Akhirnya
saya berkesempatan singgah di kota ini. Sehari sebelum berangkat,
teman-teman kompak ngeledek, "MAMUJU - MAju MUndur JUrang, gak ada
apa-apa disana. Hmm. apa iya? batin saya. Bukankah statusnya ibukota provinsi?
Selain
menjenguk suami, agenda saya disana adalah bergabung dengan ibu-ibu Dharma Wanita
Persatuan (DWP) BPKP Perwakilan Sulawesi Barat. DWP mengadakan pelatihan kewirausahaan dalam
rangka ulang tahun DWP ke-42, dan memperingati Hari Ibu. Kebetulan saya diminta untuk
menemani belajar merajut. Selain saya ada dua narasumber lain, yaitu Bu Kaper - Tuti Harry Bowo yang mengajarkan ketrampilan coklat praline, dan Bu Dharma
Biarawati Soenyoto, pendamping dari Diskoperindag-UMKM Provinsi Sulawesi Barat. Kami diajari tahap-tahap pengembangan usaha rumahan menjadi bisnis ber-cuan, termasuk cara2 memperoleh sertifikat halal, teknik mengemas produk yang menarik, dll.
.jpeg)
Kami juga mengadakan kegiatan santunan untuk kaum dhuafa. Dana santunan disiapkan
oleh ibu-ibu DW yang dengan semangat dan tak kenal lelah memasak
aneka hidangan dan kue untuk dijual, serta menjual seragam DW/KBI kepada para anggota. Laba penjualan 100% masuk ke kas, untuk menggerakkan kegiatan DWP. Beberapa donatur juga menyumbangkan
minyak goreng, beras, telur, dan bahan pokok lainnya.
Pagi
itu, langit biru menemani si burung besi terbang dari Cengkareng menuju bumi
Manakarra via Makassar. Perjalanan udara dari bandara Internasional
Soekarno Hatta menuju Makassar kami tempuh selama 2 jam 30 menit. Sedangkan
durasi perjalanan dari Bandara Hasanuddin - Bandara Tampa Padang adalah 55
menit. Awan putih berarak, seolah sedang bercengkerama. Menghibur para
pelancong di udara.
Perjalanan
ini tidak terasa membosankan. Ketika pesawat mulai memasuki siluet huruf K,
jajaran pulau-pulau kecil menyapa. Perpaduan yang elok antara birunya laut,
pasir putih, dan pohon hijau memanjakan mata. Awan putih berarak-arak, langit
luas tak terbatas, menegaskan bahwa kita ini sungguh makhluk kecil tak berdaya.
Tak berhak jumawa.
Sepuluh menit sebelum mendarat, deretan jurang
lebar menyambut kami. Ternyata benar kata mereka: maju mundur
jurang. Perbukitan dan hamparan pantai saling berpagutan
membentuk irama harmoni. Saling melengkapi.
Berdasarkan
laman resmi Provinsi Sulawesi Barat (www.berita.sulbarprov.go.id), provinsi ini
berdiri pada tanggal 5 Oktober 2004 melalui UU No. 26 Tahun 2004. Mamuju
dipilih sebagai ibu kota, dan menjadi salah satu dari tujuh ibu kota provinsi di Indonesia yang belum
bersatus otonom. Enam kota lainnya
adalah Manokwari di Papua Barat, Sofifi di Maluku
Utara, Merauke di Papua Selatan, Nabire di Papua
Tengah, Tanjung Selor di Kalimantan Utara,
dan Wamena di Papua Pegunungan.
Luas
wilayah provinsi di pinggang Sulawesi ini 16,796.19 km² dengan jumlah penduduk
sebanyak 283.282 jiwa. Bandingkan dengan Provinsi DKI Jakarta yang luasnya
hanya 661,52 km, tetapi jumlah penduduknya 38 kali lipat (10,6 juta jiwa). Saya
yang terbiasa dengan kemacetan dan hiruk-pikuk ibukota, jadi betah dengan
situasi kota kecil ini. Udara terasa segar dan kemana-mana lancar.
Saya singgah sejenak di pantai
Manakarra, salah satu pantai di jantung kota Mamuju. Begitu turun dari mobil,
terdengar lagu campursari Stasiun Balapan-nya alm. Didi Kempot. Rupanya disetel
oleh penjaga stand komidi putar, mengiringi anak-anak yang tergelak-gelak
menikmati hiburan sore. Sulawesi rasa Jawa rupanya.
Dari arah kanan,
sayup-sayup mengalun lagu Bugis, "Itaneng Tenri Bolo", artinya:
ditanam tapi tak disiram. Lagu yang menceritakan perasaan seseorang yang
diperlakukan seenaknya oleh pasangan yang dicintainya. Ternyata
penghuni kota ini terdiri dari campuran berbagai suku. Mayoritas dihuni oleh
Suku Mandar (49,15%), disusul beberapa suku lainnya yaitu Toraja (13,95%),
Bugis (10,79%), Jawa (5,38%), Makassar (1,59%) dan sisanya suku lainnya
(19,15%). Tak heran jika jenis jajanan di sini beraneka ragam. Ada makanan
Jawa, Sulawesi, bahkan Sumatera.
Senja terasa syahdu. Saya menikmati
alunan adzan maghrib nan merdu dari Masjid Jami' Nurul Muttahida yang berada di
seberang pantai, sambil memandang para remaja tanggung bermain bola air.
Matahari perlahan-lahan pulang ke peraduan. Warna jingga merona
pelan-pelan berubah menjadi gelap sempurna. Isyarat untuk kita, agar rehat
sejenak dari riuhnya urusan dunia.
Pasca
dihantam gempa bumi berskala 6,2 skala Richter di tahun 2021, kota yang
semula hancur lebur kini mulai berbenah. Beberapa gedung pemerintahan telah
dibangun kembali. Masyarakat mendapatkan subsidi berupa uang tunai dari
pemerintah melalui Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) untuk membangun
kembali rumah-rumah mereka yang roboh. Perekonomian perlahan mulai menggeliat.
Toko dan rumah makan bermunculan.

Saya menyempatkan diri singgah di rumah adat Mamuju
yang biasa disebut dengan Banoa Sibatang /Banoa Batang, yang berlokasi di Jl.
K.S Tubun, Kel. Rimuku, Kec Mamuju. Dahulu rumah ini dihuni oleh Suku Makki atau juga disebut
sebagai Suku Kalumpang. Tiang rumah panggung disambungkan dengan lantai rumah
yang polanya berbentuk rakit. Hal ini konon diyakini merupakan warisan bangsa
Austronesia yang bemigrasi dari Pulai Formosa ke selatan dengan menggunakan
rakit. Secara asal-usul, Suku Kalumpang berasal dari Tana
Toraja, sehingga mereka sering menyebut dirinya sebagai masyarakat Toraja
Barat.

Pada
hari kedua saya bersama ibu-ibu mengunjungi pantai Tapandullu dan Pantai Rangas. Kok pantai
terus? Ya karena disana belum ada tempat wisata selain itu. Ada satu pusat
perbelanjaan, bernama Maleo Town Square (MATOS). Mall ini beroperasi kembali
pada tanggal 16 Desember 2023, setelah mengalami kerusakan parah akibat gempa.
Belum banyak tenant yang berjualan di dalamnya. Pemandangan di pantai yang saya kunjungi
sangat indah.
Laut biru terhampar, disela oleh pulau kecil yang menyembul malu-malu. Disini tidak ada polusi dan sampah plastik yang biasa kita temukan
di pantai-pantai Jawa. Sayangnya, sarana dan prasarana seperti toilet, warung,
penginapan, belum selengkap pantai di kota wisata lainnya. Jika dikelola dengan
baik, pantai ini bisa menjadi potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang cukup
menjanjikan.
Ikan-ikan
panjang berbentuk aneh berseliweran di pantai bersih sebening kaca. Aneh buat
saya yang lahir di gunung, taunya cuma ikan cue dan ikan tongkol. Rasanya
kepengin bawa serokan, terus ikannya dibakar, dimakan dengan nasi panas, lalapan, dan sambal.
Matahari mulai bersiap kembali ke peraduan. Akhirnya kami memesan pisang epek dan kopi hitam untuk mengusir kantuk yang mulai menyerang. Efek angin laut sepoy2 serasa belaian ibunda saat menidurkan anaknya.
Hari ketiga saya berkunjung ke Tempat
Pelelangan Ikan (TPI) di Jl. Dr. Sam Ratulangi No.73, Binanga. Berbagai
jenis ikan laut segar dijual dengan harga murah. Sekilo ikan tongkol cuma
dihargai Rp10 ribu. Baronang, kerapu, tuna, cakalang, tenggiri lengkap ada
disini. Saya
menahan diri untuk tidak memborong ikan, beli secukupnya saja. Mengingat kami
hanya berdua, dan suami (sebagai jomblo lokal) tidak punya alat
lengkap untuk memasak.
Ikan
segar tak hanya bisa kita beli dari TPI, tetapi juga di pasar tradisional, baik
Pasar Lama maupun Pasar Baru Mamuju. Pasar Lama setidaknya pernah mengalami
lima kali kebakaran, terakhir pada 26 Februari 2023. Kebakaran tersebut diduga
akibat korsleting listrik dari lapak pedagang.
Kondisi
drainase yang kurang baik serta kurangnya pengelolaan sampah mengakibatkan bau
yang kurang sedap. Penataan lapak pedagang kurang rapi, sehingga terkesan
semrawut. Meskipun begitu, pasar ini tetap menjadi favorit ibu-ibu setempat,
karena sangat lengkap dan harganya murah.
Setelah
terbengkalai selama kurang lebih 2 tahun, Pasar Baru Mamuju di jalan Abd.
Syakur diresmikan pada 14 April 2021. Kondisi pasar yang pembangunannya menghabiskan
dana sebesar Rp5 miliar ini cukup rapi. Pelataran difungsikan sebagai area
parkir yang mampu memuat banyak kendaraan, mobil maupun motor. Sayur-mayur,
buah-buahan, dan hasil bumi lainnya bisa kita beli disini.
Malam sebelum
pulang, ibu-ibu penghuni rumah dinas menjamu kami dengan hidangan lengkap
penggugah selera. Ada ikan bakar, sayur asem, udang goreng tepung, cumi hitam, tak lupa
sambal dabu-dabu yang tiada duanya. Kami makan bersama sambil bersenda-gurau,
menyanyi meskipun dengan suara sumbang, diiringi petikan gitar fals yang
salah cord-nya, plus gendang dangdut dari galon aqua kosong.
Ha..ha..ha..😂
Rasa
kekeluargaan dan kekompakan menjadikan mereka keluarga kedua kami di tanah
rantau. Membuat hati saya tenang menitipkan belahan jiwa saya disini. Suami sering bercerita ketika telepon, sering mendapatkan kiriman makanan dari tetangga kanan kiri. Semoga
Allah membalas kebaikan Bapak/Ibu dengan kesehatan, anak2 shalih/shalihah, rizki
yang luas, dan keberkahan sepanjang hayat.
Tak
terasa sudah empat hari saya berada di Bumi Manakarra. Saatnya kembali ke kehidupan
nyata, menjalani Long Distance Marriage (LDM) dengan bapaknya
anak-anak. Kami harus berpisah untuk menjalankan peran masing-masing. Suami
menjemput rizki di Sulawesi, sedangkan saya mengurus anak-anak di Jakarta.
Meski tak mudah, ada Allah yang selalu menjaga.
Mamuju, kutitipkan suamiku
padamu.