Jurangmangu, 9 Juli 2018
Untuk bujang keduaku nun di jauh
disana..
Yang baru memulai hari-hari
pertamanya di pondok pesantren.
Di sana memang gak nyaman Le..
Kamar tidurmu tak lagi luas dan
ber-AC.
Springbed lebarmu berganti ranjang besi sempit bersusun.
Mandi harus antri, makan harus antri,
semua serba mengantri.
Jangankan dilayani, piring gelas
pun harus kau cuci sendiri.
Disana memang gak enak Le,
Tak ada televisi berisi sinetron, panggung hiburan dan infotainment.
Tak bisa Instagram-an, Youtube-an dan mabar Mobil Legend.
Tak bisa janjian nonton bioskop
sama teman-teman.
Disana memang berat Le,
Di pagi yang dingin, sebelum
subuh kau sudah dibangunkan.
Ba’da subuh harus menyetorkan
hafalan quran .
Disambung jadwal sekolah dan
ekstra kurikuler lainnya.
Kami tau kamu ngantuk,
jenuh, lelah.
Sabarlah Le,
Nikmati saja segala keterbatasan ini.
Lupakan sejenak segala fasilitas
dan kenyamanan yang kami sediakan di rumah.
Suatu saat nanti kau akan paham
kenapa kami memilih jalan ini.
Bermula dari ketidaksanggupan
kami menjadi suri tauladan yang baik untukmu.
Dan ikhtiar atas cita-cita kami yang
sederhana.
Yaitu Ingin melihatmu kelak menjadi seorang yang shalih dan berguna
untuk sesama.
Kami ingin kau bersama kakak dan
adik-adik mampu mengurus jenazah kami ketika saat itu tiba.
Dan kalianlah yang akan menolong kami dengan doa yang tak putus
ketika kami sudah berkalang tanah di alam kubur, dimana tak ada lagi siapapun yang
bisa menolong kecuali kalian.
Bertahanlah Le,
Kuatkan hatimu.
Segala hal yang tidak membunuhmu,
akan membuatmu semakin kuat.
Percayalah...
Air mata tak terbendung membaca tulisan suratmu mba, secara anakku ga smapai seminggu lagi akan masuk pesantren. Terima kasih atas inspirasinya.
BalasHapusTumpahkan saja air mata itu mbak, menangis tak selalu identik dengan cengeng.
HapusMenangis adalah salah satu ciri lembutnya hati. Para salafus shalih mudah sekali menangis karena kelembutan hati mereka.
Asal jangan di depan jagoannya yak.. Ngumpet aja nangisnya..