Rabu, 24 April 2019.
Entah kenapa pagi ini tiba2 terbayang
almarhumah ibu.
Ibuku dulu sering
sekali bilang, “Kamu boleh gak setuju sama ibu tapi jangan membantah. Menyakiti
hati orangtua akan membuat hidupmu gak berkah. Coba liat si anu, si anu dan si
anu. Kehidupannya berantakan karena orangtuanya gak ridho.”
Kata-kata ibu yg
itu selalu terngiang.
Sepanjang ingatanku,
sejak usiaku baligh sampai beliau meninggal, selalu berusaha untuk tidak membantah. Ketika tak
setuju, aku memilih untuk diam. Kemudian mencari saat yang tepat di lain
kesempatan, untuk menyampaikan pendapatku beserta alasannya. Biasanya ibu bisa
mengerti dan bisa memahami.
(Jika ada
kekhilafanku menyakitinya selama ini, ampuni aku yaa Rabb..)
Tahun 1995
saat aku sudah menjalani 2 minggu kuliah di ITS Surabaya, Ibu datang menjemput,
membawa gulungan kertas pengumuman STAN. Ada namaku dilingkari tinta merah.
Gamang antara
hijrah ke Jakarta atau tetap bertahan di Surabaya. Di Surabaya aku punya kakak,
sedangkan di Jakarta tak punya siapa-siapa. Bagiku Jakarta adalah kota besar
yang seram dan menakutkan.
Demi menjaga
perasaan ibu, kuturuti perintahnya, meski dengan berat hati.
Ibu yang paham
bahwa aku menjalani kuliah dengan terpaksa, selalu menyemangati dengan
mengirimkan surat via pos. Saat itu belum ada jaringan telepon di kampung kami.
Berpuluh tahun kemudian baru kusadari, ridho ibu dan bapak lah yang membuatku
akhirnya bisa mencintai akuntansi, pelajaran momok yang kubenci sewaktu di bangku
sekolah.
Ibuku memang
perempuan biasa. Gak pintar2 amat, gak sabar2 amat, shalihah banget juga enggak.
Tapi doanya selalu ada untuk kami, anak2nya. Doa yang tulus dengan bahasa
jawanya yang medhok, karena beliau gak hafal doa-doa berbahasa Arab. Kadang
berdoa keras2 dengan berlinang air mata, membuat kami menjadi sangat takut
kualat kalo mendurhakainya.
Ibuku wafat di
hari Senin sore, 30 September 2014.
Tak terkatakan sedihku karena tak dapat menemuinya untuk yang terakhir kali.
Hanya menjumpai gundukan tanah merah tempatnya disemayamkan.
Tak terkatakan sedihku karena tak dapat menemuinya untuk yang terakhir kali.
Hanya menjumpai gundukan tanah merah tempatnya disemayamkan.
Mendadak pergi tanpa
sakit, tanpa meninggalkan pesan. Sesuai dengan cita-cita beliau yang tidak
ingin sakit berkepanjangan dan tak ingin merepotkan orang lain jika sudah tiba
saatnya pulang.
Ampuni ibuku
Yaa Rabb. Lapangkanlah dan terangilah alam kuburnya. Masukkan ke surgamu yang
kekal abadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar