Tulisan ini telah dimuat pada Majalah Indonesian Tax Review, Vol XIV, Edisi 07 Tahun 2023
Iklim
politik di negeri ini kian menghangat. Tiga pasangan yang bakal menjadi calon
presiden dan wakil presiden telah mendaftarkan diri kepada Komisi Pemilihan
Umum (KPU). Pasangan Anies Rasyid
Baswedan - Abdul Muhaimin Iskandar dari Koalisi Perubahan untuk Persatuan
(KIP), Ganjar Pranowo - Mohammad Mahfud Mahmodin dari Koalisi Kebangkitan
Indonesia Raya (KIRR), dan Prabowo Subianto Djojohadikusumo - Gibran Rakabuming
Raka dari Koalisi Indonesia Maju (KIM).
Pendanaan kegiatan
Pileg dan Pilpres ditanggung sepenuhnya oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN). Sedangkan pendanaan Pilkada bersumber dari Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah (APBD).
Sebagaimana
kita ketahui, bahwa 80% pendapatan negara pada APBN berasal
dari pajak. Sisanya dikumpulkan dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan
hibah. Pendapatan pajak dalam struktur APBN terdiri dari Pajak Penghasilan
(PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Bea Masuk dan Keluar, Cukai, Pajak Bumi
dan Bangunan (PBB), dan pajak lainnya.
Pendapatan daerah
pada APBD berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), pendapatan transfer dari
Pemerintah Pusat atau daerah otonom lain, serta pendapatan lain seperti bagi
hasil provisi dan Dana Desa. Penopang utama PAD adalah Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah.
Pada tanggal
6 Juni 2022 lalu DPR RI dan
KPU telah menyepakati anggaran Pemilu 2024 sebesar Rp102,8 triliun, dimana
Rp76,6 triliun ditanggung oleh APBN dan sisanya sebesar Rp26,2 triliun dari APBD.
Mengingat besaran anggaran pesta demokrasi yang cukup fantastis, dan sebagai
bentuk pertanggungjawaban kepada rakyat yang telah membayar pajak, maka
akuntabilitas pemanfaatan anggaran pemilu harus menjadi prioritas utama.
Sesuai kewenangannya, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melakukan
audit Laporan Keuangan KPU setiap tahun. Opini terhadap kewajaran Laporan
Keuangan diberikan atas realisasi anggaran, operasional, dan perubahan ekuitas
sesuai Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP). Di sisi lain, BPK juga melakukan
audit sistem pengendalian intern dan kepatuhan terhadap peraturan
perundang-undangan.
Dana
Kampanye
Dalam
rangka menjamin persaingan yang sehat dan
menghindari tindakan pencucian uang, pendanaan kampanye pemilu diatur
melalui Peraturan KPU Nomor 18
Tahun 2023 tentang Dana Kampanye. Sebagai bentuk pertanggungjawaban, kontestan wajib
melaporkan dana kampanye dalam 3 format yaitu: Laporan Awal
Dana Kampanye (LADK), Laporan Pemberi Sumbangan Dana Kampanye (LPSDK), dan Laporan
Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye (LPPDK). Laporan Dana Kampanye tersebut akan diaudit
oleh Kantor Akuntan Publik yang ditunjuk oleh KPU.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2021 tentang Pemilu (UU Pemilu) mengatur
besaran sumbangan yang boleh diterima dalam rangka kampanye. Sumbangan dana kampanye dari
perseorangan tidak boleh lebih dari Rp 2,5 miliar. Sedangkan dana dari non
perseorangan (kelompok, perusahaan, dan/atau badan usaha non pemerintah) tidak
boleh lebih Rp 25 miliar.
Penyumbang
wajib menyampaikan identitas lengkap berupa nama, alamat, Nomor Pokok Wajib
Pajak (NPWP), surat keterangan tidak memiliki tunggakan pajak, serta tidak
dalam keadaan pailit berdasarkan putusan pengadilan.
Sanksi pelanggaran besaran sumbangan kampanye juga
diatur pada ketentuan tersebut. Setiap orang, kelompok, perusahaan/badan usaha
non Pemerintah yang memberikan dana kampanye pemilu melebihi batas yang
ditentukan diancam pidana penjara maksimal 2 tahun, dan denda maksimal Rp 500
juta. Selanjutnya, peserta Pemilu yang menggunakan kelebihan sumbangan, atau tidak
melaporkan kelebihan sumbangan kepada KPU/tidak menyerahkan kelebihan sumbangan
ke kas negara maksimal 14 hari setelah kampanye Pemilu berakhir, diancam pidana
penjara maksimal 2 tahun, dan denda maksimal Rp500 juta.
Aspek Pajak Belanja
Pemilu
a.
Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Terdapat objek
PPN terkait belanja Pemilu, yaitu pembelian Barang Kena Pajak (BKP) seperti
pengadaan logistik berupa kertas, tinta, alat peraga, kaos, bendera, baliho dan
berbagai atribut lainnya. PPN juga dikenakan atas penggantian Jasa Kena Pajak
(JKP) seperti jasa konsultasi, sewa kendaraan, jasa teknologi informasi, jasa
iklan, jasa kebersihan, dll.
Tarif PPN
sesuai UU No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan adalah sebesar
11% dari Dasar Pengenaan Pajak yang berupa harga jual, penggantian, nilai
impor, nilai ekspor, atau nilai lain.
Pajak Penghasilan (PPh)
Porsi
terbesar pemanfaatan dana pemilu adalah gaji dan honorarium pegawai lembaga
penyelenggara Pemilu dan petugas Badan Adhoc Pemilu. Penyelenggara Pemilu
adalah KPU, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara
Pemilu (DKPP). Sedangkan Badan Adhoc Pemilu, terdiri dari Panitia Pemiilhan
Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan Suara (PPS), Kelompok Penyelenggaraan
Pemungutan Suara (KPPS), dan Petugas Pemutakhiran Data Pemilih (Pantarlih). KPU
juga membayarkan premi asuransi apalagi para petugas tersebut mengalami resiko
pada saat melaksanakan tugas.
Pemotongan
PPh Pasal 21 atas uang kehormatan yang diterima oleh pimpinan dan anggota KPU,
KPU Propinsi, dan KPU Kabupaten/Kota serta uang honorarium bagi anggota
kepanitiaan yang berstatus sebagai Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil (PNS),
anggota TNI/POLRI dan Pensiunannya dipotong PPh Pasal 21 sebesar 0%-15%,
tergantung golongannya.
Sedangkan
PPh Pasal 21 atas uang kehormatan yang diterima oleh pimpinan dan anggota KPU,
KPU Propinsi, dan KPU Kabupaten/Kota yang berstatus bukan sebagai
Pejabat Negara,Pegawai Negeri Sipil (PNS), anggota TNI/POLRI, dan Pensiunannya
dipotong PPh Pasal 21 yang dihitung sesuai tarif Pasal 17 UU PPh dari
Penghasilan Kena Pajak selama 1 (satu) tahun takwim atau jumlah yang
disetahunkan sebagaimana cara penghitungan PPh Pasal 21 atas gaji pegawai
tetap.
Apabila
penghasilan tersebut diterima oleh anggota kepanitiaan sehubungan dengan Pemilu
atau Pilkada yang berstatus bukan sebagai Pejabat Negara,Pegawai Negeri Sipil
(PNS), anggota TNI/POLRI, dan Pensiunannya dipotong PPh Pasal 21 yang dihitung
sesuai tarif Pasal 17 UU PPh dari penghasilan bruto.
b.
PPh Pasal 23/26 dan Pasal 4 ayat (2)
Penyelenggara Pemilu membutuhkan berbagai jasa
penunjang operasional seperti sewa kendaraan, jasa iklan, jasa teknologi
informasi, jasa percetakan, jasa konsultasi, jasa transportasi, dll. Penggantian
jasa tersebut merupakan objek PPh Pasal 23 dengan tarif sebesar 2% apabila
penerima penghasilan memiliki NPWP. Jika tidak, maka dikenakan tarif 100% lebih
tinggi, sehingga tarif non-NPWP sebesar 4%.
Apabila penerima penghasilan adalah Wajib Pajak Luar
Negeri, maka terutang PPh Pasal 26 dengan tarif sebesar 20%, atau menyesuaikan
dengan tarif pada Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B).
Untuk
melakukan konsolidasi dan promosi, kadang kontestan Pemilu menyewa kantor atau booth.
Terkait sewa tanah dan/atau bangunan tersebut terutang PPh Pasal 4 ayat (2) yang bersifat final dengan tarif
sebesar 10% dari harga sewa.
Penerimaan
PPN, PPh Pasal 21, PPh Pasal 23/26, dan PPh Pasal 4 ayat (2) tahun 2024 diprediksi tumbuh signifikan
seiring meningkatnya belanja Pemilu tersebut.
Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan pesta demokrasi yang berlangsung
lima tahun sekali. Pada dasarnya Pemilu erat kaitannya dengan pajak., karena sebagian besar dana penyelenggaraan pemilu
berasal dari pajak. Di sisi lain, terdapat dua jenis pajak yang dikenakan saat terjadinya aktivitas pemilu, yaitu, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penghasilan. Terdapat beberapa
aspek pada Pajak Penghasilan yaitu, PPh Pasal 21, PPh Pasal 23 dan PPh Pasal 4 ayat (2).
Dengan diselenggarakannya Pemilu secara
serentak pada Februari 2024 mendatang, dapat berlangsung dengan lancar, aman, dan tertib. Semoga terpilih anggota
legislatif dan eksekutif yang jujur, adil, amanah, dan membawa kesejahteraan
untuk seluruh rakyat Indonesia. Uang pajak yang dibayar oleh rakyat untuk
menyelenggarakan pesta demokrasi lima tahunan ini, tidak menjadi sia-sia.