Tulisan ini telah dimuat pada Majalah Indonesian Tax Review Edisi 08/2025.
|
|
Sepanjang bulan Oktober tahun 2024 lalu, suhu udara di wilayah Indonesia terasa lebih panas dari biasanya. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mencatat rekor tertinggi suhu maksimum harian sebesar 38,4 derajat celcius di Larantuka, Flores Timur, pada tanggal 27 Oktober 2024. Suhu di Surabaya mencapai 37,8 derajat celsius, sedangkan Maumere sebesar 37,7 derajat celsius. Gerak semu matahari dan aktivitas Siklon Tropis Kong-Rey Samudra Pasifik ditengarai menjadi penyebabnya. Suhu mulai menurun seiring datangnya hujan pada awal November.
Tak hanya meningkat dalam jangka pendek, pemanasan
global telah menjadi isu penting dalam beberapa dekade ini. Pada tanggal 11
November 2024 World Meteorological Organization (WMO) merilis laporan State
of Climate 2024. Melalui laporan tersebut, badan yang berkantor di Genewa,
Swiss ini menyatakan bahwa suhu udara permukaan rata-rata global sepanjang 2024
lebih panas 1,54 derajat celcius dibandingkan pra-Revolusi Industri tahun
1850-1990. Kondisi seperti ini merupakan alarm tanda bahaya bahwa bumi semakin
tidak baik-baik saja.
Atmosfer bumi makin tebal karena konsentrasi gas
rumah kaca yang semakin tinggi. Akibatnya, kemampuan atmosfer untuk memantulkan
radiasi matahari berkurang sehingga gas rumah kaca terjebak di dalam lapisan
atmosfer dan menaikkan suhu udara di bumi. Efek peningkatan suhu bumi menaikkan
permukaan air laut, banjir, badai, perubahan iklim, penyakit pernapasan, serta
berbagai dampak negatif lainnya.
United Nations Framework Convention on Climate
Change (UNFCCC), lembaga PBB yang menangani perubahan iklim, telah menetapkan 6
jenis gas rumah kaca yang memicu pemanasan global. Adapun keenam jenis gas yang
dimaksud tersebut adalah: Karbondioksida (CO2), Metana (CH4), Nitrogen Oksida
(NOx), Chlorofluorocarbon (CFC), Perfluorocarbons (PFCs), dan Sulfur
Hexafluoride (SF6).
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika
(BMKG) melakukan pengukuran gas rumah kaca secara konsisten sejak 20 tahun
silam. Stasiun Global Atmosphere Watch (GAW) dipasang di Bukit Kototabang,
Sumatera Barat, yang mengukur konsentrasi gas rumah kaca dengan menggunakan Analizer
Picarro G2401 dan Air Kit Flask Sampling. Sampel tersebut selanjutnya dilakukan
analisis lanjutan di laboratorium National Oceanic and Atmospheric
Administration (NOAA) yang berpusat di Washington DC, Amerika Serikat. Berdasarkan
pengukuran tersebut, konsentrasi gas rumah kaca dari tahun 2004 – 2024
menunjukkan peningkatan secara konsisten. Perhatikan diagram dibawah ini
|
|
Salah satu upaya pemerintah dalam mengatasi perubahan iklim adalah penerapan skema cap and trade. Dimana skema ini menetapkan ambang batas emisi gas rumah kaca yang boleh dikeluarkan oleh perusahaan, dan mengijinkan perusahaan untuk membeli kelebihan kuota emisi dari perusahaan lain yang belum mencapai kuota. Jual beli unit karbon ini diharapkan dapat merangsang perusahaan untuk mengalihkan basis energi operasional perusahaan dari sumber energi fosil menjadi energi terbarukan. Selain itu, perputaran uang dalam pasar ini dapat menjadi peluang investasi dan pendanaan untuk industri hijau.
Bursa Karbon Indonesia (IDX Carbon) yang
diresmikan oleh Presiden Joko Widodo tanggal 26 September 2023 di Gedung Bursa
Efek Indonesia, Jakarta. Izin usaha Penyelenggara Bursa Karbon telah diberikan kepada
BEI oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melalui Surat Keputusan Nomor
KEP-77/D.04/2023 pada 18 September 2023. Perdagangan perdana dilakukan
oleh PT Pertamina Geothermal Energy Tbk. (PEGO) yang menjual 459.953 ton unit
karbon kepada Bank BCA, CIMB, Mandiri, DBS, dll. Dengan nilai transaksi mencapai Rp29,2 miliar.
Sementara, alternatif lain penanggulangan
kerusakan lingkungan adalah melalui penerapan pajak, yaitu cap and tax. Skema
ini menetapkan batas emisi, kemudian
mengenakan pajak kepada perusahaan yang melebihi batas tersebut. Tujuan utama pengenaan
pajak karbon ini bukan untuk menambah penerimaan negara, tetapi merubah
perilaku ekonomi dengan beralih dari sumber energi berbasis fosil menjadi
energi terbarukan. Menurut laporan State and Trends of Carbon Pricing
2022 yang diterbitkan oleh Bank Dunia, negara yang menerapkan pajak karbon sejumlah
37 negara.
Finlandia adalah negara pertama yang mengutip
pajak karbon pada tahun 1990. Tarif
pajak karbon Finlandia saat ini sebesar $68 per ton emisi karbon, yang
dikenakan terhadap sektor industri, transportasi dan bangunan. Swedia menyusul
pada tahun 1991. Tarif pajak karbon sebesar $119 per ton emisi karbon, dan
dikenakan terhadap emisi CO2 dari sektor transportasi dan bangunan. Swedia
memegang rekor tarif pajak karbon tertinggi di Eropa.
Penerapan pajak karbon di kawasan Asia
Tenggara telah dimulai oleh Singapura pada tahun 2019. Pada tahun 2024 ini,
tarif pajak karbon Singapura mencapai $25 per ton emisi karbon. Malaysia berencana
memungut pajak karbon atas sektor industri besi, baja dan energi pada tahun
2026. Rencana ini juga telah dinyatakan oleh Brunei Darussalam, Vietnam, dan
Thailand.
Bagaimana dengan Indonesia? Pemerintah bersama
DPR menunjukkan keberpihakannya dalam penanggulangan pemanasan global melalui Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan yang disahkan pada
tanggal 7 Oktober 2021. Subjek pajaknya adalah orang pribadi atau badan yang
membeli barang mengandung karbon dan/atau melakukan aktivitas yang menghasilkan
emisi karbon yang berdampak negatif kepada lingkungan hidup. Emisi karbon yang
dimaksud adalah karbon dioksida ekuivalen (CO2e), yang antara lain terdiri
dari: CO2, NsO, dan CH4.
Pengenaan pajak karbon akan dilakukan secara
bertahap dengan memperhatikan road-map (peta jalan) pajak karbon dan
pasar karbon. Awalnya, pajak karbon direncanakan berlaku mulai tanggal 1 April
2022. Selanjutnya, penentuan mekanisme cap and tax untuk sektor
pembangkit listrik terbatas pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara dirumuskan
pada tahun 2022 – 2024. Sedangkan pada tahun 2025 dan selanjutnya,
diimplementasikan perdagangan karbon secara penuh serta perluasan sektor yang
dipajaki.
UU HPP mengatur tarif
pajak karbon sebagai berikut:
a. ditetapkan lebih tinggi atau sama dengan harga
pasar karbon di pasar karbon per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e),
b. dalam hal harga karbon di pasar karbon lebih
rendah dari Rp30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) maka tarif pajak
karbon ditetapkan paling rendah Rp30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen
(CO2e) atau satuan yang setara.
Apabila
ditinjau dari sisi peraturan, UU HPP masih memerlukan petunjuk pelaksanaan yang
menjelaskan norma tersebut. UU HPP belum secara spesifik memberikan definisi
yang jelas mengenai pajak karbon. Pajak karbon hanya dikenakan terhadap
kegiatan yang menghasilkan emisi karbon. Belum ada formula pajak karbon serta
kapan dikenakan, apakah akhir kegiatan yang menghasilkan emisi karbon, atau
sepanjang kegiatan dilaksanakan, dari awal sampai akhir.
Sampai saat
ini, implementasi pajak karbon masih terus ditunda sampai dengan batas waktu
yang belum ditentukan. Menteri Koordinator
Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan bahwa penerapan pajak karbon masih
dalam proses, karena masih ada regulasi dan skema perhitungan yang harus
dilengkapi. Pernyataan ini disampaikan di Istana Negara pada Selasa, 26/09/2023.
Otoritas Jasa Keuangan melalui Direktur Pengawasan Lufaldy Ernanda
menyatakan bahwa pajak karbon seharusnya lebih tinggi dari dari harga di bursa.
Harga di bursa karbon berfluktuasi mengikuti mekanisme pasar, sedangkan saat
ini belum ada ketentuan yang mengatur tarif pajak yang fluktuatif. Inflasi,
kestabilan ekonomi, merupakan efek lain yang harus dipertimbangkan sebelum
penerapan pajak ini. "Nah
itu sih menurut saya memang tidak mudah, tapi saya yakin teman-teman di Kemenkeu
sudah melakukan banyak kajian. Dan koordinasi kita terus tetap melakukan,” tegasnya.
Pernyataan ini disampaikan pada kegiatan Energy Corner CNBC Indonesia, Selasa
(26/3/2024).
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memberikan pernyataan bahwa jajaran Kementerian Keuangan masih melakukan rangkaian kajian terkait hal ini. “Kami siapkan terus
building-block-nya, dari sisi peraturan dan regulasinya,” jelasnya disela
acara Indonesia Net Zero Summit (INZS) di Jakarta, Sabtu (24/8/2024). Ia juga
menjelaskan pentingnya persiapan dari sisi perekonomian dan industri.
Pergantian pemimpin negara merupakan momentum yang tepat untuk merealisasikan amanat UU HPP ini. Wakil presiden terpilih telah menyampaikan komitmennya tentang pajak karbon pada debat Pilpres ke-4, tanggal 21 Januari 2024 lalu. "Jika kita bicara karbon tentunya kita harus menyinggung juga masalah pajak karbon, carbon storage dan juga carbon capture," ujarnya. Mari kita tunggu realisasinya.