Selasa, 18 Februari 2025

Memajaki Para Pemanggang Bumi

 Tulisan ini telah dimuat pada Majalah Indonesian Tax Review Edisi 08/2025.












 























































































































































































Sepanjang bulan Oktober tahun 2024 lalu, suhu udara di wilayah Indonesia terasa lebih panas dari biasanya. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mencatat rekor tertinggi suhu maksimum harian sebesar 38,4 derajat celcius di Larantuka, Flores Timur, pada tanggal 27 Oktober 2024. Suhu di Surabaya mencapai 37,8 derajat celsius, sedangkan Maumere sebesar 37,7 derajat celsius. Gerak semu matahari dan aktivitas Siklon Tropis Kong-Rey Samudra Pasifik ditengarai menjadi penyebabnya. Suhu mulai menurun seiring datangnya hujan pada awal November.

Tak hanya meningkat dalam jangka pendek, pemanasan global telah menjadi isu penting dalam beberapa dekade ini. Pada tanggal 11 November 2024 World Meteorological Organization (WMO) merilis laporan State of Climate 2024. Melalui laporan tersebut, badan yang berkantor di Genewa, Swiss ini menyatakan bahwa suhu udara permukaan rata-rata global sepanjang 2024 lebih panas 1,54 derajat celcius dibandingkan pra-Revolusi Industri tahun 1850-1990. Kondisi seperti ini merupakan alarm tanda bahaya bahwa bumi semakin tidak baik-baik saja.

Atmosfer bumi makin tebal karena konsentrasi gas rumah kaca yang semakin tinggi. Akibatnya, kemampuan atmosfer untuk memantulkan radiasi matahari berkurang sehingga gas rumah kaca terjebak di dalam lapisan atmosfer dan menaikkan suhu udara di bumi. Efek peningkatan suhu bumi menaikkan permukaan air laut, banjir, badai, perubahan iklim, penyakit pernapasan, serta berbagai dampak negatif lainnya.

United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), lembaga PBB yang menangani perubahan iklim, telah menetapkan 6 jenis gas rumah kaca yang memicu pemanasan global. Adapun keenam jenis gas yang dimaksud tersebut adalah: Karbondioksida (CO2), Metana (CH4), Nitrogen Oksida (NOx), Chlorofluorocarbon (CFC), Perfluorocarbons (PFCs), dan Sulfur Hexafluoride (SF6).

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) melakukan pengukuran gas rumah kaca secara konsisten sejak 20 tahun silam. Stasiun Global Atmosphere Watch (GAW) dipasang di Bukit Kototabang, Sumatera Barat, yang mengukur konsentrasi gas rumah kaca dengan menggunakan Analizer Picarro G2401 dan Air Kit Flask Sampling. Sampel tersebut selanjutnya dilakukan analisis lanjutan di laboratorium National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) yang berpusat di Washington DC, Amerika Serikat. Berdasarkan pengukuran tersebut, konsentrasi gas rumah kaca dari tahun 2004 – 2024 menunjukkan peningkatan secara konsisten. Perhatikan diagram dibawah ini

Salah satu upaya pemerintah dalam mengatasi perubahan iklim adalah penerapan skema cap and trade. Dimana skema ini menetapkan ambang batas emisi gas rumah kaca yang boleh dikeluarkan oleh perusahaan, dan mengijinkan perusahaan untuk membeli kelebihan kuota emisi dari perusahaan lain yang belum mencapai kuota. Jual beli unit karbon ini diharapkan dapat merangsang perusahaan untuk mengalihkan basis energi operasional perusahaan dari sumber energi fosil menjadi energi terbarukan. Selain itu, perputaran uang dalam pasar ini dapat menjadi peluang investasi dan pendanaan untuk industri hijau.

Bursa Karbon Indonesia (IDX Carbon) yang diresmikan oleh Presiden Joko Widodo tanggal 26 September 2023 di Gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta. Izin usaha Penyelenggara Bursa Karbon telah diberikan kepada BEI oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melalui Surat Keputusan Nomor KEP-77/D.04/2023 pada 18 September 2023. Perdagangan perdana dilakukan oleh PT Pertamina Geothermal Energy Tbk. (PEGO) yang menjual 459.953 ton unit karbon kepada Bank BCA, CIMB, Mandiri, DBS, dll. Dengan nilai transaksi  mencapai Rp29,2 miliar.

Sementara, alternatif lain penanggulangan kerusakan lingkungan adalah melalui penerapan pajak, yaitu cap and tax. Skema ini  menetapkan batas emisi, kemudian mengenakan pajak kepada perusahaan yang melebihi batas tersebut. Tujuan utama pengenaan pajak karbon ini bukan untuk menambah penerimaan negara, tetapi merubah perilaku ekonomi dengan beralih dari sumber energi berbasis fosil menjadi energi terbarukan. Menurut laporan State and Trends of Carbon Pricing 2022 yang diterbitkan oleh Bank Dunia, negara yang menerapkan pajak karbon sejumlah 37 negara.

Finlandia adalah negara pertama yang mengutip pajak karbon pada tahun 1990.  Tarif pajak karbon Finlandia saat ini sebesar $68 per ton emisi karbon, yang dikenakan terhadap sektor industri, transportasi dan bangunan. Swedia menyusul pada tahun 1991. Tarif pajak karbon sebesar $119 per ton emisi karbon, dan dikenakan terhadap emisi CO2 dari sektor transportasi dan bangunan. Swedia memegang rekor tarif pajak karbon tertinggi di Eropa.

Penerapan pajak karbon di kawasan Asia Tenggara telah dimulai oleh Singapura pada tahun 2019. Pada tahun 2024 ini, tarif pajak karbon Singapura mencapai $25 per ton emisi karbon. Malaysia berencana memungut pajak karbon atas sektor industri besi, baja dan energi pada tahun 2026. Rencana ini juga telah dinyatakan oleh Brunei Darussalam, Vietnam, dan Thailand.

Bagaimana dengan Indonesia? Pemerintah bersama DPR menunjukkan keberpihakannya dalam penanggulangan pemanasan global melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan yang disahkan pada tanggal 7 Oktober 2021. Subjek pajaknya adalah orang pribadi atau badan yang membeli barang mengandung karbon dan/atau melakukan aktivitas yang menghasilkan emisi karbon yang berdampak negatif kepada lingkungan hidup. Emisi karbon yang dimaksud adalah karbon dioksida ekuivalen (CO2e), yang antara lain terdiri dari: CO2, NsO, dan CH4.

Pengenaan pajak karbon akan dilakukan secara bertahap dengan memperhatikan road-map (peta jalan) pajak karbon dan pasar karbon. Awalnya, pajak karbon direncanakan berlaku mulai tanggal 1 April 2022. Selanjutnya, penentuan mekanisme cap and tax untuk sektor pembangkit listrik terbatas pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara dirumuskan pada tahun 2022 – 2024. Sedangkan pada tahun 2025 dan selanjutnya, diimplementasikan perdagangan karbon secara penuh serta perluasan sektor yang dipajaki.

UU HPP mengatur tarif pajak karbon sebagai berikut:

a.   ditetapkan lebih tinggi atau sama dengan harga pasar karbon di pasar karbon per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e),

b.  dalam hal harga karbon di pasar karbon lebih rendah dari Rp30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) maka tarif pajak karbon ditetapkan paling rendah Rp30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara.

Apabila ditinjau dari sisi peraturan, UU HPP masih memerlukan petunjuk pelaksanaan yang menjelaskan norma tersebut. UU HPP belum secara spesifik memberikan definisi yang jelas mengenai pajak karbon. Pajak karbon hanya dikenakan terhadap kegiatan yang menghasilkan emisi karbon. Belum ada formula pajak karbon serta kapan dikenakan, apakah akhir kegiatan yang menghasilkan emisi karbon, atau sepanjang kegiatan dilaksanakan, dari awal sampai akhir.

Sampai saat ini, implementasi pajak karbon masih terus ditunda sampai dengan batas waktu yang belum ditentukan. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan bahwa penerapan pajak karbon masih dalam proses, karena masih ada regulasi dan skema perhitungan yang harus dilengkapi. Pernyataan ini disampaikan di Istana Negara pada Selasa, 26/09/2023.

Otoritas Jasa Keuangan melalui Direktur Pengawasan Lufaldy Ernanda menyatakan bahwa pajak karbon seharusnya lebih tinggi dari dari harga di bursa. Harga di bursa karbon berfluktuasi mengikuti mekanisme pasar, sedangkan saat ini belum ada ketentuan yang mengatur tarif pajak yang fluktuatif. Inflasi, kestabilan ekonomi, merupakan efek lain yang harus dipertimbangkan sebelum penerapan pajak ini. "Nah itu sih menurut saya memang tidak  mudah, tapi saya yakin teman-teman di Kemenkeu sudah melakukan banyak kajian. Dan koordinasi kita terus tetap melakukan,” tegasnya. Pernyataan ini disampaikan pada kegiatan Energy Corner CNBC Indonesia, Selasa (26/3/2024).

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memberikan pernyataan bahwa jajaran Kementerian Keuangan masih melakukan rangkaian kajian terkait hal ini. “Kami siapkan terus building-block-nya, dari sisi peraturan dan regulasinya,” jelasnya disela acara Indonesia Net Zero Summit (INZS) di Jakarta, Sabtu (24/8/2024). Ia juga menjelaskan pentingnya persiapan dari sisi perekonomian dan industri.

Pergantian pemimpin negara merupakan momentum yang tepat untuk merealisasikan amanat UU HPP ini. Wakil presiden terpilih telah menyampaikan komitmennya tentang pajak karbon pada debat Pilpres ke-4, tanggal 21 Januari 2024 lalu. "Jika kita bicara karbon tentunya kita harus menyinggung juga masalah pajak karbon, carbon storage dan juga carbon capture," ujarnya. Mari kita tunggu realisasinya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar