Minggu, 25 Februari 2024

Pindang Baung Benteng Kuto Besak

Vivin namanya. Undangan mengajar ke Palembang mempertemukan saya kembali dengan perempuan berkulit putih dan bermata sipit ini. Kami pernah menjadi rekan kerja di kawasan Kalibata-Jakarta, sebelum ia pindah ke kampung halaman mengikuti suami. 

Sebagaimana perempuan Palembang pada umumnya, adik kelas yang satu ini mempunyai keberanian diatas rata-rata. Saya yang "merasa" sebagai perempuan pemberani karena biasa pergi kemana-mana sendiri, ternyata masih kalah berani dengannya.

Betapa tidak, tukang parkir bermuka sangar menghadang kami malam itu. Dia memaksa kami parkir di tempat gelap yang ditunjuknya, dengan tarif yang kami tak tau berapa. Ibu dari 2 balita ini tetap tenang menginjak pedal gas  meski si abang persis berada di depan hidung Xenia-nya. Alhasil si abang parkir terpaksa lompat minggir. Masih punya rasa takut ketabrak rupanya. Deg-degan lah saya dibuatnya. Dua meter kemudian, terulang kejadian yang sama. Tiga kali kami dihadang tukang parkir. 

Selepas menraktir saya pempek dan es kacang merah, Vivin membawa saya ke Benteng Kuto Besak. Saya membaca nama itu di papan nama besar saat mobil berbelok menuju lokasi parkir. Padahal sebelum berangkat saya minta diantar ke Jembatan Ampera, bukan ke benteng. Belum sah rasanya berkunjung ke kota ini tanpa berfoto dengan  jembatan legendaris yang menghubungkan Palembang Ulu dan Ilir itu.

Belum sempat protes, ibu muda ini berkata, "coba tengok ke kiri buk." Ahaay, rupanya saya sudah berada di sisi Jembatan Ampera yang gagah menjulang. Ia menopang berbagai kendaraan yang berseliweran diatasnya dan kolongnya dilalui oleh kapal beraneka ukuran. Sorot lampu menambah keindahan jembatan sepanjang 1,117 km itu. Lebarnya 22 meter, jadi jarang macet lah ya.

Dulu, bagian tengah jembatan bisa dibuka-tutup untuk memberi jalan kepada kapal-kapal berukuran besar. Namun sejak tahun 1970 hal ini tidak dilakukan lagi karena pertimbangan keselamatan. Puncak tower penyangga jembatan difungsikan sebagai restoran mini dimana pengunjung bisa menikmati keindahan kota dari ketinggian. Tersedia lift untuk naik kesana.

Saya menengok ke kanan, membentang Benteng Kuto Besak yang namanya saya baca di papan nama tadi. Bangunan berukuran 288,75 x 183,75 meter ini dulu adalah pusat Kesultanan Palembang. Ide pembuatan benteng diparakarsai oleh Sultan Mahmud Badaruddin I (1724-1758), namun pembangunan dilaksanakan oleh Sultan Mahmud Bahauddin (1776-1803). Perekat bangunan menggunakan batu kapur ditambah dengan putih telur. Teknologi belum semaju sekarang, pembangunan benteng diselesaikan dalam waktu yang cukup lama, 17 tahun.


Sisa Jetlag masih belum sepenuhnya hilang. Badan minta hak untuk diistirahatkan. Setelah berfoto dan berkeliling sebentar kami memutuskan pulang ke penginapan. Esok hari masih ada kegiatan belajar-mengajar yang membutuhkan stamina dan konsentrasi yang baik. 

Sebenarnya saya masih penasaran dengan Sungai Musi. Saya tidak dapat menikmati keindahan sungai di kegelapan malam kemarin. Setelah menuntaskan kegiatan pada hari kedua,  kami berdua kembali kesana. Masih dihadang lagi oleh abang parkir yang sama. Dan Vivin menginjak pedal gasnya lebih keras lagi. Puas rasanya melihat ekspresi abang parkir melihat duo emak yang gak ada takut-takutnya. ha..ha..

Setelah melewati lapak para pedagang di sepanjang sisi dermaga, kami menjumpai beberapa kapal kayu yang difungsikan sebagai warung apung. Menu andalan khas Palembang seperti pempek, model, kapal selam, tekwan, dan pindang disajikan disini. Sepertinya seru juga sensasi makan diatas perahu, meskipun tertambat.

Seorang bapak tua duduk di dermaga menyambut kami sore itu. "Ayo Ayuk, naik perahu. Lima puluh ribu saja," ajaknya. Hari sudah petang, mungkin si bapak masih ingin mengumpulkan rupiah untuk dibawa pulang. Tanpa berpikir panjang saya mengiyakan. Jadilah kami berdua menyusuri tepian Sungai Musi yang arusnya cukup deras. Angin bertiup kencang, agak ciut juga nyali saya. Apalagi kondisi mulai temaram. Dulu almarhumah ibu selalu menghardik saya jika masih berkeliaran di luar rumah saat maghrib menjelang. Banyak sawan, katanya. Ahh saya berdzikir dalam hati, meminta keselamatan kepada Sang pemberi kehidupan.

Sesekali si Bapak mengarahkan kami untuk mengambil foto di spot-spot yang instagramable. Rupanya beliau sudah berpengalaman membawa penumpang ibu-ibu narsis semacam kami. Selain kapal kayu yang kami tumpangi, ternyata ada juga speedboat berkecepatan tinggi yang membawa para pelancong. Nyalinya besar juga.

Seumur-umur baru kali ini saya melihat secara langsung kapal-kapal besar pengangkut batubara. Kapal berukuran beberapa kali lipat rumah saya itu hilir mudik di sungai yang kedalamannya mencapai 165 meter. Hmm..membayangkan kedalamannya membuat saya bergidik ngeri. Sungai sepanjang 750 km ini memang menjadi sarana transportasi utama di wilayah ini. Berbagai bahan kebutuhan pokok dan hasil bumi diangkut menggunakan perahu berbagai berukuran.

Konon, nama Sungai Musi berasal dari Bahasa Cina: Mu Ci, yang artinya ayam betina. Para pelaut Cina memberi nama itu karena tanah di sekitar sungai ini subur dan penduduknya dikenal baik. Nama ayam betina dipilih karena memberi keuntungan kepada manusia (banyak telurnya).

Adzan maghrib telah berkumandang. Mentari tergelincir membelah siluet patung ikan belida yang menjadi salah satu maskot kota Palembang. Bapak nakhoda mengarahkan perahu kami ke dermaga salah satu resto. Kami memutuskan makan malam di situ sambil menumpang sholat maghrib. 

Saya memilih menu pindang ikan Baung, karena ikan patin sudah sering saya jumpai di Jakarta. Ternyata rasanya beda tipis, cuma dagingnya agak lebih padat dibanding patin. Paduan rasa asin, manis, asem, dan sedikit pedas menghilangkan "bau tanah" yang sering kita rasakan ketika menikmati ikan air tawar. 

Ikan baung hidup di perairan tawar yang tenang seperti waduk dan rawa. Dibanding ikan patin, ukuran badan ikan baung lebih pendek, kepala lebih besar, dan siripnya lebih tumpul. Ia berjenis omnivora (pemakan segala), sehingga umpan yang digunakan untuk memancing ikan ini beragam, bisa hewan maupun tumbuhan. Kemajuan teknologi perikanan telah berhasil membudidayakan ikan baung di berbagai lingkungan dengan sistem monokultur (ikan sejenis) maupun polikultur (bersama jenis ikan yang lain).


Perut kenyang, kantukpun menyerang. Resep pindang ikan baung sudah saya catat. Insyaallah kapan-kapan akan saya masak untuk keluarga. Menu ini cocok untuk saya yang mendekati usia kepala 5, karena kaya kandungan lemak baik, omega-3, protein, dan vitamin B12. Yang pasti, proses memasaknya cepat dan mudah, semua bahan tinggal di-cemplungin. Cocok untuk pemalas seperti saya.

Palembang, 22 Februari 2024


Tidak ada komentar:

Posting Komentar