereka sebesar 9,7 juta barel per hari pada pertemuan
virtual darurat, Minggu(12/4). Penurunan produksi ini dimulai pada tanggal 1
Mei sampai akhir Juni 2020.
Perang dagang Amerika-China mulai tahun 2018 sampai dengan awal
2020 juga masih berimbas kepada kelesuan ekonomi dunia. Saat
itu, pembatasan impor dari China oleh Amerika Serikat untuk menekan devisit
perdagangan mereka, dibalas oleh China dengan menambahkan tarif impor sebesar
15%-25% terhadap produk buatan Amerika Serikat.
Pemerintah berusaha mengatasi perlambatan
ekonomi ini dengan memberikan
insentif kepada pelaku usaha melalui RUU Omnibus Law agar mereka
memiliki tambahan napas untuk bertahan melanjutkan kegiatan bisnis. Saat ini RUU tersebut telah berada di meja DPR,
menunggu untuk dibahas dan disahkan.
Bertajuk RUU Ketentuan dan Fasilitas
Perpajakan untuk Penguatan Ekonomi, ketentuan ini merevisi beberapa UU
sekaligus yaitu UU Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN),
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), Kepabeanan, Cukai, serta Pajak
dan Retribusi Daerah (PDRD).
Salah satu rencana insentif dalam RUU tersebut adalah penghapusan
pajak atas dividen.
Dividen adalah bagian
laba perusahaan yang menjadi hak pemegang saham. Lazimnya, setiap tahun perusahaan
menggelar Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) yang akan mengambil kesepakatan
apakah perusahaan melakukan pembagian dividen pada tahun buku tersebut atau
tidak.
Dalam hal
pemajakan dividen, saat ini Indonesia menganut classical system/separate entity system/two tier tax, yang juga dianut
oleh negara-negara Eropa seperti Belanda dan
Jerman. Pada sistem ini pajak dikenakan atas laba yang dihasilkan di
tingkat perusahaan, kemudian
dikenakan lagi atas laba bersih (income
after tax) di tingkat pemegang saham orang pribadi. Pada sistem ini dimungkinkan terjadi pemajakan berganda (double taxation), yaitu pengenaan pajak dua kali atas penghasilan yang
sama.
Berdasarkan ketentuan yang berlaku saat
ini (pasal 4 ayat (1) huruf g UU PPh), dividen dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan
asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi adalah
obyek pajak penghasilan. Meskipun demikian,
terdapat pengecualian dari pengenaan pajak apabila dividen tersebut diterima
oleh Perseroan Terbatas (PT), BUMN dan BUMD dengan kepemilikan saham paling
rendah 25% dari modal disetor, dan dividen yang dibagikan tersebut harus berasal dari cadangan laba ditahan.
Jenis pajak dan tarif PPh atas dividen yang berlaku
saat ini adalah sebagai berikut:
1) PPh Pasal 4 ayat (2) sebesar 10% final, jika
dividen diterima oleh orang pribadi dalam negeri;
2) PPh Pasal 23 sebesar 15%, jika diterima oleh wajib
pajak badan dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap (BUT);
3) PPh Pasal 26 sebesar 20% atau sesuai kesepakatan
dalam Persetujuan penghindaran Pajak berganda (P3B), jika diterima oleh wajib
pajak luar negeri selain BUT.
Omnibus Law Perpajakan akan
merubah sistem pemajakan dividen menjadi one-tier system atau dividend-exclusion system, seperti yang berlaku di negara tetangga kita, Singapura dan Malaysia. Amerika
Serikat, United Kingdom, Canada dan Australia juga menerapkan sistem yang sama.
Pada sistem
ini pajak dibebankan atas laba yang dihasilkan hanya pada tingkat perusahaan. Artinya pajak dikenakan satu kali di tingkat perseroan. Ketika penghasilan perseroan
tersebut dibagikan sebagai dividen kepada pemegang saham orang pribadi, maka
tidak dikenakan pajak lagi. Inilah yang membedakan dengan classical system. Tidak ada isu pajak berganda
di sini.
Meskipun
pajak dividen dihapuskan, pemerintah masih memberikan batasan tambahan. Dividen
yang diterima dari entitas luar negeri hanya bebas pajak jika diinvestasikan di
Indonesia dalam jangka waktu tertentu. Jangka waktu ini akan ditentukan
kemudian. Selain itu jumlah yang harus diinvestasikan di Indonesia sedikitnya
sebesar 30% dari Earning After Tax (EAT)/
laba setelah pajak di luar negeri. Dalam hal investasi di Indonesia kurang
dari 30%, maka selisih investasi sampai dengan 30% tersebut dikenakan pajak di
Indonesia sesuai tarif yang berlaku. Batasan tambahan ini diharapkan dapat
menjaga stabilitas ekonomi secara makro.
Tulisan tersebut merupakan pendapat pribadi, tidak mencerminkan pendapat
instansi di mana penulis bekerja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar