Rabu, 09 Oktober 2019

Lumbung Data Itu Bernama DIP



Tulisan ini telah dimuat pada laman www.pajak.go.id
https://pajak.go.id/id/artikel/lumbung-data-itu-bernama-dip

Direktorat Data dan Informasi Perpajakan (DIP) telah beroperasi secara resmi pada hari Senin, 08 Juli 2019. Unit Eselon II baru ini resmi disahkan oleh Menteri Keuangan pada tanggal 11 Juni 2019 lalu melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-87/PMK.01/2019 tentang Perubahan atas PMK-217/PMK.01/2018 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan.

Selain DIP, terdapat satu direktorat baru lainnya yaitu Direktorat  Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK), yang merupakan peleburan dari Direktorat Teknologi Informasi Perpajakan (TIP) dan Direktorat Transformasi Teknologi Komunikasi dan Informasi (TTKI).

Direktorat DIP bertugas merumuskan dan melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang data dan informasi perpajakan, dalam rangka pembenahan basis data wajib pajak yang menjadi tulang punggung reformasi pajak jilid III. Sejumlah 6 (enam) subdirektorat akan mendukung kinerja Direktorat DIP yaitu: 1)Tata Kelola Data dan Informasi, 2)Pengelolaan Data Internal, 3)Pengelolaan Data Eksternal, 4)Analisis Data dan 5) Risiko Kepatuhan Wajib Pajak dan Sains Data, 6) Subbagian Tata Usaha.

Sebagaimana kita ketahui, pemerintah Indonesia telah bergabung bersama negara-negara lain di dunia internasional dalam kerjasama AEOI (Auto Exchange Of Information), yaitu suatu sistem pertukaran data wajib pajak otomatis antar negara, yang memungkinkan tiap yurisdiksi pajak bertukar data wajib pajak secara periodik, sistematis dan berkesinambungan.

Berdasarkan data yang disampaikan pada Global Forum on Transparency and Exchange of Information for Tax Purposes yang diselenggarakan oleh Organisation of Economic Cooperation and Development (OECD) di Guangzhou-China tanggal 2-6 Juli 2018 lalu, negara-negara yang telah menyatakan siap bergabung dalam AEOI saat ini berjumlah 150 negara, 49 diantaranya telah menerapkannya pada tahun 2017, 53 negara (termasuk Indonesia) bergabung di tahun 2018, 4 negara berjanji melaksanakannya di tahun 2019-2020, dan 40 negara lainnya belum menentukan tenggat waktu penerapan AEOI tersebut.

Terkait AEOI tersebut, sejumlah data berskala besar dari 55 negara telah diterima Ditjen Pajak dalam bentuk Laporan Per Negara atau Country by Country Report (CbC Report), yaitu salah satu dokumen transfer pricing yang berisi alokasi penghasilan, pajak yang dibayar, dan aktivitas usaha dari seluruh anggota grup usaha yang disajikan dalam tabulasi khusus sesuai dengan standar internasional dan akan dipertukarkan dengan otoritas pajak negara lain sesuai perjanjian internasional.

Selain data dari Luar Negeri, Ditjen Pajak juga terus menghimpun data wajib pajak dari dalam negeri melalui pertukaran data dengan 67 instansi, termasuk kerjasama dengan pihak bank dan lembaga keuangan lainnya. Undang-undang Nomor 9 Tahun 2017 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU) Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan, mewajibkan lembaga keuangan seperti bank, pasar modal, perasuransian dan lembaga jasa keuangan lainnya untuk melaporkan data nasabah mereka kepada Ditjen Pajak.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah siap bekerjasama untuk program pertukaran data keuangan tersebut. Direktur Jenderal Pajak Bapak Robert Pakpahan dalam acara seminar perpajakan di Kantor Pusat Ditjen Pajak tanggal 14 Maret 2019 mengatakan bahwa DJP telah meminta data dari 378 lembaga keuangan melalui kerjasama dengan OJK. Data keuangan nasabah tersebut akan disandingkan dengan laporan Wajib Pajak dalam Surat Pemberitahuan (SPT). Jika terdapat selisih maka akan menjadi potensi pajak yang dapat ditindaklanjuti dengan kegiatan klarifikasi, himbauan atau pemeriksaan untuk menguji kepatuhan wajib pajak.

Tingginya volume dan variasi jenis data yang telah berhasil dihimpun, menjadi tantangan tersendiri bagi DJP. Tidak mudah mengelola data yang sedemikian besar dan kompleks agar dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk kegiatan pelayanan, pengawasan kepatuhan wajib pajak, serta penegakan hukum. Selama ini data wajib pajak dikelola oleh beberapa unit yang terpisah, sehingga timbul berbagai kendala dalam pengelolaan dan pemanfaatannya. Belum adanya Single Identity Number (SIN) untuk seluruh warga negara Indonesia menjadi kendala terbesar untuk mengintegrasikan seluruh data yang tersedia.

Jika kita tengok pengelolaan data di otoritas pajak negara tetangga kita Australia, mereka memiliki sebuah program bernama Smarter Data Program (SDP) yang mengelola data wajib pajak. Australian Taxation Office (ATO) meramu seluruh data wajib pajak mereka pada SDP , kemudian menyajikannya pada website www.ato.gov.au yang tak hanya dapat diakses oleh pihak petugas pajak saja, tapi juga oleh wajib pajak dengan menggunakan login tax number (NPWP).

Fiskus dan Wajib Pajak mengakses data yang sama persis, sehingga pihak ATO tidak perlu mengirimkan pemberitahuan kepada ”tax payer” jika terjadi selisih data, misalnya selisih data faktur pajak vs pemberitahuan ekspor/impor barang, atau selisih omset. Fiskus dapat menghemat waktu, biaya dan tenaga, karena tindakan yang mereka lakukan langsung kepada tahap mengingatkan Wajib Pajak untuk membetulkan laporan pajaknya, atau melakukan pemeriksaan jika diperlukan.

Direktorat DIP diharapkan mampu menjadi unit lumbung data yang andal. Berbagai unsur yang bergabung di dalamnya akan berkolaborasi sesuai keahlian masing-masing untuk merumuskan kebijakan, menyusun norma, standar dan prosedur, melaksanakan kebijakan, serta memberikan bimbingan teknis dan evaluasi terkait data dan informasi perpajakan.

Pengelolaan basis data  terintegrasi akan mempersulit pengemplang pajak untuk menyembunyikan  aset dan menghindari pajak. Kuantitas dan kualitas data yang semakin baik akan berkontribusi langsung terhadap pencapaian target penerimaan pajak dan perbaikan tax ratio di masa datang.

 *) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi penulis bekerja.

Menimbang Rencana Kenaikan Cukai dan Pajak Rokok



Tulisan ini telah dimuat pada Harian Ekonomi Neraca tanggal 27/09/2019

Silang pendapat antara Perkumpulan Bulutangkis (PB) Djarum dengan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) baru saja usai, tetapi perdebatan pro dan kontra di masyarakat terkait industri rokok dan kontribusi kepada negara masih terus berlanjut.

Pada rapat terbatas di Istana Merdeka Jumat sore (13/9/2019), Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengumumkan kenaikan cukai rokok rata-rata sebesar 23% dan Harga Jual Eceran (HJE)  sebesar  35% yang akan berlaku mulai 1 Januari 2020. Petunjuk teknis terkait mekanisme dan proporsi kenaikan tersebut akan dituangkan ke dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Senada dengan Menteri Keuangan, Menko Perekonomian Darmin Nasution pada acara Indotrans Expo 2019 di Jakarta, Sabtu (14/9/2019), menyatakan bahwa ada 3 alasan obyektif dibalik kenaikan cukai rokok yaitu: alasan kesehatan, penerimaan negara dan kesempatan kerja.

Gagasan tentang perlunya kenaikan cukai rokok ini sebelumnya juga disampaikan oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) melalui Ketua Pengurus Harian Tulus Abadi.  "Atau yang urgen adalah menaikkan cukai rokok secara signifikan, dan persentase kenaikan cukai rokok itu sebagiannya langsung dialokasikan untuk memasok subsidi ke BPJS Kesehatan," jelasnya dalam keterangan tertulis, Kamis (29/8/2019).

Pendapat berbeda disampaikan oleh Henry Najoan, Ketua Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI). Pada siaran pers Minggu, (15/9/2019) Henry menyatakan kekhawatirannya bahwa kenaikan tarif tersebut akan memberatkan Industri Hasil Tembakau (IHT) dan berpotensi meningkatkan produksi rokok ilegal.

Pembicaraan tentang kenaikan tarif cukai dan pajak rokok ini sebenarnya sudah mengemuka sejak beberapa tahun terakhir. Peredaran rokok yang semakin masif dan tingginya pertumbuhan jumlah perokok aktif terutama di kalangan generasi muda meresahkan banyak kalangan. Tobacco Atlas menyatakan bahwa Indonesia menduduki peringkat ketiga dalam kategori negara dengan konsumsi rokok terbesar di dunia, setelah China dan India. Harga yang terlalu murah menjadi salah satu penyebab terus meningkatnya konsumsi rokok. Benchmark tarif pajak menurut WHO adalah 70%, sedangkan tarif di Indonesia saat ini hanya 49,45%.

World Health Organization (WHO) Regional Asia Tenggara dalam rilisnya bertajuk: Fact Sheet 2018 Indonesia, menyatakan bahwa rokok telah membunuh 225.720 jiwa melalui penyakit jantung, infeksi pernafasan, kanker, dll. Persentase kematian akibat rokok mencapai  14,7% dari seluruh angka kematian selama tahun 2018.

Selain itu, WHO juga bekerjasama dengan pemerintah Indonesia melakukan survei Global Youth Tobacco Survey (GYTS) periode tahun 2014 (rilis terakhir). Survei ini menggunakan metode kuesioner yang melibatkan 72 sekolah dengan total responden sejumlah 5.986 siswa kelas 7 - 9 berusia 13 -15 tahun. Hasil survey menyatakan bahwa  jumlah siswa yang merokok menyentuh angka 20,3%, artinya 1 dari 5 anak adalah perokok. Angka yang cukup mengejutkan.

Pemerintah mengambil peran dalam mengendalikan peredaran rokok, diantaranya melalui cukai dan pajak. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007, Barang Kena Cukai  (BKC) adalah barang tertentu yang mempunyai sifat dan atau karakteristik tertentu yaitu: 1) konsumsinya perlu dikendalikan, 2) peredarannya perlu diawasi, 3) pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup, 4) pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan. Cukai dikenakan terhadap produk etil alkohol, Minuman Mengandung Etil Alkohol (MMEA) serta hasil tembakau (tembakau iris, sigaret, rokok daun, cerutu, dan hasil olahan tembakau lainnya). Dasar pengenaan cukai adalah Harga Jual Eceran (HJE) atau harga bandrol.

Selain cukai, rokok juga dikenai pajak daerah, dengan istilah Pajak Rokok. Hal ini diatur pada Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2016 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Pemungutan Pajak Daerah, dengan tarif sebesar 10% dari nilai cukai, dan harus disetorkan ke rekening kas umum daerah provinsi sesuai proporsi jumlah penduduk.  Pajak tersebut dipungut bersamaan dengan pemungutan cukai oleh instansi yang berwenang. Penerimaan Pajak Rokok dibagi secara proporsial sebesar 30% untuk provinsi dan 70% untuk kabupaten/kota yang termasuk dalam wilayah provinsi terkait.

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) juga dikenakan terhadap penjualan rokok sesuai ketentuan pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 207/PMK.010/2016 tentang Perubahan atas PMK 174/PMK.03/2015 tentang Tata Cara Penghitungan dan Pemungutan PPN atas Penyerahan Hasil Tembakau. Dasar pengenaan pajaknya adalah Nilai Lain, yaitu Harga Jual Eceran (HJE) yang didalamnya sudah termasuk cukai dan pajak rokok. Tarif efektif PPN ditetapkan sebesar 9,1%.

Saat ini terdapat  4 produsen rokok besar yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia yaitu: 1) PT Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk. (HMSP),  2) PT Gudang Garam, Tbk. (GGRM), 3) PT Bentoel Internasional Investama Tbk. (RMBA) dan 4) PT Wismilak Inti Makmur (WIIM). Selain itu, masih banyak produsen berskala besar lain seperti PT Djarum dan PT Nojorono Tobacco International, serta ratusan produsen berbentuk Usaha Kecil dan Menengah (UMKM). Data dari Direktorat Industri Minuman, Hasil Tembakau dan Bahan Penyegar Kementerian Perindustrian  menyatakan bahwa produksi rokok secara nasional mencapai 332,3 miliar batang pada tahun 2018.

Sampoerna merupakan market leader yang menguasai 33% pasar rokok nasional, dengan nama Djisamsoe, Marlboro, A Mild, U Mild, Magnum dan Sampoerna. Perusahaan yang dimiliki oleh PT Phillip Morris Indonesia (PMI) (92,5%) dan publik (7,5%) ini memiliki 7 pabrik yang mampu menjual 101,4 miliar batang rokok dan membukukan laba bersih sebesar Rp 13,6 triliun di tahun 2018, naik 9,42% dari tahun 2017 yang sebesar Rp12.483 triliun. Saham PMI 100% dimiliki oleh Philip Morris Investment BV (Belanda), yang merupakan kepanjangan tangan dari Philip Morris International, produsen rokok bermerk “Marlboro” yang bermarkas di  New York, Amerika Serikat.

Gudang Garam mencatat kenaikan penjualan sebesar 8,3% dari 79 miliar batang rokok di tahun 2017 menjadi 85,2 miliar, dan memperolah laba bersih sebesar Rp 7,79 triliun di tahun 2018. Pabriknya yang berada di 2 lokasi yaitu Kediri dan Pasuruan, memproduksi rokok bernama Gudang Garam, Surya, Sriwedari, Djaja, dan Klobot. Perusahaan ini dimiliki oleh pengusaha lokal dan 23% sahamnya dijual di bursa.

Bentoel menguasai 8% pangsa pasar rokok dalam negeri dengan produknya Bentoel Biru, Lucky Strike, Ardath, Dunhill, Pall Mall, Star Mild, dll. Perusahaan yang memiliki pabrik di Malang, Jawa Timur ini memproduksi 181.925 ton tembakau dari 186 ribu hektar lahan yang dimilikinya. Selain dijual di pasar domestik, tembakau dan hasil olahannya berupa rokok kretek dan rokok putih di ekspor ke 19 negara. Meskipun selalu membukukan rugi bersih sejak 7 tahun terakhir, sebenarnya laba kotor Bentoel naik 26,98% dari Rp2,1 triliun di tahun 2017 menjadi Rp2,66 triliun di tahun 2018. Bentoel dimiliki oleh British American Tobacco Ltd (92,48%), United Bank of Switzerland (7,29%), dan publik (0,23%).

Wismilak yang pabriknya berlokasi di Bojonegoro, Jawa Timur ini memproduksi rokok dengan merk Wismilak, Diplomat, Galan, dan cerutu Wismilak. Pemegang sahamnya adalah  pengusaha lokal dan publik sebesar 32,57%. Meskipun mengalami penurunan volume penjualan sebesar 4% yaitu Rp1,41 triliun di tahun 2018 sedangkan sebelumnya di tahun 2017 sebesar Rp1,48 triliun, tetapi Wismilak berhasil mencatat laba sebesar Rp51,14 miliar, naik 40,59% dari 2017 yang sebesar Rp40,59 miliar.

Tahun lalu pemerintah menaikkan cukai rokok sebesar rata-rata 10,4% melalui PMK  146/PMK.010/2017 yang berlaku mulai 1 Januari 2018. Berdasarkan data empiris laporan keuangan perusahaan rokok tersebut di atas, kenaikan cukai  tersebut ternyata secara umum tidak menurunkan performa keuangan perusahaan di tahun 2018. Sebagian besar masih memperolah keuntungan dari kegiatan bisnis yang dijalankan.

Jumlah rupiah yang bisa dihimpun negara dari cukai dan pajak yang dibayar oleh perusahaan-perusahaan tersebut tentu tidak sedikit. Rencana kenaikan tarif cukai dan pajak akan mendongkrak penerimaan negara secara signifikan. Di sisi lain, upaya ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat dengan cara membatasi daya beli masyarakat terhadap produk tembakau dan turunannya.

Dalam hal peredaran rokok ilegal dan cukai palsu,  perlu kerja keras jajaran Ditjen Bea Cukai dan instansi terkait untuk melakukan serangkaian tindakan preventif berupa penyuluhan/sosialisasi kepada masyarakat maupun tindakan represif berupa penindakan terhadap produsen dan operasi pasar secara rutin.

(Tulisan merupakan pendapat pribadi, tidak terkait instansi tempat penulis bekerja)

Senin, 09 September 2019

Menakar Potensi Pajak Google



 Tulisan ini dimuat pada Harian Ekonomi Neraca, Sabtu, 7 September 2019
http://www.neraca.co.id/article/121591/menakar-potensi-pajak-google?fbclid=IwAR0xtgYU883S9q0pH0GPSPmmcAeIjPt2F9uWQxN-iN2nQxXgut-gtGPIBbo

Khabar baik datang dari Google, perusahaan multinasional yang berbasis di California, Amerika Serikat.  Google memutuskan untuk memindahkan hak atas kontrak Google Ads dari Google Asia Pacific Pte. Ltd. yang berkedudukan di Singapura  ke PT Google Indonesia. Artinya, setiap transaksi pemasangan iklan di Google Ads harus tunduk pada ketentuan perpajakan di Indonesia.
Berdasarkan data statistik Google Trends, Google menduduki peringkat kedua setelah Facebook dalam kategori 10 situs yang paling banyak dikunjungi sampai dengan tahun 2018, disusul oleh Youtube, Twitter, Wikipedia, Lingkedln, Baidu, Ebay, Instagram, dan terakhir adalah Bing.  Google diperkirakan mengoperasikan lebih dari 1 juta server di berbagai belahan dunia dan memproses miliaran query data setiap harinya. Tahun 2018 lalu, Alphabet Inc (perusahaan induk Google) mengumumkan pendapatan sebesar USD 39,2 miliar atau setara Rp546,3 triliun.
Indonesia merupakan pasar yang sangat potensial karena keunggulan demografi yang dimilikinya. Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) melakukan Survey Penetrasi dan Profil Pelaku Pengguna Internet Indonesia tahun 2018, yang melibatkan 5.900 sampel  dengan margin error 1,28%. Hasil survey menyatakan bahwa dari total jumlah penduduk Indonesia berdasarkan data Biro Pusat Statistik (BPS) sebesar 264,16 juta jiwa, 171,17 juta jiwa diantaranya (64,8%) merupakan pengguna internet aktif. Sejumlah 62,8% dari pengguna internet tersebut, menghabiskan waktu lebih dari 2 jam per hari untuk berselancar di dunia maya. Potensi ini tentu tidak disia-siakan oleh Google dan perusahaan teknologi informasi berbasis internet lainnya.
 Produk yang disediakan oleh Google antara lain: 1) Search Engine (aplikasi pencarian)  berupa Google Search, Google Maps, Google Earth, dan Google Books; 2) Sarana komunikasi dan layanan cloud berupa Gmail, Google Drive, Google Docs, dan browser Google Chrome; 3) Software (perangkat lunak) berupa sistem Android yang lazim digunakan pada telepon genggam; 4) Google Analytics, yaitu  layanan yang berisi peralatan bagi para webmaster untuk menganalisis pengguna webnya; 5) Google SMS, yaitu short message service (layanan pesan singkat); 6) Google Aps Premier Edition, sebuah versi lain Google Apps yang difokuskan pada pengguna bisnis, memiliki beberapa tambahan seperti ruang disk lebih banyak untuk e-mail dan akses Application Programming Interface (API);  7) Knol, sebuah situs web yang ditujukan sebagai sumber referensi pengetahuan.
Dari keseluruhan produk tersebut, jasa periklanan (Google Adwords dan Google Adsense) memberikan porsi pendapatan yang terbesar. Pada layanan Google AdWords, pelanggan memasang iklan yang akan muncul pada halaman hasil penelusuran Google dan jaringan situs partnernya. Selain itu Google Adwords juga terdapat pada Youtube dan Maps berupa banner, teks, foto, video, dll. Terdapat 2 macam sistem pembayaran pada Google Adwors, yaitu Pay Per Click (PPC), dimana pembayaran berdasarkan jumlah klik pada iklan dan Pay Per Million (PPM), pembayaran berdasarkan jumlah iklan yang ditampilkan per 1000 kali tampil.
Sedangkan pada Google Adsense (GoogleAds), pemilik website/blog memasang iklan yang bentuk dan materinya telah ditentukan oleh Google. GoogleAds banyak dimanfaatkan oleh publisher/kreator seperti youtuber atau blogger, karena menitikberatkan pada trafffic suatu blog atau banyaknya view suatu konten. Pemilik web/blog/akun youtube akan mendapatkan pembagian keuntungan dari Google untuk setiap 1 iklan yang di klik oleh pengunjung situs  dengan sistem Pay Per Click (PPC).  Ada pula Adsense for Search, dimana pemilik situs web memasang kotak pencarian Google pada halaman web mereka dan mendapatkan penghasilan dari google untuk setiap pencarian yang dilakukan pengunjung melalui kotak pencarian tersebut.
Google menghadapi sengketa pajak dengan berbagai negara. Otoritas pajak Inggris akhirnya berhasil memaksa Google membayar pajak sebesar 130 juta poundsterling (Rp2,2 triliun) setelah bersengketa kurang lebih 6 tahun. Angka tersebut masih jauh dari yang diharapkan oleh pemerintah Inggris, mengingat omset Google di Inggris mencapai 7,2 miliar poundsterling (Rp123 triliun). Pemerintah Perancis menagih pajak sebesar 1,6 miliar euro (Rp23,5 triliun) karena Google memindahkan sebagian besar penghasilannya ke Irlandia, negeri surga pajak. Hal ini juga terjadi di Italia, Spanyol dan banyak negara lainnya.
PT GI sebagai perpanjangan tangan Google LLC. (Amerika Serikat), mulai.beroperasi  di Indonesia sejak September 2011 dan tercatat pernah bersengketa dengan Direktorat Jenderal Pajak pada tahun 2016 karena dianggap tidak membayar pajak atas seluruh penghasilan yang diperoleh di Indonesia. Berdasarkan kontrak dengan induknya, PT Google Indonesia mendapatkan fee sebesar 4% dari pendapatan iklan yang diperoleh di Indonesia. Pendapatan tersebut dijadikan basis pajak, padahal seharusnya basis pajak dihitung dari keseluruhan pendapatan iklan. Saat itu PT GI menolak ditetapkan sebagai Bentuk Usaha Tetap (BUT) dan menolak dilakukan pemeriksaan oleh Ditjen Pajak.
Dipicu oleh kebuntuan sengketa tersebut serta menyikapi perkembangan perusahaan multinasional terutama sektor ekonomi digital yang semakin pesat, bulan April lalu Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati telah menandatangai Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-35/PMK.03/2019 tentang Penentuan Bentuk Usaha (BUT). Ketentuan ini menegaskan bahwa setiap bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi asing atau badan asing untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia dengan kriteria: 1) adanya suatu tempat usaha di Indonesia; 2) tempat usaha tersebut bersifat permanen; dan 3) tempat usaha tersebut digunakan untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan. adalah BUT dan wajib mematuhi ketentuan perpajakan di Indonesia.
Beleid ini menegaskan pengertian Place of Business (tempat usaha), yaitu: segala jenis tempat, ruang, fasilitas, atau instalasi, termasuk mesin atau peralatan, yang digunakan Orang Pribadi Asing atau Badan Asing untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan, yang dapat berupa: tempat kedudukan manajemen; cabang perusahaan; kantor perwakilan; gedung kantor; pabrik; bengkel; gudang; ruang untuk promosi dan penjualan; pertambangan dan penggalian sumber alam; wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi; perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan; dan komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau digunakan Orang Pribadi Asing atau Badan Asing untuk menjalankan usaha melalui internet.
PT GI telah memenuhi kriteria BUT dalam ketentuan tersebut karena memiliki kantor perwakilan, komputer, agen elektronik dan peralatan otomatis yang dimiliki dan digunakan untuk menjalankan usaha dan mendapatkan penghasilan di Indonesia.
Dikutip dari laman resmi google: https://support.google.com/google-ads, PT Google Indonesia mengumumkan kepada para pelanggan Google Ads beberapa hal sebagai berikut: 1) Mulai tanggal 1 Oktober 2019 invoice akan diterbitkan oleh PT Google Indonesia (GI) sebagai reseller layanan, 2) Untuk mematuhi peraturan pajak setempat, semua penjualan Google Ads di Indonesia akan dikenakan PPN sebesar 10%, 3) Pelanggan diminta untuk mengupdate alamat penagihan di Indonesia, 4) Jika pelanggan ingin memotong Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 sebesar 2%, maka diminta mengirimkan bukti potong PPh 23 tersebut ke PT GI, 5) Untuk pelanggan yang berstatus pemungut PPN, diminta memberikan bukti pembayaran berupa Surat Setoran Pajak (SSP) dengan mengirimkan dokumen fisik asli dan bertandatangan, 6) Google tidak dapat memberikan saran tentang masalah pajak, pelanggan dipersilahkan menghubungi konsultan pajak jika ada hal-hal yang belum dipahami. Terkait pengalihan kontrak tersebut, pihak PT GI akan meminta pelanggan Google Ads untuk memperbarui data-data mereka berupa nama asli, Nomor Induk Kependudukan (NIK) serta Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) untuk keperluan pembuatan Faktur Pajak.
Itikad baik PT Google Indonesia untuk menaati ketentuan perpajakan melalui pemungutan PPN dan Pemotongan PPh Pasal 23 per 1 Oktober 2019 ini patut diapresiasi, apalagi dalam kondisi sulitnya memenuhi target penerimaan pajak di tengah lesunya perekonomian global.  Semoga langkah ini dapat diikuti oleh Youtube, Instagram, Facebook dan platform Over The Top (OTT) sejenis  yang beroperasi dan mengeruk keuntungan dari rakyat Indonesia.
*) pendapat pribadi penulis, tidak terkait instansi.

Jumat, 30 Agustus 2019

E-filing: Lapor Pajak Cukup Dua Menit?

Tulisan ini dimuat pada laman www.pajak.go.id
E-filing adalah cara penyampaian SPT Tahunan secara elektronik yang dilakukan secara online dan real time melalui internet padawebsite DJP www.djponline.pajak.go.id atau ASP (Aplication Service Provider/Penyedia Jasa Aplikasi). Sejak diluncurkan oleh Ditjen Pajak melalui Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-39/PJ/2011 tentang Tata Cara Penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Yang Menggunakan Formulir 1770S Atau 1770SS Secara efiling Melalui Website Direktorat Jenderal Pajak (www.pajak.go.id), pengguna aplikasi ini terus meningkat. Pada Tahun 2013 pengguna efiling tercatat sebanyak 24.509 wajib pajak, sedangkan pada April 2017 melonjak menjadi 6.9 juta Wajib Pajak.
Peningkatan secara signifikan ini terjadi karena masyarakat merasakan manfaat efiling yang akurat, mudah, murah dan cepat, serta terjamin kerahasiannya. Wajib pajak tidak perlu menyisihkan waktu, tenaga, dan biaya antri di Kantor Pelayanan Pajak untuk lapor SPT Tahunan, cukup isi SPT secara online, kemudian tanda terima akan dikirimkan melalui email. wajib pajak tidak perlu khawatir kehilangan tanda terima SPT karena sudah tersimpan di email. Tinggal dicari jika sewaktu-waktu diperlukan.
Sebaliknya jika ditinjau dari sisi Ditjen Pajak, aplikasi paperless ini sangat mengurangi pekerjaan administrasi. Tidak ada lagi pekerjaan meneliti, menerima, dan menatausahakan kertas- kertas SPT. Penyimpanan berkas SPT juga membutuhkan gudang/ruangan yang luas.  Pekerjaan tersebut menyerap biaya ekonomi yang cukup tinggi. Aplikasi ini juga mengurangi risiko yang mungkin terjadi, seperti berkas hilang karena terselip pada saat pengiriman dan risiko kebocoran informasi kepada pihak yang tidak  bertanggungjawab.
Ditjen Pajak merancang desain aplikasi ini dengan cukup user friendly. Wajib pajak bisa langsung mengisi formulir elektronik, atau mengikuti langkah demi langkah panduan yang sudah disediakan pada aplikasi tersebut.
Nah, Bagaimana langkah-langkah untuk mengisi efiling? Mari kita bahas satu per satu. Kali ini penulis hanya membahas pelaporan via efiling untuk orang pribadi saja. 
Yang pertama harus anda lakukan adalah meminta EFIN ke KPP terdekat. EFIN digunakan untuk mendaftarkan akun anda pada www.djponline.pajak.go.id. Tata cara pengajuan EFIN sebagai berikut:
  1. Permohonan dilakukan dengan mendatangi langsung KPP/KP2KP terdekat oleh wajib pajak sendiri dan tidak dapat dikuasakan kepada pihak lain .
  2. WP mengisi, menandatangani, dan menyampaikan Formulir Permohonan Aktivasi EFIN.
  3. Menunjukkan asli dan menyerahkan fotokopi:
·         KTP (bagi WNI) atau Paspor dan KITAS/KITAP (bagi WNA).
·         NPWP atau Surat Keterangan Terdaftar (SKT).
Kantor Pelayanan Pajak akan memberikan EFIN paling lambat dalam 1 (satu) hari kerja.
Masa berlakunya e-FIN paling lama adalah 30 (tiga puluh) hari sejak diterbitkan. Apabila wajib pajak tidak mendaftarkan diri sampai batas waktu yang ditentukan atau EFIN hilang sebelum wajib pajak mendaftarkan diri, wajib pajak dapat mengajukan kembali permohonan EFIN. Permintaan EFIN ini hanya dilakukan 1 (satu) kali saja. Tahun-tahun selanjutnya tidak perlu lagi.
                Masalahnya, jika anda lupa menyimpan surat pemberitahuan EFIN dan lupa pula mencatat nomornya, apa yang harus dilakukan? Anda tidak perlu khawatir. Ada bisa memilih beberapa solusi sebagai berikut:
1.       Cek inbox email anda, search “EFIN”
2.       Telepon ke Kring Pajak 1500200, siapkan nomor NPWP dan konfirmasikan  data diri anda
3.       Datang ke KPP terdekat untuk meminta cetak ulang EFIN, tunjukkan fotokopi KTP dan NPWP
4.       Kunjungi website www.pajak.go.id/djp-buka-layanan-lupa-EFIN-pembuatan-kode-billing-dan-kode-verifikasi-twitter-dan-live-chat. Anda bisa melakukan chatting dengan cara klik logo “Chat Pajak”. Siapkan data pendukung berupa :
·         Nama Lengkap
·         NPWP
·         Alamat terdaftar saat registrasi EFIN
·         Alamat email dan ponsel yang digunakan saat mendaftar EFIN
·         Tahun pajak SPT terakhir
5.       Jika anda memiliki akun twitter, mention akun twitter Ditejen Pajak dengan alamat @kring_pajak. Siapkan data pendukung sebagaimana pada angka 4.
                Setelah anda mendapatkan EFIN, daftarkan akun efiling anda pada laman www.djponline.pajak.go.id dengan memasukkan nomor EFIN tersebut. Setelah berhasil, silahkan login dengan password yang anda buat pada saat pendaftaran akun. 
                Sebelum mengisi eSPT, perlu anda ketahui bahwa terdapat 3 (tiga) jenis formulir untuk melaporkan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi. Formulir tersebut adalah:
Formulir 1770
Formulir 1770 adalah bentuk Formulir Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi bagi Wajib Pajak yang mempunyai penghasilan:
a.       dari usaha/pekerjaan bebas yang menyelenggarakan pembukuan atau Norma Penghitungan Penghasilan Neto;
b.      dari satu atau lebih pemberi kerja;
c.       yang dikenakan Pajak Penghasilan Final dan atau bersifat Final; dan/atau
d.      penghasilan lain,

Formulir 1770 S
Formulir 1770 S adalah bentuk Formulir SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi Sederhana bagi wajib pajak yang mempunyai penghasilan:
a.       dari satu atau lebih pemberi kerja;
b.      dari dalam negeri lainnya; dan/atau
c.       yang dikenakan Pajak Penghasilan final dan/atau bersifat final,

Formulir 1770 SS
Formulir 1770 SS adalah bentuk Formulir SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi Sangat Sederhana bagi wajib pajak yang mempunyai penghasilan hanya dari satu pemberi kerja dengan jumlah penghasilan bruto dari pekerjaan tidak lebih dari Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) setahun dan tidak mempunyai penghasilan lain kecuali penghasilan berupa bunga bank dan/atau bunga koperasi.
Sekarang anda sudah siap mengisi SPT Tahunan Orang Pribadi. Caranya sebagai berikut:
  1. Siapkan bukti potong formulir 1721 A1, yaitu bukti pemotongan PPh Pasal 21 oleh pemberi kerja, dan bukti potong PPh 21 Final jika ada. (misalnya penjualan tanah/bangunan, bunga deposito, bukti potong dividen, dll)
  2. Siapkan daftar harta, daftar hutang, dan Kartu Keluarga.
  3. Isi  e-SPT pada aplikasi e-Filing. Lakukan langkah-langkah sesuai panduan pada efiling.
  4. Jika semua formulir sudah diisi dengan lengkap, mintalah kode verifikasi untuk pengiriman EFIN.  Kode verifikasi  akan dikirim melalui email  yang sudah didaftarkan.
  5. Kirim SPT secara online dengan mengisikan kode verifikasi
  6. Notifikasi status e-SPT dan Bukti Penerimaan Elektronik akan diberikan kepada wajib pajak melalui email  yang sudah didaftarkan.
Jika semua data lengkap dan koneksi internet anda bagus, input efiling sampai dengan selesai memakan waktu tidak sampai dua menit. Anda bisa melakukannya sambil ngopi di kafe, mengisi waktu luang di kendaraan umum, atau sambil  bersantai dirumah.
Sekarang anda telah selesai melaporkan SPT Tahunan Orang Pribadi via efiling.
Mudah sekali bukan? (*)