Selasa, 05 Desember 2023

Pajak Dalam Perhelatan Pemilu

 







Tulisan ini telah dimuat pada Majalah Indonesian Tax Review, Vol XIV, Edisi 07 Tahun 2023

Iklim politik di negeri ini kian menghangat. Tiga pasangan yang bakal menjadi calon presiden dan wakil presiden telah mendaftarkan diri kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU). Pasangan  Anies Rasyid Baswedan - Abdul Muhaimin Iskandar dari Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KIP), Ganjar Pranowo - Mohammad Mahfud Mahmodin dari Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KIRR), dan Prabowo Subianto Djojohadikusumo - Gibran Rakabuming Raka dari Koalisi Indonesia Maju (KIM).

  Pemilihan anggota legislatif (Pileg), presiden dan wakil presiden (Pilpres) Republik Indonesia masa jabatan 2024 – 2029 dijadwalkan digelar pada 14 Februari 2024. Sedangkan pemilihan kepala daerah (Pilkada) untuk menentukan 33 Gubernur, 514 Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota kota akan diselenggarakan serentak di seluruh Indonesia pada tanggal 27 November 2024.

 Anggaran Pemilu

Pendanaan kegiatan Pileg dan Pilpres ditanggung sepenuhnya oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sedangkan pendanaan Pilkada bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Sebagaimana kita ketahui,  bahwa 80% pendapatan negara pada APBN berasal dari pajak. Sisanya dikumpulkan dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan hibah. Pendapatan pajak dalam struktur APBN terdiri dari Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Bea Masuk dan Keluar, Cukai, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), dan pajak lainnya.

Pendapatan daerah pada APBD berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), pendapatan transfer dari Pemerintah Pusat atau daerah otonom lain, serta pendapatan lain seperti bagi hasil provisi dan Dana Desa. Penopang utama PAD adalah Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Pada tanggal 6 Juni 2022 lalu  DPR RI dan KPU telah menyepakati anggaran Pemilu 2024 sebesar Rp102,8 triliun, dimana Rp76,6 triliun ditanggung oleh APBN dan sisanya sebesar Rp26,2 triliun dari APBD. Mengingat besaran anggaran pesta demokrasi yang cukup fantastis, dan sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada rakyat yang telah membayar pajak, maka akuntabilitas pemanfaatan anggaran pemilu harus menjadi prioritas utama.

Sesuai kewenangannya, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melakukan audit Laporan Keuangan KPU setiap tahun. Opini terhadap kewajaran Laporan Keuangan diberikan atas realisasi anggaran, operasional, dan perubahan ekuitas sesuai Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP). Di sisi lain, BPK juga melakukan audit sistem pengendalian intern dan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan.

 

Dana Kampanye

Dalam rangka menjamin persaingan yang sehat dan menghindari tindakan pencucian uang, pendanaan kampanye pemilu diatur melalui Peraturan KPU Nomor 18 Tahun 2023 tentang Dana Kampanye. Sebagai bentuk pertanggungjawaban, kontestan wajib melaporkan dana kampanye dalam 3 format yaitu: Laporan Awal Dana Kampanye (LADK), Laporan Pemberi Sumbangan Dana Kampanye (LPSDK), dan Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye (LPPDK). Laporan Dana Kampanye tersebut akan diaudit oleh Kantor Akuntan Publik yang ditunjuk oleh KPU.

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2021 tentang Pemilu (UU Pemilu) mengatur besaran sumbangan yang boleh diterima dalam rangka kampanye. Sumbangan dana kampanye dari perseorangan tidak boleh lebih dari Rp 2,5 miliar. Sedangkan dana dari non perseorangan (kelompok, perusahaan, dan/atau badan usaha non pemerintah) tidak boleh lebih Rp 25 miliar.

Penyumbang wajib menyampaikan identitas lengkap berupa nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), surat keterangan tidak memiliki tunggakan pajak, serta tidak dalam keadaan pailit berdasarkan putusan pengadilan.

              Sanksi pelanggaran besaran sumbangan kampanye juga diatur pada ketentuan tersebut. Setiap orang, kelompok, perusahaan/badan usaha non Pemerintah yang memberikan dana kampanye pemilu melebihi batas yang ditentukan diancam pidana penjara maksimal 2 tahun, dan denda maksimal Rp 500 juta. Selanjutnya, peserta Pemilu yang menggunakan kelebihan sumbangan, atau tidak melaporkan kelebihan sumbangan kepada KPU/tidak menyerahkan kelebihan sumbangan ke kas negara maksimal 14 hari setelah kampanye Pemilu berakhir, diancam pidana penjara maksimal 2 tahun, dan denda maksimal Rp500 juta.

             

Aspek Pajak Belanja Pemilu

a.       Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

              Terdapat  objek PPN terkait belanja Pemilu, yaitu pembelian Barang Kena Pajak (BKP) seperti pengadaan logistik berupa kertas, tinta, alat peraga, kaos, bendera, baliho dan berbagai atribut lainnya. PPN juga dikenakan atas penggantian Jasa Kena Pajak (JKP) seperti jasa konsultasi, sewa kendaraan, jasa teknologi informasi, jasa iklan, jasa kebersihan, dll.

Tarif PPN sesuai UU No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan adalah sebesar 11% dari Dasar Pengenaan Pajak yang berupa harga jual, penggantian, nilai impor, nilai ekspor, atau nilai lain.

Pajak Penghasilan (PPh)

Porsi terbesar pemanfaatan dana pemilu adalah gaji dan honorarium pegawai lembaga penyelenggara Pemilu dan petugas Badan Adhoc Pemilu. Penyelenggara Pemilu adalah KPU, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Sedangkan Badan Adhoc Pemilu, terdiri dari Panitia Pemiilhan Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan Suara (PPS), Kelompok Penyelenggaraan Pemungutan Suara (KPPS), dan Petugas Pemutakhiran Data Pemilih (Pantarlih). KPU juga membayarkan premi asuransi apalagi para petugas tersebut mengalami resiko pada saat melaksanakan tugas.

Pemotongan PPh Pasal 21 atas uang kehormatan yang diterima oleh pimpinan dan anggota KPU, KPU Propinsi, dan KPU Kabupaten/Kota serta uang honorarium bagi anggota kepanitiaan yang berstatus sebagai Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil (PNS), anggota TNI/POLRI dan Pensiunannya dipotong PPh Pasal 21 sebesar 0%-15%, tergantung golongannya.

Sedangkan PPh Pasal 21 atas uang kehormatan yang diterima oleh pimpinan dan anggota KPU, KPU Propinsi, dan KPU Kabupaten/Kota yang berstatus bukan sebagai Pejabat Negara,Pegawai Negeri Sipil (PNS), anggota TNI/POLRI, dan Pensiunannya dipotong PPh Pasal 21 yang dihitung sesuai tarif Pasal 17 UU PPh dari Penghasilan Kena Pajak selama 1 (satu) tahun takwim atau jumlah yang disetahunkan sebagaimana cara penghitungan PPh Pasal 21 atas gaji pegawai tetap.

Apabila penghasilan tersebut diterima oleh anggota kepanitiaan sehubungan dengan Pemilu atau Pilkada yang berstatus bukan sebagai Pejabat Negara,Pegawai Negeri Sipil (PNS), anggota TNI/POLRI, dan Pensiunannya dipotong PPh Pasal 21 yang dihitung sesuai tarif Pasal 17 UU PPh dari penghasilan bruto.

 

b.       PPh Pasal 23/26 dan Pasal 4 ayat (2)

              Penyelenggara Pemilu membutuhkan berbagai jasa penunjang operasional seperti sewa kendaraan, jasa iklan, jasa teknologi informasi, jasa percetakan, jasa konsultasi, jasa transportasi, dll. Penggantian jasa tersebut merupakan objek PPh Pasal 23 dengan tarif sebesar 2% apabila penerima penghasilan memiliki NPWP. Jika tidak, maka dikenakan tarif 100% lebih tinggi, sehingga tarif non-NPWP sebesar 4%.

              Apabila penerima penghasilan adalah Wajib Pajak Luar Negeri, maka terutang PPh Pasal 26 dengan tarif sebesar 20%, atau menyesuaikan dengan tarif pada Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B).

Untuk melakukan konsolidasi dan promosi, kadang kontestan Pemilu menyewa kantor atau booth. Terkait sewa tanah dan/atau bangunan tersebut  terutang  PPh Pasal 4 ayat (2) yang bersifat final dengan tarif sebesar 10% dari harga sewa.

Penerimaan PPN, PPh Pasal 21, PPh Pasal 23/26, dan PPh Pasal 4 ayat (2)  tahun 2024 diprediksi tumbuh signifikan seiring meningkatnya belanja Pemilu tersebut.

 Penutup

Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan pesta demokrasi yang berlangsung lima tahun sekali. Pada dasarnya Pemilu erat kaitannya dengan pajak., karena sebagian besar dana penyelenggaraan pemilu berasal dari pajak. Di sisi lain, terdapat dua jenis pajak yang dikenakan saat terjadinya aktivitas pemilu, yaitu, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penghasilan. Terdapat beberapa aspek pada Pajak Penghasilan yaitu, PPh Pasal 21, PPh Pasal 23 dan PPh Pasal 4 ayat (2).

Dengan diselenggarakannya Pemilu secara serentak pada Februari 2024 mendatang, dapat berlangsung dengan lancar, aman, dan tertib. Semoga terpilih anggota legislatif dan eksekutif yang jujur, adil, amanah, dan membawa kesejahteraan untuk seluruh rakyat Indonesia. Uang pajak yang dibayar oleh rakyat untuk menyelenggarakan pesta demokrasi lima tahunan ini, tidak menjadi sia-sia.

 


Selasa, 13 Juni 2023

Serba Serbi Sanksi Pajak

 








Artikel ini telah dimuat pada Majalah Indonesian Tax Review, Vol.XIV Edisi 2/2023

Bayar pokok pajak saja belum tentu ikhlas, apalagi sanksinya. Mungkin sebagian wajib pajak sependapat dengan kalimat ini. Suka atau tidak suka, ikhlas atau tidak ikhlas, pajak adalah kewajiban yang tak terhindarkan. Benjamin Franklin (1706 -1790) pernah berkata, “In this world nothing can be said to be certain, except death and taxes.” Tak ada yang pasti di dunia ini, kecuali kematian dan pajak.

Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang. Pembayar pajak tidak mendapatkan imbalan secara langsung, dana pajak yang terhimpun digunakan untuk membiayai pengeluaran negara. Sarana transportasi, fasilitas kesehatan, dana pendidikan, subsidi bahan bakar minyak, biaya pertahanan dan keamanan, adalah beberapa diantara program pemerintah yang dibiayai oleh pajak.

Agar terhindar dari sanksi, kita perlu memahami apa saja jenis pelanggaran yang dikenai sanksi pajak, serta apa saja bentuk sanksinya. Dasar hukum sanksi pajak ini adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan  (selanjutnya disebut dengan UU KUP).

Jenis Sanksi Pajak

Secara umum sanksi pajak dibagi dalam dua kategori, yaitu sanksi administrasi dan sanksi pidana. Sanksi administrasi berupa kewajiban membayar sejumlah uang kepada negara karena wajib pajak telah melanggar peraturan yang berlaku. Sanksi administrasi terdiri dari denda, bunga dan kenaikan. Sedangkan sanksi pidana berkaitan dengan tindak pidana di bidang perpajakan yang berbentuk denda, kurungan, dan penjara.

Sanksi Administrasi

Sanksi administrasi berupa denda dikenakan terhadap pelanggaran terkait dengan kewajiban pelaporan pajak serta permohonan keberatan/banding atas ketetapan pajak. Adapun sanksi denda terbagi menjadi:

a.      Sanksi denda terkait pelaporan pajak

Pasal 7 ayat (1) KUP mengatur denda keterlambatan pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) sebagai berikut:

1)      Rp500.000,00 untuk keterlambatan pelaporan SPT Masa PPN, yang seharusnya dilaporkan paling lama akhir bulan berikutnya setelah akhir masa pajak.

2)      Rp100.000,00 untuk keterlambatan pelaporan SPT Masa lainnya, yang seharusnya dilaporkan paling lama 20 hari setelah akhir masa pajak.

3)      Rp1.000.000,00 untuk keterlambatan pelaporan SPT Tahunan PPh Badan, yang seharusnya dilaporkan paling lama 4 bulan setelah akhir tahun pajak (30 April).

4)      Rp100.000,00 untuk keterlambatan pelaporan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi, yang seharusnya dilaporkan paling lama 3 bulan setelah akhir tahun pajak (31 Maret).

b.      Sanksi denda terkait permohonan keberatan/banding

Berdasarkan UU KUP, dalam hal keberatan wajib pajak ditolak atau dikabulkan sebagian, wajib pajak dikenai sanksi denda sebesar 30% dari jumlah pajak berdasarkan Surat Keputusan Keberatan, dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan. Persentase sanksi ini turun dibanding ketentuan lama yang mengenakan denda sebesar 50%.

Dalam hal permohonan banding ditolak atau dikabulkan sebagian, wajib pajak dikenai sanksi denda sebesar 60% dari jumlah pajak berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan pembayaran pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan. Denda ini juga turun dibandingkan dengan ketentuan lama sebesar 100%. Penurunan denda atas putusan keberatan/banding ini diharapkan dapat meningkatkan keadilan, kesetaraan, dan kepastian hukum bagi wajib pajak.

Sanksi administrasi berbentuk bunga dikenakan terhadap pelanggaran terkait kewajiban membayar pajak. Berdasarkan ketentuan terdahulu, sanksi bunga ditetapkan sebesar 2% per bulan dari jumlah pajak yang kurang dibayar. Melalui ketentuan baru, tarif bunga dilakukan relaksasi  menjadi sebesar suku bunga acuan yang ditetapkan secara berkala melalui Keputusan Menteri Keuangan (KMK). Sanksi bunga  berdasarkan KMK ini berfluktuasi mengikuti suku bunga acuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia (BI-7 Day Reverse Repo Rate), serta ditambah persentase tertentu yang mempertimbangkan jenis kesalahan wajib pajak.

Sanksi administrasi berupa kenaikan dikenakan terhadap pelanggaran kewajiban material. Berikut contoh sanksi kenaikan adalah: sebagai berikut:

1.      Sanksi akibat penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB). Jika berdasarkan hasil pemeriksaan ditemukan PPN/PPnBM yang tidak seharusnya dikompensasi atau dikenai tarif 0%, atau PPh yang telah dipotong/pungut tetapi tidak/kurang disetor maka dikenai sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 75% dari PPN/PPnBM/PPh yang tidak/kurang dibayar/setor. Sanksi ini turun dari ketentuan sebelumnya, yaitu sebesar 100%.

2.      Sanksi akibat penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), yang diakibatkan oleh adanya data baru yang belum terungkap dan belum diperhitungkan sebagai dasar penetapan pajak.  Sanksi kenaikan dikenakan sebesar 100% dari jumlah kekurangan pajak tersebut.

3.      Sanksi akibat pemeriksaan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak kriteria tertentu, yang mengakibatkan terbitnya SKPKB. Sanksi kenaikan ditetapkan sebesar 100% dari jumlah pajak yang kurang dibayar.

 

Sanksi Pidana

Suatu perbuatan dianggap telah melanggar hukum dan dapat dikenai sanksi pidana apabila  memenuhi dua 2 unsur, yaitu actus reus (perbuatan lahiriah yang dilakukan) dan mens rea (sikap batin pelaku pidana). Hukum pidana pajak termasuk dalam lex specialist systematis, karena ditujukan khusus untuk pelaku perpajakan, baik wajib pajak, petugas pajak, maupun orang lain yang terlibat di dalamnya. Ketentuan formal dan material pidana pajak telah diatur secara khusus pada UU KUP, terpisah dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Perbuatan pidana bisa bersifat kealphaan (culpa) atau kesengajaan (dolus). Pasal 38 UU KUP mengatur pelanggaran yang diakibatkan oleh kealphaan/kelalaian wajib pajak. Setiap orang yang karena kealphaannya tidak menyampaikan SPT atau menyampaikan SPT yang tidak benar, atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang tidak benar, sehingga menimbulkan kerugian pendapatan negara dikenai sanksi denda sebesar 1 – 2 kali jumlah pajak terutang yang tidak/kurang dibayar, atau dipidana kurungan 3 bulan - 1 tahun.

Pasal 39 UU KUP mengatur tindakan-tindakan pidana yang dengan sengaja dilakukan sehingga dapat merugikan pada pendapatan negara, diantaranya: menyalahgunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)/pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (PKP), menolak untuk dilakukan pemeriksaan, tidak menyampaikan SPT, menyampaikan SPT tidak benar, memberikan pembukuan/catatan palsu, dll.

Sehingga sanksi atas perbuatan yang disengaja tersebut berupa penjara 6 bulan – 6 tahun, dan denda sebesar 2 - 4 kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar, atau jumlah restitusi/kompensasi PPN/PPnBM yang telah dilakukan. Untuk menimbulkan efek jera, sanksi tersebut dapat ditambahkan 1 – 2 kali sanksi pidana apabila seseorang melakukan lagi tindak pidana perpajakan sebelum lewat 1 tahun sejak selesai menjalani pidana penjara yang dijatuhkan.

 

Bagaimana Cara Menghindari Sanksi Pajak?

Melakukan penghitungan, pembayaran, dan pelaporan pajak di awal waktu sangat efektif untuk menghindari kesalahan yang tak disengaja. Selain itu, bagi wajib pajak yang melakukan pelaporan pajak secara daring, harus mengantisipasi gangguan akses menjelang akhir tenggat waktu pelaporan, mengingat banyaknya wajib pajak yang mengakses aplikasi di saat yang bersamaan.

Bagaimana jika tenggat waktu sudah hampir berakhir, sedangkan besaran pajak terutang belum selesai dihitung? Jika terkait dengan pelaporan SPT Masa, untuk menghindari denda keterlambatan sebaiknya wajib pajak melaporkan SPT Masa NIHIL atau dengan menggunakan perhitungan sementara terlebih dahulu. Selanjutnya segera menyampaikan SPT Masa Pembetulan setelah perhitungan pajak terutang diselesaikan.

Jika terkait dengan SPT Tahunan PPh Badan, misalnya karena laporan keuangan belum selesai disusun atau masih dilakukan audit, maka wajib pajak dapat menyampaikan pemberitahuan perpanjangan jangka waktu penyampaian SPT Tahunan (SPT 1771 Y). Waktu perpanjangan yang diberikan paling lama 2 bulan sejak batas waktu penyampaian SPT Tahunan PPh Badan. Apabila lewat dari 2 bulan, maka dikenakan denda keterlambatan.

Ketika wajib pajak melakukan kesalahan pembayaran pajak, apa yang harus dilakukan? Kekeliruan terkait Kode Akun Pajak (KAP)/Kode Jenis Pajak (KJP), NPWP/Nomor Objek Pajak (NOP), jumlah nominal yang disetor, masa/tahun pajak, dapat diperbaiki dengan cara mengajukan permohonan pemindahbukuan. Pemindahbukuan dapat dilakukan secara daring melalui aplikasi e-PBK pada laman pajak.go.id, langsung ke KPP, atau melalui pos/jasa pengiriman.

Apabila kesalahan hitung dan kesalahan bayar tersebut terlanjur dilaporkan pada SPT, maka wajib pajak berhak melakukan pembetulan SPT, sepanjang belum dilakukan pemeriksaan oleh DJP. Namun, dalam hal pembetulan SPT menyatakan rugi atau lebih bayar, pembetulan SPT harus disampaikan paling lama 2 tahun sebelum daluarsa penetapan, yaitu 5 tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya masa/bagian tahun/tahun pajak.

Kamis, 04 Mei 2023

Komite Kepatuhan, Sinergi Hadapi Tantangan

 







Artikel ini telah dimuat pada majalah Internal DJP INTAX edisi 2 Tahun 2023

Latar Belakang 

Target Penerimaan Pajak yang diamanahkan kepada Direktorat Jenderal Pajak Tahun ini sebesar Rp1.718 triliun, naik 16% dibanding tahun lalu. Bukan pekerjaan mudah mencapainya, saat berbagai tantangan tiba-tiba datang tanpa diundang. Sebagaimana kita ketahui, saat ini terjadi gempuran persepsi negatif dari media sosial, penurunan harga komoditas, dan ketidakpastian kondisi geopolitik. Selain itu, basis penerimaan pajak pada tahun 2022 sudah tinggi, sehingga kenaikan target 2023  terasa cukup chalenging.” 

Di sisi lain, kita masih optimis karena kondisi perekonomian sudah pulih setelah dihajar pandemi. Terminal, stasiun, pelabuhan, bandara, dipenuhi oleh orang yang lalu-lalang bepergian. Pasar dan pusat perbelanjaan menunjukkan peningkatan kegiatan berniaga. Pabrik-pabrik telah berproduksi pada kapasitas normal. Secara teori, perputaran roda perekonomian seharusnya berbanding lurus dengan besaran pajaknya. 

 Jumlah wajib pajak (WP) terus meningkat. Saat tulisan ini dibuat (2 Maret 2023), data master file DJP mencatat jumlah WP aktif adalah 21,7 juta. Angka tersebut terdiri dari 2.2 juta WP Badan, 205 ribu WP Bendahara, dan 19,3 juta WP Orang Pribadi. Di sisi lain, jumlah pegawai pajak seluruh Indonesia disaat yang sama sebanyak 44.937 orang. Secara rata-rata, setiap 1 pegawai menangani 483 WP. Terobosan baru diperlukan, agar jumlah pegawai yang terbatas dapat mencapai tujuan organisasi secara optimal. 

Menghadapi tahun yang tidak mudah ini, DJP membentuk gugus tugas bertajuk Komite Kepatuhan Wajib Pajak, yang disahkan melalui Keputusan Direktur Jenderal Pajak nomor KEP-2/PJ/2023 tanggal 3 Januari 2023. Pembentukan komite ini merupakan salah satu tindak lanjut dari rekomendasi TADAT (Tax  Administration Diagnostic Assessment Tool) tentang perwujudan tata kelola organisasi yang baik. 

Komite Kepatuhan bertugas merencanakan, memantau, dan mengevaluasi pelaksanaan peningkatan kepatuhan wajib pajak, termasuk tata kelola teknologi informasi dan komunikasi serta data wajib pajak. Komite Kepatuhan dilaksanakan pada 3 level unit kerja, yaitu Kantor Pusat DJP (KPDJP), Kantor Wilayah DJP (Kanwil DJP), dan Kantor Pelayanan Pajak (KPP).  

If you failed to plan, you planned to fail (Benjamin Franklin). Jika kita gagal membuat rencana yang baik,  maka kita sedang merencanakan kegagalan. Komite Kepatuhan merencanakan kebijakan dan strategi pencapaian penerimaan yang disusun secara sistematis, komprehensif dan berjenjang, dimulai dari KPDJP,  Kanwil, sampai dengan KPP. Rencana kebijakan dan strategi pencapaian penerimaan harus segera disusun setelah target pajak dalam APBN ditetapkan. 

Penanganan wajib pajak disesuaikan dengan kondisi WP, berdasarkan data yang diformulasikan menggunakan  Integrated Risk Engine (IRE) dan Costumized Modul (CMod). Sinergi dan sinkronisasi antar unit vertikal dan horisontal diatur melalui pertukaran dan harmonisasi data, sehingga irisan dan duplikasi penanganan WP dapat dihindari. 

Komite Kepatuhan KPDJP 

Komite Kepatuhan KPDJP dipimpin oleh Dirjen Pajak selaku Ketua. Direktorat Potensi, Kepatuhan, dan Penerimaan ditunjuk sebagai sekretariat komite.  Terdapat 6 SubKomite pada Komite Kepatuhan KPDJP yaitu: 1) Edukasi dan Pelayanan, 2) Pengawasan, 3) Pemeriksaan dan Penilaian, 4) Penegakan Hukum dan Penagihan, 5) Tata Kelola Data dan Teknologi Informasi dan Komputer (TIK), serta 6) Compliance Risk Management (CRM). 

Tugas utama Komite Kepatuhan Kantor Pusat DJP adalah menetapkan kebijakan dan strategi pengamanan penerimaan pajak nasional serta petunjuk teknisnya, dengan mempertimbangkan masukan dari Komite Kepatuhan Kanwil DJP dan KPP, kebijakan dan strategi pelayanan, edukasi perpajakan, fokus analisis data perpajakan, pengawasan, pemeriksaan, penilaian, penagihan, dan penegakan hukum. Komite juga menetapkan Compliance Improvement Plan (CIP) DJP, berupa rencana peningkatan kepatuhan wajib pajak secara menyeluruh, terintegrasi dan berkelanjutan. 

Untuk menghindari tumpang tindih penanganan wajib pajak, Komite Kepatuhan KPDJP melakukan harmonisasi Daftar Sasaran Prioritas Pengamanan Penerimaan Pajak (DSP4) kolaboratif, yang terdiri dari: 

  1. Daftar Sasaran Penyuluhan Terpilih (DSPT); 

  1. Daftar Sasaran Prioritas Ekstensifikasi (DSPE); 

  1. Daftar Prioritas Pengawasan (DPP); 

  1. Daftar Sasaran Prioritas Pemeriksaan (DSPP); 

  1. Daftar Sasaran Prioritas Penilaian (DSPPn); 

  1. Daftar Sasaran Prioritas Penegakan Hukum (DSPPH); 

  1. Daftar Sasaran Prioritas Pencairan (DSPC) 

Harmonisasi penanganan wajib pajak  tersebut, dilakukan berdasarkan usulan dari setiap subkomite 

Komite Kepatuhan Kanwil DJP 

Komite Kepatuhan Kanwil DJP ditetapkan dan dipimpin oleh Kepala Kanwil selaku Ketua Komite. Bidang yang mengampu data dan pengawasan pada Kanwil ditunjuk sebagai sekretariat. Terdapat 3 SubKomite pada Komite Kepatuhan Kanwil DJP, yaitu: 1)Pelayanan dan Edukasi Perpajakan, 2) Pengawasan dan 3) Pemeriksaan, Penilaian, Penagihan, dan Penegakan Hukum.  

Komite Kepatuhan Kanwil DJP memiliki tugas pokok menetapkan strategi pengamanan penerimaan pajak tingkat kanwil. Petunjuk teknis, strategi pelayanan, edukasi perpajakan, dan penegakan hukum dirumuskan bersama oleh tim komite kanwil. Tim juga merumuskan dan mengintegrasikan kebijakan teknis operasional antar bidang, serta menetapkan daftar wajib pajak yang dilakukan penanganan sesuai kondisinya. Komite menyusun DSP4 adjustment  tingkat kanwil untuk disampaikan kepada Komite Kepatuhan KPDJP, dengan mempertimbangkan DSP4 adjustment dari KPP.  

Monitoring dan evaluasi merupakan kegiatan yang sangat penting. Komite Kepatuhan Kanwil memberikan masukan kepada Komite Kepatuhan KPDJP atas hasil pemantauan, hasil evaluasi, dan rancangan kebijakan dan strategi pengamanan penerimaan pajak nasional. Selanjutnya, memberikan arahan atas hasil pemantauan dan evaluasi yang dilakukan oleh SubKomite kepada unit kerja dibawahnya. 

Komite Kepatuhan KPP 

Kantor Pelayanan Pajak (KPP) adalah ujung tombak dari seluruh rangkaian kegiatan Komite Kepatuhan DJP. Sebagai unit yang bertemu langsung dengan wajib pajak, peran KPP sangat besar karena berperan sebagai eksekutor di lapangan 

Ketua, Sekretariat, dan anggota komite di KPP ditetapkan melalui Surat Keputusan yang ditandatangani oleh Kepala KPP.  Kepala KPP ditetapkan sebagai ketua, sedangkan sekretariat dipegang oleh pejabat pengawas yang ditunjuk. Anggota komite terdiri dari para pejabat pengawas, pemeriksa, penyuluh, serta pegawai yang ditunjuk. 

Tugas pokok Komite Kepatuhan KPP adalah menetapkan rencana pengamanan penerimaan pajak tingkat KPP dan menyusun petunjuk teknis kegiatan pelayanan, edukasi pelayanan, pengawasan, pemeriksaan, penilaian, dan penagihan tingkat KPP. 

Pada level KPP, komite menyusun DSP4 adjustment untuk disampaikan kepada Komite Kepatuhan Kanwil, dengan mempertimbangkan DSP4 rekomendasi dari Komite Kepatuhan KPDJP. Sedangkan daftar penanganan WP di KPP ditetapkan berdasarkan DSP4 kolaboratif yang telah ditetapkan oleh Komite Kepatuhan KPDJP. 

Untuk kepentingan evaluasi, Komite Kepatuhan KPP memberikan masukan atas hasil pemantauan, hasil evaluasi, dan rancangan kebijakan kebijakan dan strategi penerimaan pajak nasional/kanwil. Selain itu, komite juga menetapkan arahan atas hasil pemantauan dan evaluasi yang dilakukan oleh masing-masing fungsi. 

Penutup 

Rencana yang baik telah ditata; 

Para pimpinan siap memberikan aba-aba;  

Prajurit  bersiaga mencurahkan segenap pikiran dan tenaga.  

Tahun ini tidak mudah, tapi bersama kita bisa; 

Menuntaskan amanah penerimaan negara tahun 2023.