24 November 2019
Akhirnya selesai juga baca buku setebal 464 halaman ini.
Diterbitkan tahun 2007 bertajuk TAKDIR, Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855), ditulis oleh Peter Carey, seorang Sejarawan asal Inggris yang telah lebih dari 40 tahun melakukan penelitian tentang Perang Jawa atau Perang Diponegoro.
Buku ini menjawab pertanyaan saya selama ini, mengapa Diponegoro berperang dengan pakaian kebesaran baju koko tanpa kerah, jubah dan surban putih khas ulama Timur Tengah? Mengapa tidak memakai kain jarik, surjan dan blangkon sebagai penutup kepala? Bukankah beliau berdarah biru, putra sulung dari Sultan Hamengkubuwono III yang pastinya sangat menjunjung tinggi budaya Jawa?
Diponegoro memang ulama yang kharismatik di jamannya. Meskipun beliau biasa memakai jubah dilengkapi kain selempang di bahu kanan dan keris pusaka terselip di pinggang, tetapi beliau juga memakai busana keraton Jawa berupa surjan dan blangkon di kesempatan yang lain.
Pemahaman Diponegoro tentang Islam tercermin dalam otobiografi yang ditulisnya sendiri sewaktu mengalami pengasingan di Makassar. Beliau banyak mengutip ayat-ayat Alquran dalam setiap tulisan berjudul “Serat Babad Diponegaran” tersebut. Babad ini menekankan bahwa manusia harus menolak mempersekutukan Allah dengan segala makhluk, termasuk diri sendiri. Pangeran Diponegoro berusaha menyelaraskan dunia klenik/mistik Jawa yang masih sangat kental, dengan komitmennya pada ajaran Islam.
Kecintaannya pada tanah air, membangkitkan jiwa patriotik pemuda asal Tegalrejo yang aslinya bernama Raden Mas Ontowiryo ini. Didukung oleh Kyai Mojo, sahabat sekaligus asistennya selama Perang Jawa, penjajah Belanda mendeskripsikan Diponegoro sebagai pejuang yang gagah berani dan tak kenal takut.
Ketika akhir-akhir ini banyak pihak yang berusaha membenturkankan busana keagamaan dengan pakaian tradisional, serta mengaitkannya dengan rasa nasionalisme seseorang, maka saya sarankan untuk membaca buku ini.
Seseorang yang berpakaian menurut tuntunan agama yang diyakininya, tidak mendistorsi kesetiaan dan baktinya pada masyarakat dan bangsa, serta tetap menghargai budaya/tradisi.
Gak percaya? Diponegoro contohnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar