Selasa, 22 November 2022

Madhep Ngalor Sugih, Madhep Ngidul Sugih

 



        Saya pernah hampir ngambek berhenti berkontribusi menulis di suatu media ketika mendapat kritik yang lumayan pedes (setara keripik Mak Icih level-9 mungkin) dari editor, terkait pemilihan struktur kalimat dan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar.

        Tapi kemudian saya kembali berbesar hati saat membaca buku ini.
Bertajuk "Madhep Ngalor Sugih, Madhep Ngidul Sugih" karya ke sekian dari Ki Ageng Kayam (Prof. Umar Kayam Ph. D, (1932-2002)).
Allaahu yarham.
        Buku punya pak-suami yang kertasnya sudah berwarna coklat di makan usia ini masih saja renyah dinikmati, apalagi sambil leyeh2 nyeruput kopi ditemani belahan jiwa. Eaaa..
        Kalimat demi kalimat campur aduk antara Bahasa Indonesia, Jawa, dan Inggris.
Struktur kalimatnya juga gak pakem2 amat. Cenderung fleksibel, lentur, kadang lompat2.
        Prof Umar Kayam adalah alumni pedagogi UGM. Beliau dosen senior fakultas sastra di berbagai universitas seperti UGM, UI, Unand, dll. Pernah menjabat sebagai Dirjen RTF, rektor IKJ, Ketua Dewan Kesenian Jakarta, dan juga kolumnis di berbagai media massa seperti Majalah Horison, Koran Kedaulatan Rakyat, dll. Satu lagi, beliau adalah pemeran Ir. Soekarno dalam film Pengkhianatan G30S PKI.
        Membaca buku ini seolah membawa kita ke dalam sebuah rumah joglo yang besar nan asri, penuh perabot yang artistik dan konvensional milik priyayi bernama Ki Ageng di kawasan pemukiman Yogyakarta.
        Ki Ageng menceritakan betapa nikmatnya menjadi priyayi, dengan berbagai fasilitas yang dimiliki, serta diladeni dengan sepenuh hati oleh sepasang pembantu bernama Mister Rigen dan istrinya Nansiyem, beserta dua anaknya si Beni & Tolo-tolo.
        Di lain sisi Ki Ageng juga menggarisbawahi bahwa priyayi dan abdi bukanlah 2 golongan yang harus bertarung, tapi selaras satu sama lain. Priyayi diladeni, abdi ngladeni. Dua strata yang saling melengkapi.
        Buku ini ditulis sebagai kritik atas cara pandang orang Barat yang menggambarkan priyayi jawa sebagai makhluk arogan, egois, menang sendiri. Di sini priyayi digambarkan "ngreken" (meng-orangkan) batur2nya, sering ditraktir makan bareng, diajak ngobrol, didengar pendapatnya.
        Ada pula tokoh Ki Joyoboyo, maestro penjual "eyem penggeng" yang selalu gigih menawarkan dagangannya, dan sukses membuat saya terbayang2, seperti apa rupa ayam uenak yang menjadi favorit Ki Ageng itu.
        Kesimpulan saya: nulis gak pakem2 amat yo gak pa-pa, yang penting pembaca suka. Selow aja.

PSAK 71 Picu Sengketa Pajak, Betulkah?

 


Artikel ini telah dimuat pada portal online:

https://pajak.go.id/id/artikel/psak-71-picu-sengketa-pajak-betulkah


        Dua tahun sudah Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 71 diterapkan. Dewan Standar Akuntansi Keuangan (DSAK) Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) sebenarnya telah mengesahkan standar akuntansi tentang Instrumen Keuangan ini sejak tanggal 26 Juli 2017. Namun entitas diwajibkan untuk  menerapan secara efektif per 1 Januari 2020, dengan penerapan dini diperkenankan.

 Definisi Instrumen Keuangan

        Definisi Instrumen Keuangan dijelaskan pada PSAK 50 tentang Instrumen Keuangan: Penyajian. Setiap kontrak yang menambah nilai aset, liabilitas, dan ekuitas keuangan entitas termasuk dalam kategori instrumen keuangan.

        Aset keuangan terdiri dari kas, instrumen ekuitas yang diterbitkan entitas lain, hak kontraktual, dan kontrak yang akan diselesaikan dengan penerbitan instrumen ekuitas. Hak kontraktual yang dimaksud di sini adalah hak untuk menerima kas atau aset keuangan dari pihak lain, atau pertukaran aset keuangan dengan entitas lain yang berpotensi memperoleh keuntungan.  

        Liabilitas keuangan dapat berupa kewajiban kontraktual, seperti kewajiban untuk menyerahkan kas atau piutang kepada entitas lain, atau pertukaran aset/liabilitas keuangan yang berpotensi tidak menguntungkan entitas. Selain itu, kewajiban keuangan juga berbentuk kontrak yang akan diselesaikan dengan menggunakan instrumen ekuitas yang diterbitkan entitas, baik yang bersifat derivatif ataupun non-derivatif.

Pada sisi ekuitas, instrumen ini berupa kontrak yang memberikan hak residual (sisa) atas aset suatu entitas setelah dikurangi dengan seluruh kewajibannya.

        PSAK 55 menambahkan dua klasifikasi pada definisi instrumen keuangan, yaitu instrumen derivatif dan lindung nilai. Derivatif  adalah kontrak atau perjanjian yang nilai atau peluang keuntungannya terkait dengan kinerja aset lain. Aset lain ini disebut sebagai underlying assetsSedangkan hedging (lindung nilai) adalah strategi yang digunakan untuk mengurangi penurunan nilai sebuah aset atau portofolio investasi.

 Mengganti atau Merevisi?

        PSAK 71 mengadopsi International Financial Reporting Standards (IFRS) 9 tentang Financial Instruments. IFRS 9 disahkan pada 1 Januari 2016, menggantikan International Accounting Standard (IAS) 39. Penggantian standar ini muncul sebagai reaksi atas krisis keuangan global karena bank tiba-tiba harus mengakui kerugian yang tidak diprediksi sebelumnya. Laporan Keuangan versi  IAS 39 dianggap tidak mampu menyajikan nilai aset, kewajiban, dan ekuitas yang sebenarnya.

        PSAK 71 tidak menghapus PSAK tentang instrumen keuangan sebelumnya, yaitu PSAK 50 tentang mengatur tentang penyajian, PSAK 55  tentang pengakuan dan pengukuran, serta PSAK 60 tentang pengungkapan. Beleid ini hanya merevisi sebagian dari PSAK 55, yaitu perubahan klasifikasi dan pengukuran, penurunan nilai, serta akuntansi lindung nilai. Hal-hal diluar itu tetap mengacu pada ketentuan terdahulu.

 Dampak terhadap Industri Perbankan

        Salah satu industri yang terdampak signifikan dari penerapan PSAK 71 ini adalah perbankan. Nilai pembentukan Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) menjadi lebih besar dari sebelumnya, sehingga menggerus laba entitas. Hal ini disebabkan oleh perubahan metode penilaian yang sebelumnya reaktif menjadi proaktif.

PSAK 55 mengatur pembentukan CKPN dengan metode incurred loss (data kerugian yang telah terjadi) dan bersifat backward-looking (menggunakan data historis). Sebagai contoh, entitas telah menghimpun data kerugian kredit konsumen selama tiga tahun terakhir, ternyata kerugian yang dialami rata-rata sebesar 9%. Maka entitas akan membentuk CKPN berdasarkan data historis tersebut, yaitu sebesar 9% dari jumlah piutang.

            PSAK 71 mengubah penentuan CKPN menjadi expected loss dan forward looking. Entitas melakukan estimasi risiko instrumen keuangan sejak awal piutang itu diakui. Perkiraan risiko dibentuk dengan menggunakan informasi seperti proyeksi pertumbuhan ekonomi, inflasi, tingkat pengangguran, indeks harga komoditas, dan lainnya. Ruang judgement atas CKPN ini menjadi sangat luas karena informasi yang digunakan sebagai dasar estimasi sangat beragam.

 Bagaimana CKPN di Mata Pajak?

            Ditjen Pajak telah merespons perubahan standar akuntansi keuangan ini. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) mengatur bahwa:

Pasal 9 ayat (1) huruf c:

“Untuk menentukan besarnya penghasilan kena pajak bagi wajib pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap tidak boleh dikurangkan:

c. pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali:

1. cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain yang menyalurkan kredit, sewa guna usaha dengan hak opsi, perusahaan pembiayaan konsumen, dan perusahaan anjak piutang yang dihitung berdasarkan standar akuntansi keuangan yang berlaku dengan batasan tertentu setelah berkoordinasi dengan Otoritas Jasa Keuangan.”

Pasal 32 C huruf o:

“Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan atau pemupukan dana cadangan yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.”

        Sampai dengan tulisan ini dibuat, Peraturan Pemerintah (PP) terkait pembentukan/pemupukan cadangan tersebut belum terbit. Oleh karena itu, panduan penetapan CKPN masih menggunakan Peraturan Menteri Keuangan nomor PMK-81/PMK.03/2009 yang diubah dengan PMK-219/PMK.011/2012 tentang Pembentukan atau Pemupukan Dana Cadangan yang Boleh Dikurangkan Sebagai Biaya. PMK ini tidak berlaku lagi apabila PP turunan UU HPP membuat pengaturan yang berbeda dari PMK tersebut.

        PMK-81/2009 menetapkan CKPN Bank Umum maksimal sebesar; 1% dari piutang lancar, 5% dari piutang dalam pengawasan khusus, 15% dari piutang kurang lancar, 50% dari piutang diragukan, dan 100% dari piutang macet. Nilai Piutang terlebih dahulu dikurangi dengan agunan yang diserahkan oleh nasabah kepada bank.

 Potensi Sengketa Pajak

            Ketentuan perpajakan yang bersifat historical cost tidak akan pernah bertemu dengan standar akuntansi baru yang sifatnya expected value. Otoritas pajak dapat menentukan pelaporan pajak dengan mengikuti Standar Akuntansi Keuangan (SAK) atau memilih pengaturan yang berbeda dari SAK.

            Meskipun  PSAK 71 telah diakomodasi oleh UU HPP, standar tersebut belum dapat diterapkan untuk kepentingan penghitungan pajak terutang. Pengaturan batas CKPN masih menggunakan ketentuan yang lama (PMK-81/2009) sampai dengan terbitnya PP sebagai petunjuk pelaksaan UU HPP. Wajib pajak dan fiskus wajib memahami dan mengikuti perkembangan terkait hal ini, agar sengketa pajak dapat dihindari.

 

*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

Senin, 30 Mei 2022

Dinamika PPN di Indonesia




   

Artikel ini telah dimuat pada Majalah INTAX, Edisi 2/2022 

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dikenal oleh dunia internasional dengan nama Value Added Tax (VAT) atau Goods and Service Tax (GST). Istilah VAT berasal dari taxe sur la valeur ajoutéedari (TVA) yang merupakan ide dari Mauricé Lauré, seorang insinyur pada layanan pos dan telepon Perancis. Setelah Perang Dunia II usai, ia bergabung sebagai inspektur pada otoritas pajak Perancis.

Tahun 1952 Lauré diangkat menjadi direktur Direction générale des impôts, yang merupakan otoritas pajak gabungan di negara tersebut. Pada 10 April 1954 ia mengemukakan gagasan pengenaan pajak atas konsumsi, yang memaksa wajib pajak di setiap lini produksi maupun penjualan untuk menghitung dan memperhitungkan pajak sendiri. Sistem pemajakan atas konsumsi ini diharapkan dapat mengurangi pekerjaan inspeksi oleh otoritas pajak. TVA resmi berlaku di Perancis mulai tanggal 1 Juli 1954.

Mayoritas negara di dunia menggunakan terminologi Value Added Tax (VAT), sebagian kecil lainnya seperti Australia, India, Canada, New Zealand, Singapore, dan Hong Kong menggunakan istilah Goods and Service Tax (GST).  Pada dasarnya kedua istilah tersebut memiliki makna yang sama, tetapi terdapat beberapa perbedaan penerapan VAT dengan GST pada beberapa negara. Perbedaan karakteristik yang ditemukan antara lain: tarif, daftar barang/jasa yang tidak dikenakan PPN, mekanisme pengkreditan pajak masukan, serta batas omset wajib pajak yang diwajibkan untuk memungut PPN.

Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) menyatakan bahwa per November 2020, sejumlah 170 negara/wilayah telah menerapkan VAT/GST. Jenis pajak ini menjadi  sumber penerimaan pajak yang cukup diandalkan seiring dengan meningkatnya volume perdagangan barang dan jasa baik domestik maupun internasional. Jenis barang/jasa yang diperjualbelikan makin beragam, tak hanya berwujud tetapi juga barang tak berwujud seperti aset digital yang sedang digandrungi generasi milenial.

Pengenaan PPN yang tidak terkoordinasi menjadi masalah yang cukup besar bagi pelaku bisnis lintas negara. Pengenaan pajak berganda atau sebaliknya zero PPN menjadi isu yang diakomodir oleh OECD melalui  OECD International VAT/GST Guidelines yang dirilis pada tanggal 12 April 2017. Panduan ini menyajikan seperangkat standar yang telah disepakati secara internasional serta pendekatan yang direkomendasikan untuk mengatasi permasalahan yang timbul.  Panduan ini juga memaparkan prinsip dan mekanisme penjualan lintas batas produk digital, yang telah diidentifikasi sebagai salah satu  Base Erosion and Profit Shifting (BEPS),  yaitu penggerusan dan penggeseran pajak yang seharusnya dibayar.

Bagaimana sejarah pajak konsumsi di Indonesia?

Dua tahun setelah Indonesia merdeka, pemerintah memungut Pajak Pembangunan I (PPb I) sebesar 10% dari jumlah pembayaran. Pajak ini dikenakan pada usaha penginapan, rumah makan, dan penyerahan jasa di rumah makan yang berlaku mulai tanggal 1 Juli 1947. PPb I ini awalnya bersifat pajak pusat, kemudian didesentralisasi menjadi pajak daerah pada tahun 1957. Tarif yang dikenakan menjadi beragam sesuai kebijakan masing-masing daerah.

Tahun 1950 DPR mengesahkan Undang-Undang Darurat (UUDrt) Nomor 12 tentang Pajak Peredaran (PPe), yang dikenakan atas penyerahan barang dan jasa secara umum, dengan tarif awal sebesar 3%. Tarif ini kemudian diubah dengan UUDrt Nomor 38 Tahun 1950 menjadi sebesar 2% untuk penyerahan dalam negeri dan 2,5% untuk penyerahan dari luar negeri.

PPe tidak berlangsung lama. Pajak Penjualan (PPn) menggantikannya melalui  UUDrt Nomor 19 Tahun 1951 yang mulai berlaku pada 1 Oktober 1951. PPn hanya dipungut satu kali di tingkat produsen, tetapi apabila barang tersebut diproses kembali oleh produsen berikutnya, maka PPn yang telah disetor dapat dikurangkan dari pajak yang seharusnya dibayar.  PPn menggunakan tarif beragam, mulai dari 0% - 10%.

Pajak Penjualan (PPn) berakhir pada 1983 dan berubah menjadi Pajak Pertambahan Nilai (PPN). PPN adalah jenis pajak tidak langsung, dimana pihak yang memikul beban pajak dan yang membayar pajak berbeda. Bersifat sebagai pajak obyektif (tidak melihat subjek pajaknya), PPN dikenakan pada seluruh rantai jalur produksi/distribusi barang/jasa kepada konsumen terakhir. Pajak Keluaran yang harus dipungut oleh PKP, dapat diperhitungkan dengan Pajak Masukan yang dipungut oleh pihak lain.

Banyak negara menurunkan tarif PPN secara temporer sehubungan dengan pandemi Covid-19, baik secara agregat maupun parsial. Irlandia memangkas VAT secara agregat dari 23% menjadi 21% selama 6 bulan. Jerman menurunkan tarif umum dari 19% menjadi 16% selama 6 bulan. Irlandia menurunkan tarif umum dari 23% menjadi 21% selama 6 bulan.

Beberapa negara lainnya menurunkan tarif VAT secara temporer khusus untuk penyerahan barang/jasa tertentu. Bulgaria menurunkan tarif PPN dari 20% menjadi 9% untuk penjualan buku, makanan bayi, fasilitas olahraga, perhotelan dan pariwisata. United Kingdom menurunkan tarif dari 20% menjadi 12,5% untuk sektor akomodasi dan perhotelan.

Alih-alih menurunkan tarif PPN secara temporer, pemerintah memilih untuk menerapkan skema baru yang diharapkan lebih tepat sasaran. Undang-Undang Harmonisasi Perpajakan (UU HPP) mengubah rezim PPN yang selama ini menganut tarif tunggal menjadi multi tarif. Tarif PPN tertinggi ditetapkan sebesar 11% per tanggal 1 April 2012, yang akan dinaikkan lagi menjadi 12% paling lambat tanggal 1 Januari 2025.

Namun demikian, UU HPP juga mengatur kemungkinan perubahan tarif PPN dengan rentang 5%-15% yang ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah (PP).  Perubahan tarif melalui PP dapat dilaksanakan setelah mendapatkan persetujuan dari DPR dan disepakati dalam Rancangan penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN).

Skema multi tarif mengatur agar barang/jasa yang merupakan kebutuhan pokok masyarakat dikenakan PPN yang lebih kecil dibandingkan dengan barang/jasa yang sifatnya konsumtif atau kebutuhan tersier. Selain itu, diterapkan PPN dengan tarif rendah dan bersifat final kepada pengusaha kecil dengan omset tertentu. Subsidi tarif diterima oleh pihak yang tepat dan diharapkan dapat mengikis kesenjangan sosial. Petunjuk teknis skema baru PPN tersebut dijabarkan dalam 14 Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang diterbikan pada penghujung Maret 2022. (ES)

Jumat, 18 Februari 2022

Tax Amnesty dari Masa ke Masa




Tulisan ini telah dimuat pada Majalah Indonesian Tax Review, Volume XIII Edisi 3 Tahun 2022


Istilah Tax Amnesty (pengampunan pajak) adalah kesempatan bagi wajib pajak untuk mendapatkan pengampunan atas kewajiban membayar pajak tanpa dikenakan sanksi administrasi maupun pidana perpajakan. Kesempatan tersebut berbatas waktu dan wajib pajak harus membayar pajak dengan nilai tertentu sebagai tebusan. Dimana, Kebijakan ini bertujuan untuk mengembalikan aset yang terparkir di luar negeri, memperluas basis data perpajakan, dan tentunya meningkatkan penerimaan negara.

Banyak negara di berbagai belahan dunia yang telah melaksanakan kebijakan ini. Beberapa diantaranya adalah Amerika Serikat, Swedia, Irlandia, Belgia, Perancis, Jerman, Australia, Argentina, Kolombia, Ekuador, Honduras, Filipina dll.

Sementara ini, Pemerintah Indonesia telah 5 kali memberlakukan program pengampunan pajak, dimulai dari masa pemerintahan Presiden  Soekarno sampai dengan Presiden Joko Widodo.

Tax Amnesty di Masa Lalu

Tax Amnesty (TA) pertama terjadi pada tahun 1964 melalui Penetapan Presiden RI No.5 Tahun 1964 tentang Peraturan Pengampunan Pajak. Tujuan pengampunan pajak saat itu adalah untuk mengembalikan dana revolusi. Dana revolusi awalnya berasal dari setoran aset para raja nusantara untuk membantu perjuangan kemerdekaan. Setelah Indonesia merdeka, dana ini dihimpun kembali dengan cara memungut setoran sebesar 5% dari keuntungan perusahaan negara dan perusahaan Belanda yang dinasionalisasikan.

Sasaran TA pertama kali saat itu adalah para wajib pajak pemilik modal yang belum dikenai pajak perseroan, pajak pendapatan, dan pajak kekayaan. Tebusan yang ditetapkan sebesar 10% dari jumlah modal yang belum dikenakan pajak. Jika ternyata jumlah tebusan yang disetor lebih rendah dari yang seharusnya terutang, maka kekurangan tersebut harus disetorkan, dan ditambah dengan sanksi 400% dari jumlah kurang disetor tersebut.

TA pertama ini berlaku sejak tanggal 9 September 1964 sampai dengan 17 Agustus 1965, yang kemudian diperpanjang sampai 10 November 1965 karena jumlah dana yang berhasil dikumpulkan masih jauh dari target yang diharapkan. Pasalnya terdapat berbagai kendala seperi pemberontakan G 30/S PKI dan gejolak perpecahan antar pemegang kekuasaan, sehingga dana yang terkumpul saat itu hanya sejumlah Rp12 miliar.

TA kedua terjadi di masa Presiden Suharto, yaitu pada tahun 1984. Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1984 tentang Pengampunan Pajak menetapkan tarif tebusan sebesar 1% dari nilai kekayaan bersih, untuk wajib pajak yang telah melaporkan SPT Pajak Pendapatan/Pajak Perseroan tahun 1983 dan Pajak Kekayaan tahun 1984. Sedangkan wajib pajak yang belum melaporkan SPT dikenakan tarif tebusan sebesar 10% dari nilai kekayaan bersih yang diungkapkan. 

Populasi wajib pajak yang memanfaatkan TA saat itu sejumlah 20% dari wajib pajak terdaftar, dengan total tebusan sebesar Rp67,8 miliar atau sebesar 1% dari total penerimaan negara.

Nah untuk TA ketiga ini dikemas dalam bentuk Sunset Policy, yang menjadi bagian dari UU Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Apa itu sunset policy? Sunset Policy adalah kebijakan penghapusan sanksi administrasi atas keterlambatan pelunasan kekurangan pembayaran pajak sehubungan dengan penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) untuk tahun pajak 2007 dan sebelumnya serta pembetulan SPT untuk Tahun Pajak Sebelum Tahun Pajak 2007.

Program ini berbeda dengan dua program TA sebelumnya. Pada  Sunset Policy  tidak ada ketentuan tentang tebusan. Wajib pajak hanya diberikan pembebasan sanksi administrasi atas pajak yang dibayar secara sukarela.

TA keempat terjadi di tahun 2016 yang diatur pada UU No. 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak. Adapun Sasaran yang dituju adalah wajib pajak baik badan maupun orang pribadi yang masih memiliki harta bersih yang belum dilaporkan, baik di dalam maupun luar negeri.

Berdasarkan Surat Pernyataan Harta (SPH), total harta yang dilaporkan para wajib pajak mencapai Rp 4.855 triliun, terdiri dari deklarasi harta dalam negeri Rp3.676 triliun dan deklarasi harta luar negeri mencapai Rp1.031 triliun. Sementara penarikan dana dari luar negeri (repatriasi) mencapai Rp 147 triliun.

Jumlah tebusan yang dihimpun mencapai Rp114 triliun, pembayaran tunggakan Rp18,6 triliun, dan pembayaran bukti permulaan Rp1,75 triliun.

Saat periode TA keempat berakhir, pemerintah memberlakukan program PAS Final, (Pengungkapan Aset secara Sukarela dengan menggunakan tarif Final). PAS Final memberi kesempatan kepada wajib pajak untuk untuk menyampaikan harta yang belum diungkap dalam Surat Pernyataan Harta (bagi peserta TA) maupun yang belum dilaporkan dalam SPT setelah berakhirnya periode TA.

PAS FINAL berlaku sejak disahkan dan tidak berbatas waktu, selama Ditjen Pajak belum menerbitkan Surat Perintah Pemeriksaan (SP2) Pajak sehubungan dengan ditemukannya data aset yang belum diungkapkan.

Tarif PAS Final ditetapkan sebesar 12,5% untuk WP dengan sumber penghasilan dari usaha atau pekerjaan bebas dengan peredaran bruto tidak lebih dari 4,8 miliar dan/atau karyawan dengan penghasilan tidak lebih dari 632 juta rupiah. Sedangkan tarif untuk Wajib Pajak Orang Pribadi sebesar 25% dan WP Badan sebesar 30%.

TA yang akan Datang

Tax amnesty kini hadir kembali. Ketentuan mengenai hal ini diatur pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan yang disahkan oleh DPR RI pada tanggal 29 Oktober 2021. 

Bertajuk Program Pengungkapan Sukarela Wajib Pajak, program ini memberikan kesempatan kepada Wajib Pajak untuk mengungkapkan harta bersih yang belum atau kurang diungkapkan dalam surat pernyataan sepanjang Direktur Jenderal Pajak belum menemukan data dan/atau informasi mengenai harta dimaksud. Dana yang terhimpun dari TA ini diharapkan dapat mendukung percepatan pemulihan ekonomi nasional yang terdampak pandemi Covid-19.

Pengungkapan harta bersih ini berlaku cukup singkat, hanya selama 6 bulan. Wajib Pajak dapat memanfaatkan TA mulai  tanggal 1 Januari 2022 s.d 30 Juni 2022. Pemerintah menetapkan dua 2 skema kebijakan pengungkapan harta bersih sebagai berikut:

Kebijakan TA I

Skema pertama, sasaran kebijakan skema TA I ini adalah Wajib Pajak Badan maupun Orang Pribadi yang masih memiliki aset per tanggal 31 Desember 2015, yang belum diungkapkan pada TA terdahulu. 

Aset bersih deklarasi luar negeri dikenakan PPh Final sebesar 11%. Sementara Tarif 8% dikenakan terhadap repatriasi aset dari luar negeri dan deklarasi dalam negeri. Apabila repatriasi dan deklarasi dalam negeri tersebut diinvestasikan dalam Surat Berharga Negara (SBN), hilirisasi sumber daya alam dan renewable energy, maka dikenakan tarif terendah sebesar 6%.

Kebijakan TA II 

Kebijakan TA II hanya dapat dimanfaatkan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi. Basis aset yang dapat diungkapkan adalah harta yang diperoleh pada tahun 2016-2020 yang belum dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh Tahun 2020.

PPh Final sebesar 18% adalah tebusan untuk deklarasi luar negeri. Tarif 14% dikenakan terhadap aset repatriasi dari luar negeri dan deklarasi dalam negeri. Sedangkan tarif 12% untuk repatriasi aset luar negeri dan deklarasi aset dalam negeri yang diinvestasikan dalam SBN, hilirisasi sumber daya alam dan renewable energy

Pada TA kali ini, Ditjen Pajak menentukan pedoman untuk menilai harta yang diungkapkan wajib pajak. Harta berupa kas dan setara kas dinilai sebesar nilai nominal, sedangkan tanah/bangunan menggunakan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Nilai Jual Kendaraan Bermotor (NJKB) digunakan untuk kendaraan bermotor, nilai publikasi PT Aneka Tambang untuk emas/perak, nilai publikasi Bursa Efek Indonesia (BEI) untuk saham dan warant, dan nilai publikasi PT Penilai Harga Efek Indonesia (PHEI) untuk surat utang. Apabila tidak terdapat nilai yg dapat dijadikan pedoman, maka nilai harta ditentukan berdasarkan hasil penilaian jasa penilai publik.

Kita tunggu peraturan turunan dari UU HPP yang menjadi petunjuk teknis pengungkapan harta sukarela ini. Sehingga wajib pajak dapat segera mempersiapkan dokumen yang diperlukan untuk memanfaatkan kesempatan baik ini.

(Tulisan adalah pendapat pribadi penulis, tidak terkait dengan instansi dimana penulis bekerja)