Nyaris tengah malam, tanggal 19 April 2019. Roda Boeing 737-800NG menyentuh landas pacu bandara Kualanamu. Pertama kali dalam hidup saya menjejakkan kaki di tanah kelahiran Sisingamangaraja XII, raja Batak yang dinobatkan sebagai pahlawan nasional atas jasanya melawan penjajah Belanda.
Bandara ini beroperasi sejak 25 Juli 2013, dikelola oleh PT Angkasa Pura Aviasi, perusahaan joint venture antara PT Angkasa Pura II dengan GMR Airports Consortium. Sebelumnya, penerbangan sipil berada di bandara Polonia, yang beroperasi dari tahun 1924 - 2013. Nama Polonia diberikan oleh pendiri bandara ini, seorang warga negara Polandia bernama Michalski. Michalski mendapatkan konsesi dari pemerintah Belanda untuk membuka lahan pertanian baru di daerah itu.
Kualanamu berada di Deli Serdang, berjarak 23 kilometer arah timur kota Medan. Menteri perhubungan saat itu, Ir Azwar Anas, berinisiatif memindahkan bandara Polonia yang berada di pusat kota, ke luar kota demi keselamatan penerbangan. Kualanamu dinobatkan sebagai bandara internasional, yang diharapkan dapat menjadi pangkalan transit untuk kawasan Sumatera dan sekitarnya. Kualanamu mampu menampung 8,1 juta penumpang dan 10.000 pergerakan pesawat per tahun.
Selepas isya di hari pertama, seorang sahabat menjemput saya di penginapan. Sahabat ini adalah tetangga di rumah, tapi sudah dua tahun ini promosi jabatan ke Medan. Dua pekan sekali ia pulang menengok suami dan anaknya di Tangerang.
Taksi online mengantarkan kami ke sebuah pusat kuliner di sisi Lapangan Merdeka. Venue tersebut kemudian direvitalisasi pada bulan Juni 2022, dikembalikan ke fungsi asalnya sebagai paru-paru kota.
Abang sopir menurunkan kami di pertigaan jalan. Anehnya, beliau minggir ke kanan, dan mempersilahkan kami turun di sana. Si kawan tertawa lebar melihat ekspresi kebingungan saya. "Sudah biasa disini. Peraturan lalu-lintas jarang berlaku," katanya.
Kami duduk di pojok, diantara muda-mudi yang asyik bercengkerama. Nasi capcay kuah menghalau rasa lapar yang saya tahan dari semenjak maghrib. Porsi dan rasa gurihnya pas, sehingga saya habiskan sampai tandas.
Malam masih panjang. Kami berbincang tentang suka duka mutasi/promosi ke luar kota, makanan khas, sampai seni bercakap dengan masyarakat Medan, "apanya tolong diapakan itu supaya tidak kenapa ya.." Hmm. Menarik...
Saya memesan Kopi Sanger, minuman khas Aceh yang terdiri dari kopi hitam, gula, dan susu kental manis. Teknik mengocok kopi dengan dua gelas untuk menciptakan busa, adalah ciri utamanya. Pahit, manis, dan gurih berpadu, menemani obrolan kami sambil menikmati suara klakson mobil dan motor bersautan. Pada awalnya cukup mengganggu, lama-lama jadi terbiasa.
Kembali ke soal mutasi. Meski menjadi sebuah keniscayaan, pindah keluar home base adalah momok yang ditakuti sebagian pegawai perempuan seperti saya. Keinginan untuk maju dalam karir, sering berseberangan dengan rasa bersalah karena harus meninggalkan keluarga.
Setiap perempuan memiliki kondisi dan medan juang yang berbeda. Tidak bisa dipukul rata dan dipersamakan. Perempuan yang berkarya di ruang publik, tidak harus abai terhadap tanggungjawab berbakti kepada suami dan mendidik anak. Saya yakin, setiap perempuan telah melalui pertimbangan yang matang, dan dukungan dari keluarga yang menguatkannya.
Malam makin larut. Besok masih hari kerja, bukan hari libur. Sahabat saya harus ngantor seperti biasa, dan besok saya juga ada agenda mengajar seharian. Kami berpisah menuju kost dan penginapan masing2. Terselip doa tulus untuk si sahabat, semoga dimudahkan semua urusannya, dan disegerakan mutasi kembali ke homebase, membersamai keluarga kecilnya.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar