Senin, 30 Mei 2022

Dinamika PPN di Indonesia




   

Artikel ini telah dimuat pada Majalah INTAX, Edisi 2/2022 

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dikenal oleh dunia internasional dengan nama Value Added Tax (VAT) atau Goods and Service Tax (GST). Istilah VAT berasal dari taxe sur la valeur ajoutéedari (TVA) yang merupakan ide dari Mauricé Lauré, seorang insinyur pada layanan pos dan telepon Perancis. Setelah Perang Dunia II usai, ia bergabung sebagai inspektur pada otoritas pajak Perancis.

Tahun 1952 Lauré diangkat menjadi direktur Direction générale des impôts, yang merupakan otoritas pajak gabungan di negara tersebut. Pada 10 April 1954 ia mengemukakan gagasan pengenaan pajak atas konsumsi, yang memaksa wajib pajak di setiap lini produksi maupun penjualan untuk menghitung dan memperhitungkan pajak sendiri. Sistem pemajakan atas konsumsi ini diharapkan dapat mengurangi pekerjaan inspeksi oleh otoritas pajak. TVA resmi berlaku di Perancis mulai tanggal 1 Juli 1954.

Mayoritas negara di dunia menggunakan terminologi Value Added Tax (VAT), sebagian kecil lainnya seperti Australia, India, Canada, New Zealand, Singapore, dan Hong Kong menggunakan istilah Goods and Service Tax (GST).  Pada dasarnya kedua istilah tersebut memiliki makna yang sama, tetapi terdapat beberapa perbedaan penerapan VAT dengan GST pada beberapa negara. Perbedaan karakteristik yang ditemukan antara lain: tarif, daftar barang/jasa yang tidak dikenakan PPN, mekanisme pengkreditan pajak masukan, serta batas omset wajib pajak yang diwajibkan untuk memungut PPN.

Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) menyatakan bahwa per November 2020, sejumlah 170 negara/wilayah telah menerapkan VAT/GST. Jenis pajak ini menjadi  sumber penerimaan pajak yang cukup diandalkan seiring dengan meningkatnya volume perdagangan barang dan jasa baik domestik maupun internasional. Jenis barang/jasa yang diperjualbelikan makin beragam, tak hanya berwujud tetapi juga barang tak berwujud seperti aset digital yang sedang digandrungi generasi milenial.

Pengenaan PPN yang tidak terkoordinasi menjadi masalah yang cukup besar bagi pelaku bisnis lintas negara. Pengenaan pajak berganda atau sebaliknya zero PPN menjadi isu yang diakomodir oleh OECD melalui  OECD International VAT/GST Guidelines yang dirilis pada tanggal 12 April 2017. Panduan ini menyajikan seperangkat standar yang telah disepakati secara internasional serta pendekatan yang direkomendasikan untuk mengatasi permasalahan yang timbul.  Panduan ini juga memaparkan prinsip dan mekanisme penjualan lintas batas produk digital, yang telah diidentifikasi sebagai salah satu  Base Erosion and Profit Shifting (BEPS),  yaitu penggerusan dan penggeseran pajak yang seharusnya dibayar.

Bagaimana sejarah pajak konsumsi di Indonesia?

Dua tahun setelah Indonesia merdeka, pemerintah memungut Pajak Pembangunan I (PPb I) sebesar 10% dari jumlah pembayaran. Pajak ini dikenakan pada usaha penginapan, rumah makan, dan penyerahan jasa di rumah makan yang berlaku mulai tanggal 1 Juli 1947. PPb I ini awalnya bersifat pajak pusat, kemudian didesentralisasi menjadi pajak daerah pada tahun 1957. Tarif yang dikenakan menjadi beragam sesuai kebijakan masing-masing daerah.

Tahun 1950 DPR mengesahkan Undang-Undang Darurat (UUDrt) Nomor 12 tentang Pajak Peredaran (PPe), yang dikenakan atas penyerahan barang dan jasa secara umum, dengan tarif awal sebesar 3%. Tarif ini kemudian diubah dengan UUDrt Nomor 38 Tahun 1950 menjadi sebesar 2% untuk penyerahan dalam negeri dan 2,5% untuk penyerahan dari luar negeri.

PPe tidak berlangsung lama. Pajak Penjualan (PPn) menggantikannya melalui  UUDrt Nomor 19 Tahun 1951 yang mulai berlaku pada 1 Oktober 1951. PPn hanya dipungut satu kali di tingkat produsen, tetapi apabila barang tersebut diproses kembali oleh produsen berikutnya, maka PPn yang telah disetor dapat dikurangkan dari pajak yang seharusnya dibayar.  PPn menggunakan tarif beragam, mulai dari 0% - 10%.

Pajak Penjualan (PPn) berakhir pada 1983 dan berubah menjadi Pajak Pertambahan Nilai (PPN). PPN adalah jenis pajak tidak langsung, dimana pihak yang memikul beban pajak dan yang membayar pajak berbeda. Bersifat sebagai pajak obyektif (tidak melihat subjek pajaknya), PPN dikenakan pada seluruh rantai jalur produksi/distribusi barang/jasa kepada konsumen terakhir. Pajak Keluaran yang harus dipungut oleh PKP, dapat diperhitungkan dengan Pajak Masukan yang dipungut oleh pihak lain.

Banyak negara menurunkan tarif PPN secara temporer sehubungan dengan pandemi Covid-19, baik secara agregat maupun parsial. Irlandia memangkas VAT secara agregat dari 23% menjadi 21% selama 6 bulan. Jerman menurunkan tarif umum dari 19% menjadi 16% selama 6 bulan. Irlandia menurunkan tarif umum dari 23% menjadi 21% selama 6 bulan.

Beberapa negara lainnya menurunkan tarif VAT secara temporer khusus untuk penyerahan barang/jasa tertentu. Bulgaria menurunkan tarif PPN dari 20% menjadi 9% untuk penjualan buku, makanan bayi, fasilitas olahraga, perhotelan dan pariwisata. United Kingdom menurunkan tarif dari 20% menjadi 12,5% untuk sektor akomodasi dan perhotelan.

Alih-alih menurunkan tarif PPN secara temporer, pemerintah memilih untuk menerapkan skema baru yang diharapkan lebih tepat sasaran. Undang-Undang Harmonisasi Perpajakan (UU HPP) mengubah rezim PPN yang selama ini menganut tarif tunggal menjadi multi tarif. Tarif PPN tertinggi ditetapkan sebesar 11% per tanggal 1 April 2012, yang akan dinaikkan lagi menjadi 12% paling lambat tanggal 1 Januari 2025.

Namun demikian, UU HPP juga mengatur kemungkinan perubahan tarif PPN dengan rentang 5%-15% yang ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah (PP).  Perubahan tarif melalui PP dapat dilaksanakan setelah mendapatkan persetujuan dari DPR dan disepakati dalam Rancangan penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN).

Skema multi tarif mengatur agar barang/jasa yang merupakan kebutuhan pokok masyarakat dikenakan PPN yang lebih kecil dibandingkan dengan barang/jasa yang sifatnya konsumtif atau kebutuhan tersier. Selain itu, diterapkan PPN dengan tarif rendah dan bersifat final kepada pengusaha kecil dengan omset tertentu. Subsidi tarif diterima oleh pihak yang tepat dan diharapkan dapat mengikis kesenjangan sosial. Petunjuk teknis skema baru PPN tersebut dijabarkan dalam 14 Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang diterbikan pada penghujung Maret 2022. (ES)