Kamis, 10 Desember 2020

Bedah PSAK 102: Akuntansi Murabahah

        


Murabahah adalah transaksi penjualan barang dengan menyatakan harga perolehan dan keuntungan (margin) yang disepakati antara penjual dan pembeli. Perbedaan Murabahah dengan penjualan biasa adalah penjual memberitahukan dengan jelas berapa harga pokok dan margin keuntungan yang diinginkannya.

Pencatatan oleh penjual:
- Aset murabahah diakui sebesar harga perolehan
- Denda tidak dicatat sebagai pendapatan, melainkan hutang (qardhul hasan)
- Pada saat penyerahan, piutang dicatat pada harga yg disepakati (harga pokok + margin)
- Harga jual- harga perolehan = keuntungan yg ditangguhkan atau keuntungan.

Pencatatan oleh pembeli:

- Utang murabahah dicatat pada harga beli yang disepakati

- Aset yang diperoleh diakui sebesar biaya perolehan

- Utang murabahah - aset =beban tangguhan yang akan diamortisas

- Diskon setelah akad= mengurangi beban tangguhan

- Denda diakui sebagai kerugian.

Jurnal transaksi Murabahah sbb:

1. Pada tanggal 13 Desember 2019 disepakati akad murabahah antara Tuan Edi dengan Bank Barokah untuk pembelian 1 unit mobil Suzuki Ertiga, dengan harga pokok sebesar Rp180juta dan margin Rp60juta, yang akan diangsur selama 12 bulan. Biaya administrasi sebesar Rp1,8juta.

Maka jurnalnya sbb:

13/08    Piutang Murabahah                                                240.000.000

                    Margin Murabahah yg Ditangguhkan                                    60.000.000

                    Persediaan Murabahah                                                          180.000.000

            Kas                                                                                1.800.000

                    Pendapatan administrasi pembiayaan                                     1.800.000

2. Tuan Edi membayar cicilan pertamanya pada 13 Januari 2020 dengan metode proporsional. Pokok pinjaman Rp15juta dan margin Rp5juta.

Maka jurnalnya:

13/09     Kas                                                                        20.000.000

                        Piutang Murabahah                                                            20.000.000

            Margin Murabahah yang ditangguhkan                    5.000.000

                        Pendapatan margin Murabahah                                            5.000.000

       

to be continued

Minggu, 01 November 2020

Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat

 



What to do when you’re feeling blue? 
Read this book!...

Buku ini terjemahan dari The Subtle Art of Not Giving a F*ck: A Counterintuitive Approach to Living a Good Life karya Mark Manson, penulis muda kelahiran Texas, Amerika Serikat.

Menyabet kategori 1st best seller versi New York Times, buku ini adalah kumpulan tulisan-tulisannya di blog www.markmanson.net yang membahas berbagai topik pertemanan, psikologi & pilihan hidup.

Cukup lama saya menyelesaikan buku ini, karena menurut saya “mbulet” (versi Jawa) alias ceritanya muter2 dan berhasil membuat saya bingung.
Selain jalan cerita yg melompat2, banyak kata2 vulgar & mungkin faktor terjemahan dari bahasa asing sehingga kalimat2nya membuat saya mengernyitkan dahi.

Poin-poin yang saya catat dalam buku ini sbb:

Tidak apa-apa menjadi orang yang biasa-biasa saja karena tidak semua orang memiliki kesempatan atau kemampuan menjadi luar biasa. Ada pemenang dan ada pecundang. Ada beberapa peristiwa yang tidak adil & kadang terjadi bukan karena kesalahan kita. Maka ketahui batasan dirimu dan terimalah dengan lapang dada.

Cuek/masa bodoh adalah cara sederhana untuk menyelamatkan diri. Jangan memusingkan semua persoalan karena hidup adalah rentetan masalah yg tidak berujung. Pikirkan yg benar2 penting & lepaskan hal2 lainnya.

Buku-buku pengembangan diri umumnya memotivasi kita supaya lebih baik. Sebaliknya buku ini mengatakan bahwa semakin kita berusaha menjadi lebih baik, justru kita merasa semakin tidak puas karena mengejar sesuatu yang meneguhkan fakta bahwa awalnya kita tidak baik.
Marson memberi contoh ketika kita semakin mati-matian berusaha ingin kaya, kita justru akan merasa semakin miskin dan tidak berharga. Jangan berusaha, katanya.

Tidak semua statement dalam buku ini saya sepakati , tetapi dg membacanya lumayan menghibur diri & jadi berterimakasih atas segala nikmat yang telah Allah beri.

Tidak perlu membandingkan capaian diri dengan orang lain. Cukup bandingkan dengan diri kita sendiri. Apakah lebih baik dari sebelumnya?

Have a nice Monday..



Soewardi Soerjaningrat

 




    Awalnya saya tertarik dengan buku ini  karena diskonnya, (mohom maklum namanya juga emak2, gak tahan lihat diskon), ternyata isinya menarik.

    Diterbitkan perdana oleh Balai Pustaka tahun 1985, buku ini awalnya adalah skripsi dari Ibu Irna Hanny Nastoeti saat menempuh pendidikan Ilmu Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Indonesia, yang diterbitkan kembali oleh penerbit Gramedia, 2019.

    Yang saya kagumi dari penulis adalah keseriusan beliau dalam menempuh pendidikan meskipun di usia yang tak lagi muda. Beliau melanjutkan kuliah saat keempat putranya sudah besar, menunggu tugas pengasuhan anak tertunaikan. Tidak malu belajar bersama mahasiswa lain yang usianya jauh lebih muda.

    Berdasarkan wawancara dengan kerabat dan pelaku sejarah, 6 halaman daftar pustaka, surat kabar/majalah serta berbagai sumber tertulis lainnya, buku ini menceritakan kisah perjuangan Soewardi Soerjaningrat, yang kita kenal sebagai Ki Hadjar Dewantara, pendiri Taman Siswa yang menjadi pelopor pendidikan nasional.

    Sebagai priyayi berdarah biru (putra GPH Soerjaningrat, cucu Pakualam III), alih-alih menikmati zona nyaman dengan menjadi kacung penjajah, beliau malah berusaha membangkitkan kesadaran kaum pribumi untuk bangkit dan berusaha menjadi negeri yang merdeka.

    Soewardi sempat diasingkan ke Belanda selama 4 tahun bersama Dr Tjipto Mangunkusumo dan Douwes Dekker karena menulis kritikan kepada pemerintah Hindia Belanda yang saat itu mewajibkan pribumi untuk ikut merayakan 100 tahun kemerdekaan Belanda dengan memungut uang derma secara paksa. Bagaimana mungkin negeri yang terjajah merayakan kemerdekaan penjajahnya? Walaupun terbuang dari negeri yang dicintainya, beliau tetap berjuang menuliskan berbagai opini yang membakar semangat nasionalisme di berbagai media cetak baik yang diterbitkan di negeri Belanda maupun tanah air.

    Beliau tidak mau menerima  bantuan material yang disodorkan berbagai pihak, karena menjaga harga diri dan independensi. Padahal saat itu meletus Perang Dunia I dimana kondisi ekonomi di Eropa sangat sulit. Untuk mencukupi kebutuhan keluarga beliau mengandalkan honor menulis dari media, sedangakan Nyi Hadjar membantu mencari nafkah dengan menjadi guru TK. Saat kelahiran si sulung Asti yang mengalami masalah kesehatan sehingga harus dirawat berbulan-bulan di rumah sakit, Soewardi akhirnya menyerah. Beliau mau menerima uang  dengan catatan bukan pemberian cuma-cuma tapi pinjaman, yang akan dicicil di kemudian hari.

    Putri beliau ini juga mengalami keterbelakangan mental (ada yang berpendapat mungkin disebabkan karena beliau menikahi sepupu yang terhitung kerabat dekat), sehingga meneguhkan cita2 beliau untuk mengganti sistem pendidikan kolonial yang menggunakan metode perintah, paksaan, hukuman menjadi sistem “among” yang membiarkan anak tumbuh sesuai kodratnya.

    Ing Ngarso Sung Tulodho (di depan memberi teladan), Ing Madyo Mangun Karso (di tengah membangun semangat), Tut Wuri Handayani (di belakang memberi dorongan) adalah semboyan beliau dalam menjalankan peran menjadi pemimpin dan pendidik yang kemudian menjadi slogan Kemendiknas. Ahhh.... andai semua pemimpin di negeri ini meneladani beliau.

    Buku ini kecil dan tipis, cuma 118 halaman. Masih banyak informasi yang saya harapkan ada didalamnya tapi belum saya temukan.  Salah satunya proses jatuh bangun membangun Perguruan Taman Siswa belum dikupas disini. Semoga ada sejarawan lain yang berkenan melengkapi, karena perjalanan hidup beliau sangat menarik untuk dipelajari dan diteladani.

 

Bintaro, 2 November 2020

Senin, 27 April 2020

Ekonomi Melambat, Dividen Segera Bebas Pajak




Sebagian besar negara di dunia saat ini sedang berjuang melawan pandemi virus COVID-19. Jumlah korban yang semakin banyak memaksa beberapa negara melakukan kebijakan lock down” untuk mencegah meluasnya wabah ini. Indonesia juga tak ketinggalan memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di beberapa kota zona merah, yang mengakibatkan lumpuhnya kegiatan masyarakat. Hibernasi ekonomi menjadi bom waktu yang akan segera kita hadapi.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada Bursa Efek Indonesia (BEI) tercatat mencapai rekor terburuk pada tanggal 12 Maret 2020 pukul 15.33 WIB, anjlok sebesar 5,01%. Saat itu BEI melakukan penghentian perdagangan saham sementara, sesuai protokol Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang mengatur jika penurunan IHSG melebihi 5% maka diberlakukan autohalting (penghentian otomatis untuk kurun waktu tertentu). Hal ini dilakukan untuk menjaga agar pasar tetap kondusif dan mengatasi kepanikan pelaku pasar. Memasuki bulan April ini IHSG makin lesu seiring mulai dirilisnya laporan keuangan perusahaan-perusahaan yang mencerminkan memburuknya kinerja mereka. Banyak perusahaan berhenti beroperasi dan terpaksa merumahkan karyawannya.
Harga minyak mentah dunia juga masih sangat rendah. Pada saat tulisan ini dibuat,  Selasa (14/4), harga komoditas Brent Crude Oil sebesar US$32,23 per barel, sedangkan Crued Oil West Texas Intermediate (WTI) sebesar US$22,62 per barel. Harga ini sudah mulai naik dibandingkan bulan-bulan sebelumnya yang merosot tajam akibat perang harga minyak Saudi-Rusia. Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC) plus Rusia bersepakat untuk memangkas produksi mereka sebesar 9,7 juta barel per hari pada pertemuan virtual darurat, Minggu(12/4). Penurunan produksi ini dimulai pada tanggal 1 Mei sampai akhir Juni 2020.
Perang dagang Amerika-China mulai tahun 2018 sampai dengan awal 2020 juga masih berimbas kepada kelesuan ekonomi dunia.  Saat itu, pembatasan impor dari China oleh Amerika Serikat untuk menekan devisit perdagangan mereka, dibalas oleh China dengan menambahkan tarif impor sebesar 15%-25% terhadap produk buatan Amerika Serikat.
Pemerintah berusaha mengatasi perlambatan ekonomi ini dengan memberikan insentif kepada pelaku usaha melalui RUU Omnibus Law agar mereka memiliki tambahan napas untuk bertahan melanjutkan kegiatan bisnis. Saat ini RUU tersebut telah berada di meja DPR, menunggu untuk dibahas dan disahkan.
Bertajuk RUU Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Ekonomi, ketentuan ini merevisi beberapa UU sekaligus yaitu UU Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), Kepabeanan, Cukai, serta Pajak dan Retribusi Daerah (PDRD).
Salah satu rencana insentif dalam RUU tersebut adalah penghapusan pajak atas dividen. Dividen adalah bagian laba perusahaan yang menjadi hak pemegang saham. Lazimnya, setiap tahun perusahaan menggelar Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) yang akan mengambil kesepakatan apakah perusahaan melakukan pembagian dividen pada tahun buku tersebut atau tidak.
Dalam hal pemajakan dividen, saat ini Indonesia menganut classical system/separate entity system/two tier tax, yang juga dianut oleh negara-negara Eropa seperti Belanda dan  Jerman. Pada sistem ini pajak dikenakan atas laba yang dihasilkan di tingkat perusahaan, kemudian dikenakan lagi atas laba bersih (income after tax) di tingkat pemegang saham orang pribadi. Pada sistem ini dimungkinkan terjadi pemajakan berganda (double taxation), yaitu pengenaan pajak dua kali atas penghasilan yang sama.
Berdasarkan ketentuan yang berlaku saat ini (pasal 4 ayat (1) huruf g UU PPh), dividen dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi adalah obyek pajak penghasilan. Meskipun demikian, terdapat pengecualian dari pengenaan pajak apabila dividen tersebut diterima oleh Perseroan Terbatas (PT), BUMN dan BUMD dengan kepemilikan saham paling rendah 25% dari modal disetor, dan dividen yang dibagikan tersebut  harus berasal dari cadangan laba ditahan.
Jenis pajak dan tarif PPh atas dividen yang berlaku saat ini adalah sebagai berikut:
1)    PPh Pasal 4 ayat (2) sebesar 10% final, jika dividen diterima oleh orang pribadi dalam negeri;
2)    PPh Pasal 23 sebesar 15%, jika diterima oleh wajib pajak badan dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap (BUT);
3)    PPh Pasal 26 sebesar 20% atau sesuai kesepakatan dalam Persetujuan penghindaran Pajak berganda (P3B), jika diterima oleh wajib pajak luar negeri selain BUT.
Omnibus Law Perpajakan akan merubah sistem pemajakan dividen menjadi one-tier system atau dividend-exclusion system, seperti yang berlaku di negara tetangga kita, Singapura dan Malaysia. Amerika Serikat, United Kingdom, Canada dan Australia juga menerapkan sistem yang sama. Pada sistem ini pajak dibebankan atas laba yang dihasilkan hanya pada tingkat perusahaan. Artinya pajak dikenakan satu kali di tingkat perseroan. Ketika penghasilan perseroan tersebut dibagikan sebagai dividen kepada pemegang saham orang pribadi, maka tidak dikenakan pajak lagi. Inilah yang membedakan dengan classical system. Tidak ada isu pajak berganda di sini.
Meskipun pajak dividen dihapuskan, pemerintah masih memberikan batasan tambahan. Dividen yang diterima dari entitas luar negeri hanya bebas pajak jika diinvestasikan di Indonesia dalam jangka waktu tertentu. Jangka waktu ini akan ditentukan kemudian. Selain itu jumlah yang harus diinvestasikan di Indonesia sedikitnya sebesar 30% dari Earning After Tax (EAT)/ laba setelah pajak di luar negeri. Dalam hal investasi di Indonesia kurang dari 30%, maka selisih investasi sampai dengan 30% tersebut dikenakan pajak di Indonesia sesuai tarif yang berlaku. Batasan tambahan ini diharapkan dapat menjaga stabilitas ekonomi secara makro.

Tulisan tersebut merupakan pendapat pribadi, tidak mencerminkan pendapat instansi di mana penulis bekerja.