Selasa, 18 Februari 2025

Memajaki Para Pemanggang Bumi

 Tulisan ini telah dimuat pada Majalah Indonesian Tax Review Edisi 08/2025.












 























































































































































































Sepanjang bulan Oktober tahun 2024 lalu, suhu udara di wilayah Indonesia terasa lebih panas dari biasanya. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mencatat rekor tertinggi suhu maksimum harian sebesar 38,4 derajat celcius di Larantuka, Flores Timur, pada tanggal 27 Oktober 2024. Suhu di Surabaya mencapai 37,8 derajat celsius, sedangkan Maumere sebesar 37,7 derajat celsius. Gerak semu matahari dan aktivitas Siklon Tropis Kong-Rey Samudra Pasifik ditengarai menjadi penyebabnya. Suhu mulai menurun seiring datangnya hujan pada awal November.

Tak hanya meningkat dalam jangka pendek, pemanasan global telah menjadi isu penting dalam beberapa dekade ini. Pada tanggal 11 November 2024 World Meteorological Organization (WMO) merilis laporan State of Climate 2024. Melalui laporan tersebut, badan yang berkantor di Genewa, Swiss ini menyatakan bahwa suhu udara permukaan rata-rata global sepanjang 2024 lebih panas 1,54 derajat celcius dibandingkan pra-Revolusi Industri tahun 1850-1990. Kondisi seperti ini merupakan alarm tanda bahaya bahwa bumi semakin tidak baik-baik saja.

Atmosfer bumi makin tebal karena konsentrasi gas rumah kaca yang semakin tinggi. Akibatnya, kemampuan atmosfer untuk memantulkan radiasi matahari berkurang sehingga gas rumah kaca terjebak di dalam lapisan atmosfer dan menaikkan suhu udara di bumi. Efek peningkatan suhu bumi menaikkan permukaan air laut, banjir, badai, perubahan iklim, penyakit pernapasan, serta berbagai dampak negatif lainnya.

United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), lembaga PBB yang menangani perubahan iklim, telah menetapkan 6 jenis gas rumah kaca yang memicu pemanasan global. Adapun keenam jenis gas yang dimaksud tersebut adalah: Karbondioksida (CO2), Metana (CH4), Nitrogen Oksida (NOx), Chlorofluorocarbon (CFC), Perfluorocarbons (PFCs), dan Sulfur Hexafluoride (SF6).

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) melakukan pengukuran gas rumah kaca secara konsisten sejak 20 tahun silam. Stasiun Global Atmosphere Watch (GAW) dipasang di Bukit Kototabang, Sumatera Barat, yang mengukur konsentrasi gas rumah kaca dengan menggunakan Analizer Picarro G2401 dan Air Kit Flask Sampling. Sampel tersebut selanjutnya dilakukan analisis lanjutan di laboratorium National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) yang berpusat di Washington DC, Amerika Serikat. Berdasarkan pengukuran tersebut, konsentrasi gas rumah kaca dari tahun 2004 – 2024 menunjukkan peningkatan secara konsisten. Perhatikan diagram dibawah ini

Salah satu upaya pemerintah dalam mengatasi perubahan iklim adalah penerapan skema cap and trade. Dimana skema ini menetapkan ambang batas emisi gas rumah kaca yang boleh dikeluarkan oleh perusahaan, dan mengijinkan perusahaan untuk membeli kelebihan kuota emisi dari perusahaan lain yang belum mencapai kuota. Jual beli unit karbon ini diharapkan dapat merangsang perusahaan untuk mengalihkan basis energi operasional perusahaan dari sumber energi fosil menjadi energi terbarukan. Selain itu, perputaran uang dalam pasar ini dapat menjadi peluang investasi dan pendanaan untuk industri hijau.

Bursa Karbon Indonesia (IDX Carbon) yang diresmikan oleh Presiden Joko Widodo tanggal 26 September 2023 di Gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta. Izin usaha Penyelenggara Bursa Karbon telah diberikan kepada BEI oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melalui Surat Keputusan Nomor KEP-77/D.04/2023 pada 18 September 2023. Perdagangan perdana dilakukan oleh PT Pertamina Geothermal Energy Tbk. (PEGO) yang menjual 459.953 ton unit karbon kepada Bank BCA, CIMB, Mandiri, DBS, dll. Dengan nilai transaksi  mencapai Rp29,2 miliar.

Sementara, alternatif lain penanggulangan kerusakan lingkungan adalah melalui penerapan pajak, yaitu cap and tax. Skema ini  menetapkan batas emisi, kemudian mengenakan pajak kepada perusahaan yang melebihi batas tersebut. Tujuan utama pengenaan pajak karbon ini bukan untuk menambah penerimaan negara, tetapi merubah perilaku ekonomi dengan beralih dari sumber energi berbasis fosil menjadi energi terbarukan. Menurut laporan State and Trends of Carbon Pricing 2022 yang diterbitkan oleh Bank Dunia, negara yang menerapkan pajak karbon sejumlah 37 negara.

Finlandia adalah negara pertama yang mengutip pajak karbon pada tahun 1990.  Tarif pajak karbon Finlandia saat ini sebesar $68 per ton emisi karbon, yang dikenakan terhadap sektor industri, transportasi dan bangunan. Swedia menyusul pada tahun 1991. Tarif pajak karbon sebesar $119 per ton emisi karbon, dan dikenakan terhadap emisi CO2 dari sektor transportasi dan bangunan. Swedia memegang rekor tarif pajak karbon tertinggi di Eropa.

Penerapan pajak karbon di kawasan Asia Tenggara telah dimulai oleh Singapura pada tahun 2019. Pada tahun 2024 ini, tarif pajak karbon Singapura mencapai $25 per ton emisi karbon. Malaysia berencana memungut pajak karbon atas sektor industri besi, baja dan energi pada tahun 2026. Rencana ini juga telah dinyatakan oleh Brunei Darussalam, Vietnam, dan Thailand.

Bagaimana dengan Indonesia? Pemerintah bersama DPR menunjukkan keberpihakannya dalam penanggulangan pemanasan global melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan yang disahkan pada tanggal 7 Oktober 2021. Subjek pajaknya adalah orang pribadi atau badan yang membeli barang mengandung karbon dan/atau melakukan aktivitas yang menghasilkan emisi karbon yang berdampak negatif kepada lingkungan hidup. Emisi karbon yang dimaksud adalah karbon dioksida ekuivalen (CO2e), yang antara lain terdiri dari: CO2, NsO, dan CH4.

Pengenaan pajak karbon akan dilakukan secara bertahap dengan memperhatikan road-map (peta jalan) pajak karbon dan pasar karbon. Awalnya, pajak karbon direncanakan berlaku mulai tanggal 1 April 2022. Selanjutnya, penentuan mekanisme cap and tax untuk sektor pembangkit listrik terbatas pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara dirumuskan pada tahun 2022 – 2024. Sedangkan pada tahun 2025 dan selanjutnya, diimplementasikan perdagangan karbon secara penuh serta perluasan sektor yang dipajaki.

UU HPP mengatur tarif pajak karbon sebagai berikut:

a.   ditetapkan lebih tinggi atau sama dengan harga pasar karbon di pasar karbon per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e),

b.  dalam hal harga karbon di pasar karbon lebih rendah dari Rp30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) maka tarif pajak karbon ditetapkan paling rendah Rp30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara.

Apabila ditinjau dari sisi peraturan, UU HPP masih memerlukan petunjuk pelaksanaan yang menjelaskan norma tersebut. UU HPP belum secara spesifik memberikan definisi yang jelas mengenai pajak karbon. Pajak karbon hanya dikenakan terhadap kegiatan yang menghasilkan emisi karbon. Belum ada formula pajak karbon serta kapan dikenakan, apakah akhir kegiatan yang menghasilkan emisi karbon, atau sepanjang kegiatan dilaksanakan, dari awal sampai akhir.

Sampai saat ini, implementasi pajak karbon masih terus ditunda sampai dengan batas waktu yang belum ditentukan. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan bahwa penerapan pajak karbon masih dalam proses, karena masih ada regulasi dan skema perhitungan yang harus dilengkapi. Pernyataan ini disampaikan di Istana Negara pada Selasa, 26/09/2023.

Otoritas Jasa Keuangan melalui Direktur Pengawasan Lufaldy Ernanda menyatakan bahwa pajak karbon seharusnya lebih tinggi dari dari harga di bursa. Harga di bursa karbon berfluktuasi mengikuti mekanisme pasar, sedangkan saat ini belum ada ketentuan yang mengatur tarif pajak yang fluktuatif. Inflasi, kestabilan ekonomi, merupakan efek lain yang harus dipertimbangkan sebelum penerapan pajak ini. "Nah itu sih menurut saya memang tidak  mudah, tapi saya yakin teman-teman di Kemenkeu sudah melakukan banyak kajian. Dan koordinasi kita terus tetap melakukan,” tegasnya. Pernyataan ini disampaikan pada kegiatan Energy Corner CNBC Indonesia, Selasa (26/3/2024).

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memberikan pernyataan bahwa jajaran Kementerian Keuangan masih melakukan rangkaian kajian terkait hal ini. “Kami siapkan terus building-block-nya, dari sisi peraturan dan regulasinya,” jelasnya disela acara Indonesia Net Zero Summit (INZS) di Jakarta, Sabtu (24/8/2024). Ia juga menjelaskan pentingnya persiapan dari sisi perekonomian dan industri.

Pergantian pemimpin negara merupakan momentum yang tepat untuk merealisasikan amanat UU HPP ini. Wakil presiden terpilih telah menyampaikan komitmennya tentang pajak karbon pada debat Pilpres ke-4, tanggal 21 Januari 2024 lalu. "Jika kita bicara karbon tentunya kita harus menyinggung juga masalah pajak karbon, carbon storage dan juga carbon capture," ujarnya. Mari kita tunggu realisasinya.


Jumat, 03 Mei 2024

Patuh Lapor, Patuh Setor

 Tulisan ini telah dimuat pada Majalah INTAX, Edisi II Tahun 2024







Hajatan SPT Tahunan

Bulan Maret-April adalah puncak masa “hajatan” tahunan bagi Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Imbauan selalu digaungkan oleh DJP, agar wajib pajak melaporkan SPT Tahunan lebih awal untuk menghindari panjangnya antrian atau kendala jaringan. Namun demikian, mayoritas wajib pajak masih memilih untuk melaporkan SPT Tahunan menjelang batas akhir, yaitu tanggal 31 Maret untuk SPT Tahunan Orang Pribadi, dan tanggal 30 April untuk SPT Tahunan PPh Badan.

Banyak cara untuk melaporkan SPT.  Selain datang langsung ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP), wajib pajak bisa melaporkan SPT Tahunan secara daring, melalui pos, ekspedisi, atau jasa kurir.  Faktanya, masih banyak wajib pajak yang lebih suka datang langsung. Sebagian besar beralasan karena takut salah isi dan ingin berkonsultasi terlebih dahulu.

 KPP menggelar Layanan Pajak Diluar Kantor (LDK) atau biasa dikenal dengan sebutan “Pojok Pajak” untuk mengurangi kepadatan pengunjung. DJP telah menyiapkan lebih dari 1.400 pojok pajak  di seluruh Indonesia selama bulan Maret 2024.  Pojok pajak mengambil tempat di berbagai lokasi titik kumpul masyarakat seperti pusat perbelanjaan, pusat perkantoran, bahkan pasar tradisional.

Fiskus diturunkan untuk memberikan layanan kepada wajib pajak. Drama wajib pajak lupa nomor Efin, alamat email, dan password adalah makanan sehari-hari para petugas frontliner. Belum lagi harus memberikan pengertian kepada wajib pajak yang kecewa, karena merasa SPT-nya berstatus Nihil, tetapi ternyata setelah dihitung ulang oleh petugas menjadi kurang bayar. Ternyata, wajib pajak tersebut melaporkan bukti potong dari 2 pemberi kerja, sehingga mengakibatkan SPT-nya menjadi Kurang Bayar (KB).


Patuh Lapor

Jumlah wajib pajak yang melaporkan SPT Tahunan merupakan salah satu indikator kepatuhan formal. Pada tahun 2023, kepatuhan laporan SPT Tahunan mencapai 88%, yaitu sejumlah 17,1 juta dari 19,4 juta wajib pajak telah memenuhi kewajibannya.

Jumlah wajib pajak yang melaporkan SPT Tahunan terus meningkat dari tahun ke tahun, sebagaimana digambarkan pada diagram berikut:

Patuh Setor

Peningkatan kepatuhan pelaporan SPT ternyata tidak sejalan dengan peningkatan rasio setoran pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Pada konferensi pers realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), tanggal 2 Januari 2024, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebutkan rasio pajak tahun 2023 sebesar 10,21 persen, lebih rendah dari tahun sebelumnya, yaitu 10,39 persen. Rasio pajak dari tahun ke tahun cenderung menurun. Rasio pajak tertinggi dalam 15 tahun terakhir terjadi pada tahun 2008, yaitu sebesar 13,3%.

Jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN, rasio pajak negara kita masih relatif tertinggal. Pada tahun 2022, Indonesia menempati posisi ke-7 dari 10 negara ASEAN, dimana rasio pajak tertinggi dipegang oleh Thailand (17,18%), disusul oleh Vietnam (16,21%), dan Singapura (12,96%).

Rasio pajak yang kecil merupakan indikator bahwa pemerintah belum sepenuhnya dapat bergantung pada penerimaan pajak untuk mendanai pembangunan. Pada APBN 2024, estimasi pendapatan negara sebesar Rp2.802,3 triliun, dengan sumber penerimaan terbesar berasal dari pajak sebesar Rp2.309,9 triliun, atau sekitar 82,43%. Sisanya berasal dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan hibah.

Apabila terjadi defisit anggaran, maka kekurangan tersebut ditutup melalui penerimaan pembiayaan yang berasal dari Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA) tahun sebelumnya, penggunaan cadangan, hingga penerimaan pinjaman.

Edukasi Perpajakan

Membangun kesadaran masyarakat untuk membayar pajak bukan perkara yang mudah. Jarang ada orang yang ikhlas membayar pajak. Hal ini diperparah oleh stigma negatif yang sering disematkan kepada aparat pajak. Beberapa kasus penyalahgunaan jabatan dan  wewenang di masa lalu membuat masyarakat menjadi antipati terhadap petugas pajak.

Internal DJP harus melakukan introspeksi dan lebih serius menjalankan program penguatan integritas. Menunjukkan perilaku berintegritas secara konsisten dalam menjalankan tugas, secara perlahan akan memulihkan kepercayaan masyarakat.  

Pada sisi eksternal, kegiatan edukasi perpajakan yang terstruktur, masif, dan berkesinambungan terus digalakkan. Berbagai kegiatan penyuluhan digelar untuk mengubah perilaku masyarakat wajib pajak agar semakin paham, sadar, peduli, dan berkontribusi dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.

Direktorat Jenderal Pajak telah memiliki Fungsional Penyuluh Pajak yang mengampu tugas-tugas terkait edukasi perpajakan. Namun demikian, mengedukasi masyarakat sesungguhnya adalah tanggung jawab seluruh fiskus, apapun jabatannya dan dimanapun ia berada.

Pengawasan dan Penegakan Hukum

Sistem self assessment memberikan kepercayaan dan tanggung jawab kepada masyarakat untuk menghitung, membayar, dan melaporkan pajaknya secara mandiri. Melalui sistem pemungutan ini, negara ingin membudayakan sadar pajak secara sukarela. Tidak seperti official assessment dimana besaran pajak ditetapkan oleh pemungut pajak.

Kebebasan dalam self assessment harus ditindaklanjuti dengan pengawasan yang memadai. Integrasi data perpajakan merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak. Integrasi ini akan memudahkan fiskus dalam memperoleh data wajib pajak dan melakukan pengawasan. Di sisi lain, integrasi data juga memudahkan wajib pajak dalam menjalankan kewajiban perpajakannya.

Upgrading kapasitas kelimuan dan ketrampilan para aktor pengawasan harus menjadi perhatian serius. Mutlak membangun motivasi belajar, baik mandiri maupun berkelompok, untuk mengikuti perkembangan regulasi dan proses bisnis dunia usaha yang semakin pesat.  

Terakhir. penegakan hukum merupakan hal yang tidak bisa ditawar lagi.  Wajib pajak yang telah memenuhi kewajibannya dengan benar harus diapresiasi, sebaliknya pengemplang pajak harus dikenakan sanksi. Menegakkan aturan secara adil tanpa pandang bulu akan menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap institusi. Pada akhirnya, mereka membayar  pajak secara sukarela.

Minggu, 25 Februari 2024

Pindang Baung Benteng Kuto Besak

Vivin namanya. Undangan mengajar ke Palembang mempertemukan saya kembali dengan perempuan berkulit putih dan bermata sipit ini. Kami pernah menjadi rekan kerja di kawasan Kalibata-Jakarta, sebelum ia pindah ke kampung halaman mengikuti suami. 

Sebagaimana perempuan Palembang pada umumnya, adik kelas yang satu ini mempunyai keberanian diatas rata-rata. Saya yang "merasa" sebagai perempuan pemberani karena biasa pergi kemana-mana sendiri, ternyata masih kalah berani dengannya.

Betapa tidak, tukang parkir bermuka sangar menghadang kami malam itu. Dia memaksa kami parkir di tempat gelap yang ditunjuknya, dengan tarif yang kami tak tau berapa. Ibu dari 2 balita ini tetap tenang menginjak pedal gas  meski si abang persis berada di depan hidung Xenia-nya. Alhasil si abang parkir terpaksa lompat minggir. Masih punya rasa takut ketabrak rupanya. Deg-degan lah saya dibuatnya. Dua meter kemudian, terulang kejadian yang sama. Tiga kali kami dihadang tukang parkir. 

Selepas menraktir saya pempek dan es kacang merah, Vivin membawa saya ke Benteng Kuto Besak. Saya membaca nama itu di papan nama besar saat mobil berbelok menuju lokasi parkir. Padahal sebelum berangkat saya minta diantar ke Jembatan Ampera, bukan ke benteng. Belum sah rasanya berkunjung ke kota ini tanpa berfoto dengan  jembatan legendaris yang menghubungkan Palembang Ulu dan Ilir itu.

Belum sempat protes, ibu muda ini berkata, "coba tengok ke kiri buk." Ahaay, rupanya saya sudah berada di sisi Jembatan Ampera yang gagah menjulang. Ia menopang berbagai kendaraan yang berseliweran diatasnya dan kolongnya dilalui oleh kapal beraneka ukuran. Sorot lampu menambah keindahan jembatan sepanjang 1,117 km itu. Lebarnya 22 meter, jadi jarang macet lah ya.

Dulu, bagian tengah jembatan bisa dibuka-tutup untuk memberi jalan kepada kapal-kapal berukuran besar. Namun sejak tahun 1970 hal ini tidak dilakukan lagi karena pertimbangan keselamatan. Puncak tower penyangga jembatan difungsikan sebagai restoran mini dimana pengunjung bisa menikmati keindahan kota dari ketinggian. Tersedia lift untuk naik kesana.

Saya menengok ke kanan, membentang Benteng Kuto Besak yang namanya saya baca di papan nama tadi. Bangunan berukuran 288,75 x 183,75 meter ini dulu adalah pusat Kesultanan Palembang. Ide pembuatan benteng diparakarsai oleh Sultan Mahmud Badaruddin I (1724-1758), namun pembangunan dilaksanakan oleh Sultan Mahmud Bahauddin (1776-1803). Perekat bangunan menggunakan batu kapur ditambah dengan putih telur. Teknologi belum semaju sekarang, pembangunan benteng diselesaikan dalam waktu yang cukup lama, 17 tahun.


Sisa Jetlag masih belum sepenuhnya hilang. Badan minta hak untuk diistirahatkan. Setelah berfoto dan berkeliling sebentar kami memutuskan pulang ke penginapan. Esok hari masih ada kegiatan belajar-mengajar yang membutuhkan stamina dan konsentrasi yang baik. 

Sebenarnya saya masih penasaran dengan Sungai Musi. Saya tidak dapat menikmati keindahan sungai di kegelapan malam kemarin. Setelah menuntaskan kegiatan pada hari kedua,  kami berdua kembali kesana. Masih dihadang lagi oleh abang parkir yang sama. Dan Vivin menginjak pedal gasnya lebih keras lagi. Puas rasanya melihat ekspresi abang parkir melihat duo emak yang gak ada takut-takutnya. ha..ha..

Setelah melewati lapak para pedagang di sepanjang sisi dermaga, kami menjumpai beberapa kapal kayu yang difungsikan sebagai warung apung. Menu andalan khas Palembang seperti pempek, model, kapal selam, tekwan, dan pindang disajikan disini. Sepertinya seru juga sensasi makan diatas perahu, meskipun tertambat.

Seorang bapak tua duduk di dermaga menyambut kami sore itu. "Ayo Ayuk, naik perahu. Lima puluh ribu saja," ajaknya. Hari sudah petang, mungkin si bapak masih ingin mengumpulkan rupiah untuk dibawa pulang. Tanpa berpikir panjang saya mengiyakan. Jadilah kami berdua menyusuri tepian Sungai Musi yang arusnya cukup deras. Angin bertiup kencang, agak ciut juga nyali saya. Apalagi kondisi mulai temaram. Dulu almarhumah ibu selalu menghardik saya jika masih berkeliaran di luar rumah saat maghrib menjelang. Banyak sawan, katanya. Ahh saya berdzikir dalam hati, meminta keselamatan kepada Sang pemberi kehidupan.

Sesekali si Bapak mengarahkan kami untuk mengambil foto di spot-spot yang instagramable. Rupanya beliau sudah berpengalaman membawa penumpang ibu-ibu narsis semacam kami. Selain kapal kayu yang kami tumpangi, ternyata ada juga speedboat berkecepatan tinggi yang membawa para pelancong. Nyalinya besar juga.

Seumur-umur baru kali ini saya melihat secara langsung kapal-kapal besar pengangkut batubara. Kapal berukuran beberapa kali lipat rumah saya itu hilir mudik di sungai yang kedalamannya mencapai 165 meter. Hmm..membayangkan kedalamannya membuat saya bergidik ngeri. Sungai sepanjang 750 km ini memang menjadi sarana transportasi utama di wilayah ini. Berbagai bahan kebutuhan pokok dan hasil bumi diangkut menggunakan perahu berbagai berukuran.

Konon, nama Sungai Musi berasal dari Bahasa Cina: Mu Ci, yang artinya ayam betina. Para pelaut Cina memberi nama itu karena tanah di sekitar sungai ini subur dan penduduknya dikenal baik. Nama ayam betina dipilih karena memberi keuntungan kepada manusia (banyak telurnya).

Adzan maghrib telah berkumandang. Mentari tergelincir membelah siluet patung ikan belida yang menjadi salah satu maskot kota Palembang. Bapak nakhoda mengarahkan perahu kami ke dermaga salah satu resto. Kami memutuskan makan malam di situ sambil menumpang sholat maghrib. 

Saya memilih menu pindang ikan Baung, karena ikan patin sudah sering saya jumpai di Jakarta. Ternyata rasanya beda tipis, cuma dagingnya agak lebih padat dibanding patin. Paduan rasa asin, manis, asem, dan sedikit pedas menghilangkan "bau tanah" yang sering kita rasakan ketika menikmati ikan air tawar. 

Ikan baung hidup di perairan tawar yang tenang seperti waduk dan rawa. Dibanding ikan patin, ukuran badan ikan baung lebih pendek, kepala lebih besar, dan siripnya lebih tumpul. Ia berjenis omnivora (pemakan segala), sehingga umpan yang digunakan untuk memancing ikan ini beragam, bisa hewan maupun tumbuhan. Kemajuan teknologi perikanan telah berhasil membudidayakan ikan baung di berbagai lingkungan dengan sistem monokultur (ikan sejenis) maupun polikultur (bersama jenis ikan yang lain).


Perut kenyang, kantukpun menyerang. Resep pindang ikan baung sudah saya catat. Insyaallah kapan-kapan akan saya masak untuk keluarga. Menu ini cocok untuk saya yang mendekati usia kepala 5, karena kaya kandungan lemak baik, omega-3, protein, dan vitamin B12. Yang pasti, proses memasaknya cepat dan mudah, semua bahan tinggal di-cemplungin. Cocok untuk pemalas seperti saya.

Palembang, 22 Februari 2024