Saat ini suku bunga acuan yang ditetapkan oleh Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia masih rendah demi menjaga pemulihan ekonomi nasional. Tren penurunan margin bunga bersih (Net Interest Margin) tak terelakkan, sehingga perbankan mengamankan laba dengan meningkatkan pendapatan berbasis biaya (Fee Based Income/FBI).
Beberapa jenis FBI antara lain: jasa transfer, inkaso, letter of credit, safe deposit box, kartu kredit, dana pembayaran rekening titipan (payment point), garansi bank, jual beli valuta asing, commercial paper dan traveller's check, wealth management, dan lain-lain. Pendapatan jasa ini tercatat tumbuh positif dari tahun ke tahun.
FBI adalah objek Pajak Penghasilan (PPh) yang digabungkan dengan pendapatan bank lainnya dan dikenakan tarif umum Pasal 17 Undang-Undang PPh, yaitu sebesar 22% untuk tahun pajak 2020 dan 2021. Sedangkan untuk tahun pajak 2022 dan seterusnya tarif PPh diturunkan menjadi 20% dari penghasilan kena pajak.
Berdasarkan riset Tabloid Kontan yang menggunakan data Laporan Keuangan Tahun 2020 yang dipublikasikan sampai 30 Maret 2021, dari dua puluh besar emiten pada Bursa Efek Indonesia dengan setoran pajak terbesar Tahun Pajak 2020, sebanyak sepuluh diantaranya adalah emiten perbankan. Mereka adalah BRI, BCA, Bank Mandiri, BNI, Bank Danamon, CIMB Niaga, Bank Mega, OCBC NISP, BTN dan BTPN.
Bank pemerintah yang tergabung dalam Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) baru-baru ini mengumumkan, mereka telah bersepakat dengan perusahaan mitra untuk mengenakan biaya transaksi cek saldo dan tarik tunai pada Anjungan Tunai Mandiri (ATM) Link. Tarif yang diberlakukan pada transaksi cek saldo menjadi Rp2.500,00 dan tarik tunai menjadi Rp5.000,00.
Sedangkan transaksi transfer antar bank tidak dilakukan perubahan biaya atau tetap dikenakan tarif Rp4.000,00. Semula pengenaan biaya ini dijadwalkan berlaku mulai 1 Juni 2021, namun sampai dengan tulisan ini dibuat kebijakan pengenaan biaya tersebut masih ditunda untuk memberikan waktu sosialisasi kepada masyarakat.
Langkah ini sejalan dengan kebijakan Bank Indonesia yang sejak 14 Agustus 2014 mencanangkan Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT), yaitu gerakan cashless society untuk mendorong masyarakat meminimalisasi transaksi pembayaran tunai. Kendala yang sering ditemui jika menggunakan pembayaran tunai adalah uang rusak (lusuh/sobek/tidak layak edar), kesulitan mendapatkan uang kembalian, atau terjadi kesalahan hitung. Transaksi nontunai dapat meningkatkan efisiensi karena masyarakat tidak perlu membawa uang dalam jumlah besar.
ATM Link diperkenalkan pada bulan Desember 2015. Pada saat itu empat bank pemerintah yaitu Bank Mandiri, BNI, BRI dan BTN bersepakat untuk mengelola ATM bersama bernama ATM Himbara yang awalnya hanya beroperasi di DKI Jakarta dan sekitarnya. Biaya pengadaan ATM ditanggung bersama oleh 4 bank sehingga biaya yang ditanggung masing-masing bank lebih murah.
Pada 3 November 2016 Kementerian BUMN, Himbara, dan Telkomsel berinisiatif membentuk perusahaan switching bernama PT Jalin Pembayaran Nusantara (JPN) untuk mengelola ATM Link tersebut. Saat ini saham JPN dimiliki oleh PT Danareksa (Persero) sebesar 67% dan PT Telekomunikasi Indonesia Tbk. sebesar 33%.
Berdasarkan keterangan pada situs web Bank Mandiri, saat ini jumlah ATM Link mencapai kurang lebih 53 ribu unit yang tersebar di seluruh Indonesia. Fitur yang dimiliki ATM Link antara lain: 1)Cash withdrawal/penarikan tunai, 2)Balance inquiry/cek saldo, 3)Transfer antarbank, 4)Pembayaran tagihan, 5)Pembelian pulsa, 6)Isi ulang/top-up uang elektronik Himbara (e-Money, Brizzi, Tapcash, dan Blink)
Pendapatan bank dari salah satu jenis Fee Based Income ini jelas merupakan objek Pajak Penghasilan. Bagaimana dengan Pajak Pertambahan Nilai? Apakah transaksi tarik tunai dan cek saldo pada ATM Link tersebut merupakan penyerahan Jasa Kena Pajak?
Pasal 4A ayat (3) huruf d Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU PPN) menyatakan bahwa jasa keuangan adalah salah satu jenis jasa yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai. Pada penjelasan UU PPN dijabarkan bahwa jasa keuangan yang dimaksud dalam pasal tersebut meliputi:
- jasa menghimpun dana dari masyarakat berupa giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan, dan/atau bentuk lain yang dipersamakan dengan itu;
- jasa menempatkan dana, meminjam dana, atau meminjamkan dana kepada pihak lain dengan menggunakan surat, sarana telekomunikasi maupun dengan wesel unjuk, cek, atau sarana lainnya;
- jasa pembiayaan, termasuk pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, berupa:
- sewa guna usaha dengan hak opsi;
- anjak piutang;
- usaha kartu kredit; dan/atau
- pembiayaan konsumen;
- jasa penyaluran pinjaman atas dasar hukum gadai, termasuk gadai syariah dan fidusia; dan
- jasa penjaminan.
PPN menganut kaidah negatif list, artinya penyerahan barang/jasa yang tidak terdapat dalam daftar pengecualian pada UU PPN tersebut adalah objek PPN. Terkait jasa keuangan, DJP menjabarkan jenis jasa perbankan yang merupakan penyerahan jasa keuangan yang tidak terutang PPN.
Dalam hal transaksi tarik tunai dan cek saldo yang dilakukan oleh nasabah, pendapatan dari administrasi pengiriman uang dan pengecekan saldo oleh nasabah bukan merupakan penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP). Sedangkan kegiatan memindahkan uang untuk kepentingan bukan nasabah merupakan penyerahan JKP.
Transaksi cek saldo oleh bukan nasabah berpotensi menimbulkan perbedaan interpretasi dan sengketa antara wajib pajak dengan fiskus. Penulis secara pribadi berpendapat bahwa transaksi tersebut merupakan objek PPN. Jasa perbankan yang tidak disebutkan secara detil dikembalikan pada kaidah umum PPN bahwa penyerahan barang/jasa yang tidak termasuk dalam negatif list UU PPN adalah objek PPN.
*) Artikel di atas merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar