Artikel ini telah dimuat pada Majalah INTAX, Edisi 2/2022
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dikenal oleh dunia internasional dengan nama Value Added Tax (VAT) atau Goods and Service Tax (GST). Istilah VAT berasal dari taxe sur la valeur ajoutéedari (TVA) yang merupakan ide dari Mauricé Lauré, seorang insinyur pada layanan pos dan telepon Perancis. Setelah Perang Dunia II usai, ia bergabung sebagai inspektur pada otoritas pajak Perancis.
Tahun
1952 Lauré diangkat menjadi direktur Direction générale des impôts, yang merupakan otoritas
pajak gabungan di negara tersebut. Pada 10 April 1954 ia mengemukakan gagasan
pengenaan pajak atas konsumsi, yang memaksa wajib pajak di setiap lini produksi
maupun penjualan untuk menghitung dan memperhitungkan pajak sendiri. Sistem
pemajakan atas konsumsi ini diharapkan dapat mengurangi pekerjaan inspeksi oleh
otoritas pajak. TVA resmi berlaku di Perancis mulai tanggal 1 Juli 1954.
Mayoritas
negara di dunia menggunakan terminologi Value
Added Tax (VAT), sebagian kecil lainnya seperti Australia, India, Canada,
New Zealand, Singapore, dan Hong Kong menggunakan istilah Goods and Service Tax (GST).
Pada dasarnya kedua istilah tersebut memiliki makna yang sama, tetapi
terdapat beberapa perbedaan penerapan VAT dengan GST pada beberapa negara.
Perbedaan karakteristik yang ditemukan antara lain: tarif, daftar barang/jasa
yang tidak dikenakan PPN, mekanisme pengkreditan pajak masukan, serta batas
omset wajib pajak yang diwajibkan untuk memungut PPN.
Organization
for Economic Cooperation and Development (OECD) menyatakan bahwa per November
2020, sejumlah 170 negara/wilayah telah menerapkan VAT/GST. Jenis pajak ini
menjadi sumber penerimaan pajak yang
cukup diandalkan seiring dengan meningkatnya volume perdagangan barang dan jasa
baik domestik maupun internasional. Jenis barang/jasa yang diperjualbelikan
makin beragam, tak hanya berwujud tetapi juga barang tak berwujud seperti aset
digital yang sedang digandrungi generasi milenial.
Pengenaan
PPN yang tidak terkoordinasi menjadi masalah yang cukup besar bagi pelaku
bisnis lintas negara. Pengenaan pajak berganda atau sebaliknya zero PPN menjadi isu yang diakomodir
oleh OECD melalui OECD International VAT/GST Guidelines yang dirilis pada tanggal 12
April 2017. Panduan ini menyajikan seperangkat standar yang telah disepakati
secara internasional serta pendekatan yang direkomendasikan untuk mengatasi
permasalahan yang timbul. Panduan ini
juga memaparkan prinsip dan mekanisme penjualan lintas batas produk digital,
yang telah diidentifikasi sebagai salah satu
Base Erosion and Profit Shifting (BEPS),
yaitu penggerusan dan penggeseran pajak yang
seharusnya dibayar.
Bagaimana
sejarah pajak konsumsi di Indonesia?
Dua
tahun setelah Indonesia merdeka, pemerintah memungut Pajak Pembangunan I (PPb
I) sebesar 10% dari jumlah pembayaran. Pajak ini dikenakan pada usaha
penginapan, rumah makan, dan penyerahan jasa di rumah makan yang berlaku mulai
tanggal 1 Juli 1947. PPb I ini awalnya bersifat pajak pusat, kemudian didesentralisasi
menjadi pajak daerah pada tahun 1957. Tarif yang dikenakan menjadi beragam
sesuai kebijakan masing-masing daerah.
Tahun
1950 DPR mengesahkan Undang-Undang Darurat (UUDrt) Nomor 12 tentang Pajak
Peredaran (PPe), yang dikenakan atas penyerahan barang dan jasa secara umum,
dengan tarif awal sebesar 3%. Tarif ini kemudian diubah dengan UUDrt Nomor 38
Tahun 1950 menjadi sebesar 2% untuk penyerahan dalam negeri dan 2,5% untuk
penyerahan dari luar negeri.
PPe
tidak berlangsung lama. Pajak Penjualan (PPn) menggantikannya melalui UUDrt Nomor 19 Tahun 1951 yang mulai berlaku pada 1
Oktober 1951. PPn hanya dipungut satu kali di tingkat produsen, tetapi apabila
barang tersebut diproses kembali oleh produsen berikutnya, maka PPn yang telah
disetor dapat dikurangkan dari pajak yang seharusnya dibayar. PPn menggunakan
tarif beragam, mulai dari 0% - 10%.
Pajak Penjualan (PPn) berakhir pada 1983
dan berubah menjadi Pajak Pertambahan Nilai (PPN). PPN adalah jenis pajak tidak langsung, dimana pihak
yang memikul beban pajak dan yang membayar pajak berbeda. Bersifat sebagai
pajak obyektif (tidak melihat subjek pajaknya), PPN dikenakan pada seluruh
rantai jalur produksi/distribusi barang/jasa kepada konsumen terakhir. Pajak
Keluaran yang harus dipungut oleh PKP, dapat diperhitungkan dengan Pajak
Masukan yang dipungut oleh pihak lain.
Banyak
negara menurunkan tarif PPN secara temporer sehubungan dengan pandemi Covid-19,
baik secara agregat maupun parsial. Irlandia memangkas VAT secara agregat dari
23% menjadi 21% selama 6 bulan. Jerman menurunkan tarif umum dari 19% menjadi
16% selama 6 bulan. Irlandia menurunkan tarif umum dari 23% menjadi 21% selama
6 bulan.
Beberapa
negara lainnya menurunkan tarif VAT secara temporer khusus untuk penyerahan barang/jasa
tertentu. Bulgaria menurunkan tarif PPN dari 20% menjadi 9% untuk penjualan
buku, makanan bayi, fasilitas olahraga, perhotelan dan pariwisata. United Kingdom
menurunkan tarif dari 20% menjadi 12,5% untuk sektor akomodasi dan perhotelan.
Alih-alih
menurunkan tarif PPN secara temporer, pemerintah memilih untuk menerapkan skema
baru yang diharapkan lebih tepat sasaran. Undang-Undang Harmonisasi Perpajakan
(UU HPP) mengubah rezim PPN yang selama ini menganut tarif tunggal menjadi
multi tarif. Tarif PPN tertinggi ditetapkan sebesar 11% per tanggal 1 April
2012, yang akan dinaikkan lagi menjadi 12% paling lambat tanggal 1 Januari
2025.
Namun
demikian, UU HPP juga mengatur kemungkinan perubahan tarif PPN dengan rentang
5%-15% yang ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah (PP). Perubahan tarif melalui PP dapat dilaksanakan
setelah mendapatkan persetujuan dari DPR dan disepakati dalam Rancangan
penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN).
Skema
multi tarif mengatur agar barang/jasa yang merupakan kebutuhan pokok masyarakat
dikenakan PPN yang lebih kecil dibandingkan dengan barang/jasa yang sifatnya
konsumtif atau kebutuhan tersier. Selain itu, diterapkan PPN dengan tarif
rendah dan bersifat final kepada pengusaha kecil dengan omset tertentu. Subsidi
tarif diterima oleh pihak yang tepat dan diharapkan dapat mengikis kesenjangan
sosial. Petunjuk teknis skema baru PPN tersebut dijabarkan dalam 14 Peraturan
Menteri Keuangan (PMK) yang diterbikan pada penghujung Maret 2022. (ES)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar