Sabtu, 20 Januari 2024

Mamuju, Kutitipkan Suamiku Padamu

Akhirnya saya berkesempatan singgah di kota ini. Sehari sebelum berangkat, teman-teman kompak ngeledek, "MAMUJU - MAju MUndur JUrang, gak ada apa-apa disana. Hmm. apa iya? batin saya. Bukankah statusnya ibukota provinsi? 

Selain menjenguk suami, agenda saya disana adalah bergabung dengan ibu-ibu Dharma Wanita Persatuan (DWP) BPKP Perwakilan Sulawesi Barat. DWP mengadakan pelatihan kewirausahaan dalam rangka ulang tahun DWP ke-42, dan memperingati Hari Ibu. Kebetulan saya diminta untuk menemani belajar merajut. Selain saya ada dua narasumber lain, yaitu Bu Kaper - Tuti Harry Bowo yang mengajarkan ketrampilan coklat praline, dan Bu Dharma Biarawati Soenyoto, pendamping dari Diskoperindag-UMKM Provinsi Sulawesi Barat.  Kami diajari tahap-tahap pengembangan usaha rumahan menjadi bisnis ber-cuan, termasuk cara2 memperoleh sertifikat halal, teknik mengemas produk yang menarik, dll.


     Kami juga mengadakan kegiatan santunan untuk kaum dhuafa. Dana santunan disiapkan oleh ibu-ibu DW yang dengan semangat dan tak kenal lelah memasak aneka hidangan dan kue untuk dijual, serta menjual seragam DW/KBI kepada para anggota. Laba penjualan 100% masuk ke kas, untuk menggerakkan kegiatan DWP. Beberapa donatur juga menyumbangkan minyak goreng, beras, telur, dan bahan pokok lainnya.  

Pagi itu, langit biru menemani si burung besi terbang dari Cengkareng menuju bumi Manakarra via Makassar.  Perjalanan udara dari bandara Internasional Soekarno Hatta menuju Makassar kami tempuh selama 2 jam 30 menit. Sedangkan durasi perjalanan dari Bandara Hasanuddin - Bandara Tampa Padang adalah 55 menit. Awan putih berarak, seolah sedang bercengkerama. Menghibur para pelancong di udara.

     Perjalanan ini tidak terasa membosankan. Ketika pesawat mulai memasuki siluet huruf K, jajaran pulau-pulau kecil menyapa. Perpaduan yang elok antara birunya laut, pasir putih, dan pohon hijau memanjakan mata. Awan putih berarak-arak, langit luas tak terbatas, menegaskan bahwa kita ini sungguh makhluk kecil tak berdaya. Tak berhak jumawa. 

  Sepuluh menit sebelum mendarat, deretan jurang lebar menyambut kami. Ternyata benar kata mereka: maju mundur jurang. Perbukitan dan hamparan pantai saling berpagutan membentuk irama harmoni. Saling melengkapi. 

   Berdasarkan laman resmi Provinsi Sulawesi Barat (www.berita.sulbarprov.go.id), provinsi ini berdiri pada tanggal 5 Oktober 2004 melalui UU No. 26 Tahun 2004. Mamuju dipilih sebagai ibu kota, dan menjadi salah satu dari tujuh ibu kota provinsi di Indonesia yang belum bersatus otonom. Enam kota lainnya adalah Manokwari di Papua Barat, Sofifi di Maluku Utara, Merauke di Papua Selatan, Nabire di Papua Tengah, Tanjung Selor di Kalimantan Utara, dan Wamena di Papua Pegunungan.

    Luas wilayah provinsi di pinggang Sulawesi ini 16,796.19 km² dengan jumlah penduduk sebanyak 283.282 jiwa. Bandingkan dengan Provinsi DKI Jakarta yang luasnya hanya 661,52 km, tetapi jumlah penduduknya 38 kali lipat (10,6 juta jiwa). Saya yang terbiasa dengan kemacetan dan hiruk-pikuk ibukota, jadi betah dengan situasi kota kecil ini. Udara terasa segar dan kemana-mana lancar.

     Saya singgah sejenak di pantai Manakarra, salah satu pantai di jantung kota Mamuju. Begitu turun dari mobil, terdengar lagu campursari Stasiun Balapan-nya alm. Didi Kempot. Rupanya disetel oleh penjaga stand komidi putar, mengiringi anak-anak yang tergelak-gelak menikmati hiburan sore. Sulawesi rasa Jawa rupanya. 

   Dari arah kanan, sayup-sayup mengalun lagu Bugis, "Itaneng Tenri Bolo", artinya:  ditanam tapi tak disiram. Lagu yang menceritakan perasaan seseorang yang diperlakukan seenaknya oleh pasangan yang dicintainya. Ternyata penghuni kota ini terdiri dari campuran berbagai suku. Mayoritas dihuni oleh Suku Mandar (49,15%), disusul beberapa suku lainnya yaitu Toraja (13,95%), Bugis (10,79%), Jawa (5,38%), Makassar (1,59%) dan sisanya suku lainnya (19,15%). Tak heran jika jenis jajanan di sini beraneka ragam. Ada makanan Jawa, Sulawesi, bahkan Sumatera.   

        Senja terasa syahdu. Saya menikmati alunan adzan maghrib nan merdu dari Masjid Jami' Nurul Muttahida yang berada di seberang pantai, sambil memandang para remaja tanggung bermain bola air. Matahari perlahan-lahan pulang ke peraduan. Warna jingga  merona pelan-pelan berubah menjadi gelap sempurna. Isyarat untuk kita, agar rehat sejenak dari riuhnya urusan dunia.

        Pasca dihantam gempa bumi berskala 6,2 skala Richter di tahun 2021, kota yang semula hancur lebur kini mulai berbenah. Beberapa gedung pemerintahan telah dibangun kembali. Masyarakat mendapatkan subsidi berupa uang tunai dari pemerintah melalui Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) untuk membangun kembali rumah-rumah mereka yang roboh. Perekonomian perlahan mulai menggeliat. Toko dan rumah makan bermunculan.   

Saya menyempatkan diri singgah di rumah adat Mamuju yang biasa disebut dengan Banoa Sibatang /Banoa Batang, yang berlokasi di Jl. K.S Tubun, Kel. Rimuku, Kec Mamuju. Dahulu rumah ini dihuni oleh Suku Makki atau juga disebut sebagai Suku Kalumpang. Tiang rumah panggung disambungkan dengan lantai rumah yang polanya berbentuk rakit. Hal ini konon diyakini merupakan warisan bangsa Austronesia yang bemigrasi dari Pulai Formosa ke selatan dengan menggunakan rakit. Secara asal-usul, Suku Kalumpang berasal dari Tana Toraja, sehingga mereka sering menyebut dirinya sebagai masyarakat Toraja Barat.


 Pada hari kedua saya bersama ibu-ibu mengunjungi pantai Tapandullu dan Pantai Rangas. Kok pantai terus? Ya karena disana belum ada tempat wisata selain itu. Ada satu pusat perbelanjaan, bernama Maleo Town Square (MATOS). Mall ini beroperasi kembali pada tanggal 16 Desember 2023, setelah mengalami kerusakan parah akibat gempa. Belum banyak tenant yang berjualan di dalamnya. Pemandangan di pantai yang saya kunjungi sangat indah. 

Laut biru terhampar, disela oleh pulau kecil yang menyembul malu-malu. Disini tidak ada polusi dan sampah plastik yang biasa kita temukan di pantai-pantai Jawa. Sayangnya, sarana dan prasarana seperti toilet, warung, penginapan, belum selengkap pantai di kota wisata lainnya. Jika dikelola dengan baik, pantai ini bisa menjadi potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang cukup menjanjikan.   

Ikan-ikan panjang berbentuk aneh berseliweran di pantai bersih sebening kaca. Aneh buat saya yang lahir di gunung, taunya cuma ikan cue dan ikan tongkol. Rasanya kepengin bawa serokan, terus ikannya dibakar, dimakan dengan nasi panas, lalapan, dan sambal.

Matahari mulai bersiap kembali ke peraduan. Akhirnya kami memesan pisang epek dan kopi hitam untuk mengusir kantuk yang mulai menyerang. Efek angin laut sepoy2 serasa belaian ibunda saat menidurkan anaknya.

Hari ketiga saya berkunjung ke Tempat Pelelangan Ikan (TPI) di Jl. Dr. Sam Ratulangi No.73, Binanga. Berbagai jenis ikan laut segar dijual dengan harga murah. Sekilo ikan tongkol cuma dihargai Rp10 ribu. Baronang, kerapu, tuna, cakalang, tenggiri lengkap ada disini. Saya menahan diri untuk tidak memborong ikan, beli secukupnya saja. Mengingat kami hanya berdua, dan suami (sebagai jomblo lokal) tidak punya alat lengkap untuk memasak.

Ikan segar tak hanya bisa kita beli dari TPI, tetapi juga di pasar tradisional, baik Pasar Lama maupun Pasar Baru Mamuju. Pasar Lama setidaknya pernah mengalami lima kali kebakaran, terakhir pada 26 Februari 2023. Kebakaran tersebut diduga akibat korsleting listrik dari lapak pedagang.  

Kondisi drainase yang kurang baik serta kurangnya pengelolaan sampah mengakibatkan bau yang kurang sedap. Penataan lapak pedagang kurang rapi, sehingga terkesan semrawut. Meskipun begitu, pasar ini tetap menjadi favorit ibu-ibu setempat, karena sangat lengkap dan harganya murah.

    Setelah terbengkalai selama kurang lebih 2 tahun, Pasar Baru Mamuju di jalan Abd. Syakur diresmikan pada 14 April 2021. Kondisi pasar yang pembangunannya menghabiskan dana sebesar Rp5 miliar ini cukup rapi. Pelataran difungsikan sebagai area parkir yang mampu memuat banyak kendaraan, mobil maupun motor. Sayur-mayur, buah-buahan, dan hasil bumi lainnya bisa kita beli disini.   


    Malam sebelum pulang, ibu-ibu penghuni rumah dinas menjamu kami dengan hidangan lengkap penggugah selera. Ada ikan bakar, sayur asem, udang goreng tepung, cumi hitam, tak lupa sambal dabu-dabu yang tiada duanya. Kami makan bersama sambil bersenda-gurau, menyanyi meskipun dengan suara sumbang, diiringi petikan gitar fals yang salah cord-nya, plus gendang dangdut dari galon aqua kosong.

Ha..ha..ha..😂 

Rasa kekeluargaan dan kekompakan menjadikan mereka keluarga kedua kami di tanah rantau. Membuat hati saya tenang menitipkan belahan jiwa saya disini. Suami sering bercerita ketika telepon, sering mendapatkan kiriman makanan dari tetangga kanan kiri. Semoga Allah membalas kebaikan Bapak/Ibu dengan kesehatan, anak2 shalih/shalihah, rizki yang luas, dan keberkahan sepanjang hayat.

        Tak terasa sudah empat hari saya berada di Bumi Manakarra. Saatnya kembali ke kehidupan nyata, menjalani Long Distance Marriage (LDM) dengan bapaknya anak-anak. Kami harus berpisah untuk menjalankan peran masing-masing. Suami menjemput rizki di Sulawesi, sedangkan saya mengurus anak-anak di Jakarta. Meski tak mudah, ada Allah yang selalu menjaga.

        Mamuju, kutitipkan suamiku padamu.

 






 

3 komentar:

  1. selama ini cuma dengerin cerita mamuju, majene, mamasa, malili dari saudara-saudara..moga bisa kesampaian disana

    BalasHapus
  2. Indonesia indah banget. Foto dan tulisannya keren, mbak

    BalasHapus