Jumat, 03 Mei 2024

Patuh Lapor, Patuh Setor

 Tulisan ini telah dimuat pada Majalah INTAX, Edisi II Tahun 2024







Hajatan SPT Tahunan

Bulan Maret-April adalah puncak masa “hajatan” tahunan bagi Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Imbauan selalu digaungkan oleh DJP, agar wajib pajak melaporkan SPT Tahunan lebih awal untuk menghindari panjangnya antrian atau kendala jaringan. Namun demikian, mayoritas wajib pajak masih memilih untuk melaporkan SPT Tahunan menjelang batas akhir, yaitu tanggal 31 Maret untuk SPT Tahunan Orang Pribadi, dan tanggal 30 April untuk SPT Tahunan PPh Badan.

Banyak cara untuk melaporkan SPT.  Selain datang langsung ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP), wajib pajak bisa melaporkan SPT Tahunan secara daring, melalui pos, ekspedisi, atau jasa kurir.  Faktanya, masih banyak wajib pajak yang lebih suka datang langsung. Sebagian besar beralasan karena takut salah isi dan ingin berkonsultasi terlebih dahulu.

 KPP menggelar Layanan Pajak Diluar Kantor (LDK) atau biasa dikenal dengan sebutan “Pojok Pajak” untuk mengurangi kepadatan pengunjung. DJP telah menyiapkan lebih dari 1.400 pojok pajak  di seluruh Indonesia selama bulan Maret 2024.  Pojok pajak mengambil tempat di berbagai lokasi titik kumpul masyarakat seperti pusat perbelanjaan, pusat perkantoran, bahkan pasar tradisional.

Fiskus diturunkan untuk memberikan layanan kepada wajib pajak. Drama wajib pajak lupa nomor Efin, alamat email, dan password adalah makanan sehari-hari para petugas frontliner. Belum lagi harus memberikan pengertian kepada wajib pajak yang kecewa, karena merasa SPT-nya berstatus Nihil, tetapi ternyata setelah dihitung ulang oleh petugas menjadi kurang bayar. Ternyata, wajib pajak tersebut melaporkan bukti potong dari 2 pemberi kerja, sehingga mengakibatkan SPT-nya menjadi Kurang Bayar (KB).


Patuh Lapor

Jumlah wajib pajak yang melaporkan SPT Tahunan merupakan salah satu indikator kepatuhan formal. Pada tahun 2023, kepatuhan laporan SPT Tahunan mencapai 88%, yaitu sejumlah 17,1 juta dari 19,4 juta wajib pajak telah memenuhi kewajibannya.

Jumlah wajib pajak yang melaporkan SPT Tahunan terus meningkat dari tahun ke tahun, sebagaimana digambarkan pada diagram berikut:

Patuh Setor

Peningkatan kepatuhan pelaporan SPT ternyata tidak sejalan dengan peningkatan rasio setoran pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Pada konferensi pers realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), tanggal 2 Januari 2024, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebutkan rasio pajak tahun 2023 sebesar 10,21 persen, lebih rendah dari tahun sebelumnya, yaitu 10,39 persen. Rasio pajak dari tahun ke tahun cenderung menurun. Rasio pajak tertinggi dalam 15 tahun terakhir terjadi pada tahun 2008, yaitu sebesar 13,3%.

Jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN, rasio pajak negara kita masih relatif tertinggal. Pada tahun 2022, Indonesia menempati posisi ke-7 dari 10 negara ASEAN, dimana rasio pajak tertinggi dipegang oleh Thailand (17,18%), disusul oleh Vietnam (16,21%), dan Singapura (12,96%).

Rasio pajak yang kecil merupakan indikator bahwa pemerintah belum sepenuhnya dapat bergantung pada penerimaan pajak untuk mendanai pembangunan. Pada APBN 2024, estimasi pendapatan negara sebesar Rp2.802,3 triliun, dengan sumber penerimaan terbesar berasal dari pajak sebesar Rp2.309,9 triliun, atau sekitar 82,43%. Sisanya berasal dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan hibah.

Apabila terjadi defisit anggaran, maka kekurangan tersebut ditutup melalui penerimaan pembiayaan yang berasal dari Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA) tahun sebelumnya, penggunaan cadangan, hingga penerimaan pinjaman.

Edukasi Perpajakan

Membangun kesadaran masyarakat untuk membayar pajak bukan perkara yang mudah. Jarang ada orang yang ikhlas membayar pajak. Hal ini diperparah oleh stigma negatif yang sering disematkan kepada aparat pajak. Beberapa kasus penyalahgunaan jabatan dan  wewenang di masa lalu membuat masyarakat menjadi antipati terhadap petugas pajak.

Internal DJP harus melakukan introspeksi dan lebih serius menjalankan program penguatan integritas. Menunjukkan perilaku berintegritas secara konsisten dalam menjalankan tugas, secara perlahan akan memulihkan kepercayaan masyarakat.  

Pada sisi eksternal, kegiatan edukasi perpajakan yang terstruktur, masif, dan berkesinambungan terus digalakkan. Berbagai kegiatan penyuluhan digelar untuk mengubah perilaku masyarakat wajib pajak agar semakin paham, sadar, peduli, dan berkontribusi dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.

Direktorat Jenderal Pajak telah memiliki Fungsional Penyuluh Pajak yang mengampu tugas-tugas terkait edukasi perpajakan. Namun demikian, mengedukasi masyarakat sesungguhnya adalah tanggung jawab seluruh fiskus, apapun jabatannya dan dimanapun ia berada.

Pengawasan dan Penegakan Hukum

Sistem self assessment memberikan kepercayaan dan tanggung jawab kepada masyarakat untuk menghitung, membayar, dan melaporkan pajaknya secara mandiri. Melalui sistem pemungutan ini, negara ingin membudayakan sadar pajak secara sukarela. Tidak seperti official assessment dimana besaran pajak ditetapkan oleh pemungut pajak.

Kebebasan dalam self assessment harus ditindaklanjuti dengan pengawasan yang memadai. Integrasi data perpajakan merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak. Integrasi ini akan memudahkan fiskus dalam memperoleh data wajib pajak dan melakukan pengawasan. Di sisi lain, integrasi data juga memudahkan wajib pajak dalam menjalankan kewajiban perpajakannya.

Upgrading kapasitas kelimuan dan ketrampilan para aktor pengawasan harus menjadi perhatian serius. Mutlak membangun motivasi belajar, baik mandiri maupun berkelompok, untuk mengikuti perkembangan regulasi dan proses bisnis dunia usaha yang semakin pesat.  

Terakhir. penegakan hukum merupakan hal yang tidak bisa ditawar lagi.  Wajib pajak yang telah memenuhi kewajibannya dengan benar harus diapresiasi, sebaliknya pengemplang pajak harus dikenakan sanksi. Menegakkan aturan secara adil tanpa pandang bulu akan menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap institusi. Pada akhirnya, mereka membayar  pajak secara sukarela.

Minggu, 25 Februari 2024

Pindang Baung Benteng Kuto Besak

Vivin namanya. Undangan mengajar ke Palembang mempertemukan saya kembali dengan perempuan berkulit putih dan bermata sipit ini. Kami pernah menjadi rekan kerja di kawasan Kalibata-Jakarta, sebelum ia pindah ke kampung halaman mengikuti suami. 

Sebagaimana perempuan Palembang pada umumnya, adik kelas yang satu ini mempunyai keberanian diatas rata-rata. Saya yang "merasa" sebagai perempuan pemberani karena biasa pergi kemana-mana sendiri, ternyata masih kalah berani dengannya.

Betapa tidak, tukang parkir bermuka sangar menghadang kami malam itu. Dia memaksa kami parkir di tempat gelap yang ditunjuknya, dengan tarif yang kami tak tau berapa. Ibu dari 2 balita ini tetap tenang menginjak pedal gas  meski si abang persis berada di depan hidung Xenia-nya. Alhasil si abang parkir terpaksa lompat minggir. Masih punya rasa takut ketabrak rupanya. Deg-degan lah saya dibuatnya. Dua meter kemudian, terulang kejadian yang sama. Tiga kali kami dihadang tukang parkir. 

Selepas menraktir saya pempek dan es kacang merah, Vivin membawa saya ke Benteng Kuto Besak. Saya membaca nama itu di papan nama besar saat mobil berbelok menuju lokasi parkir. Padahal sebelum berangkat saya minta diantar ke Jembatan Ampera, bukan ke benteng. Belum sah rasanya berkunjung ke kota ini tanpa berfoto dengan  jembatan legendaris yang menghubungkan Palembang Ulu dan Ilir itu.

Belum sempat protes, ibu muda ini berkata, "coba tengok ke kiri buk." Ahaay, rupanya saya sudah berada di sisi Jembatan Ampera yang gagah menjulang. Ia menopang berbagai kendaraan yang berseliweran diatasnya dan kolongnya dilalui oleh kapal beraneka ukuran. Sorot lampu menambah keindahan jembatan sepanjang 1,117 km itu. Lebarnya 22 meter, jadi jarang macet lah ya.

Dulu, bagian tengah jembatan bisa dibuka-tutup untuk memberi jalan kepada kapal-kapal berukuran besar. Namun sejak tahun 1970 hal ini tidak dilakukan lagi karena pertimbangan keselamatan. Puncak tower penyangga jembatan difungsikan sebagai restoran mini dimana pengunjung bisa menikmati keindahan kota dari ketinggian. Tersedia lift untuk naik kesana.

Saya menengok ke kanan, membentang Benteng Kuto Besak yang namanya saya baca di papan nama tadi. Bangunan berukuran 288,75 x 183,75 meter ini dulu adalah pusat Kesultanan Palembang. Ide pembuatan benteng diparakarsai oleh Sultan Mahmud Badaruddin I (1724-1758), namun pembangunan dilaksanakan oleh Sultan Mahmud Bahauddin (1776-1803). Perekat bangunan menggunakan batu kapur ditambah dengan putih telur. Teknologi belum semaju sekarang, pembangunan benteng diselesaikan dalam waktu yang cukup lama, 17 tahun.


Sisa Jetlag masih belum sepenuhnya hilang. Badan minta hak untuk diistirahatkan. Setelah berfoto dan berkeliling sebentar kami memutuskan pulang ke penginapan. Esok hari masih ada kegiatan belajar-mengajar yang membutuhkan stamina dan konsentrasi yang baik. 

Sebenarnya saya masih penasaran dengan Sungai Musi. Saya tidak dapat menikmati keindahan sungai di kegelapan malam kemarin. Setelah menuntaskan kegiatan pada hari kedua,  kami berdua kembali kesana. Masih dihadang lagi oleh abang parkir yang sama. Dan Vivin menginjak pedal gasnya lebih keras lagi. Puas rasanya melihat ekspresi abang parkir melihat duo emak yang gak ada takut-takutnya. ha..ha..

Setelah melewati lapak para pedagang di sepanjang sisi dermaga, kami menjumpai beberapa kapal kayu yang difungsikan sebagai warung apung. Menu andalan khas Palembang seperti pempek, model, kapal selam, tekwan, dan pindang disajikan disini. Sepertinya seru juga sensasi makan diatas perahu, meskipun tertambat.

Seorang bapak tua duduk di dermaga menyambut kami sore itu. "Ayo Ayuk, naik perahu. Lima puluh ribu saja," ajaknya. Hari sudah petang, mungkin si bapak masih ingin mengumpulkan rupiah untuk dibawa pulang. Tanpa berpikir panjang saya mengiyakan. Jadilah kami berdua menyusuri tepian Sungai Musi yang arusnya cukup deras. Angin bertiup kencang, agak ciut juga nyali saya. Apalagi kondisi mulai temaram. Dulu almarhumah ibu selalu menghardik saya jika masih berkeliaran di luar rumah saat maghrib menjelang. Banyak sawan, katanya. Ahh saya berdzikir dalam hati, meminta keselamatan kepada Sang pemberi kehidupan.

Sesekali si Bapak mengarahkan kami untuk mengambil foto di spot-spot yang instagramable. Rupanya beliau sudah berpengalaman membawa penumpang ibu-ibu narsis semacam kami. Selain kapal kayu yang kami tumpangi, ternyata ada juga speedboat berkecepatan tinggi yang membawa para pelancong. Nyalinya besar juga.

Seumur-umur baru kali ini saya melihat secara langsung kapal-kapal besar pengangkut batubara. Kapal berukuran beberapa kali lipat rumah saya itu hilir mudik di sungai yang kedalamannya mencapai 165 meter. Hmm..membayangkan kedalamannya membuat saya bergidik ngeri. Sungai sepanjang 750 km ini memang menjadi sarana transportasi utama di wilayah ini. Berbagai bahan kebutuhan pokok dan hasil bumi diangkut menggunakan perahu berbagai berukuran.

Konon, nama Sungai Musi berasal dari Bahasa Cina: Mu Ci, yang artinya ayam betina. Para pelaut Cina memberi nama itu karena tanah di sekitar sungai ini subur dan penduduknya dikenal baik. Nama ayam betina dipilih karena memberi keuntungan kepada manusia (banyak telurnya).

Adzan maghrib telah berkumandang. Mentari tergelincir membelah siluet patung ikan belida yang menjadi salah satu maskot kota Palembang. Bapak nakhoda mengarahkan perahu kami ke dermaga salah satu resto. Kami memutuskan makan malam di situ sambil menumpang sholat maghrib. 

Saya memilih menu pindang ikan Baung, karena ikan patin sudah sering saya jumpai di Jakarta. Ternyata rasanya beda tipis, cuma dagingnya agak lebih padat dibanding patin. Paduan rasa asin, manis, asem, dan sedikit pedas menghilangkan "bau tanah" yang sering kita rasakan ketika menikmati ikan air tawar. 

Ikan baung hidup di perairan tawar yang tenang seperti waduk dan rawa. Dibanding ikan patin, ukuran badan ikan baung lebih pendek, kepala lebih besar, dan siripnya lebih tumpul. Ia berjenis omnivora (pemakan segala), sehingga umpan yang digunakan untuk memancing ikan ini beragam, bisa hewan maupun tumbuhan. Kemajuan teknologi perikanan telah berhasil membudidayakan ikan baung di berbagai lingkungan dengan sistem monokultur (ikan sejenis) maupun polikultur (bersama jenis ikan yang lain).


Perut kenyang, kantukpun menyerang. Resep pindang ikan baung sudah saya catat. Insyaallah kapan-kapan akan saya masak untuk keluarga. Menu ini cocok untuk saya yang mendekati usia kepala 5, karena kaya kandungan lemak baik, omega-3, protein, dan vitamin B12. Yang pasti, proses memasaknya cepat dan mudah, semua bahan tinggal di-cemplungin. Cocok untuk pemalas seperti saya.

Palembang, 22 Februari 2024


Jumat, 23 Februari 2024

Stadion 1,18 Triliun



Badan rasanya nano-nano. Bepergian dengan pesawat udara ke 2 kota yang berbeda dalam 4 hari cukup menguras energi. Saya harus sampai di lokasi pukul 8 pagi, sehingga berangkat dari Jakarta sebelum subuh. Bagi anda yang sering naik pesawat melalui Terminal 3 Bandara Internasional Soekarno-Hatta tentu paham, bagaimana rasanya menggendong ransel sambil  berlarian di koridor terminal sepanjang 2,4 km itu.

Kegiatan hari itu sudah tuntas. Keesokan paginya, rebahan selepas sholat subuh ternyata tak banyak membantu mengembalikan stamina. Ditambah lagi kepikiran anak bontot, yang sempat melow karena beberapa hari gak ketemu emaknya. Mengeluarkan keringat  sepertinya patut dicoba. Mana tau jadi moodbooster, mengembalikan nyawa yang separuhnya tidak berada pada tempatnya.

Pekanbaru kota yang kecil. Kemacetan tak separah Ibukota, sehingga taksi online yang saya pesan tiba dengan cepat. Awan mendung menggantung, menggoda iman. Sempat galau. Jadi - nggak - jadi - nggak. Ahh, saya memutuskan untuk berperang melawan malas. Gass..

Pak sopir menghentikan mobil tepat di depan pintu masuk. Celingak-celinguk saya mencari tulisan nama stadion ini. Gak ketemu. Saya bertanya kepada penjual minuman, dimana saya bisa menemukan nama stadion ini. Ternyata memang tidak ada papan nama apapun yang disematkan di gelanggang olahraga ini. Gagal deh ber-swafoto di depan tulisan.

Stadion yang mampu menampung 43.923 orang ini mulai dibangun pada tahun 2009-2012. Menghabiskan dana Rp1,18 triliun, venue ini digunakan untuk perhelatan Pekan Olahraga Nasional (PON) ke - 18 yang berlangsung dari tanggal 11 - 20 September 2012. Lokasinya berada di jalan Naga Sakti, Simpang Baru, Tampan, Pekanbaru. Setahun kemudian, fasilitas ini juga digunakan untuk menyelenggarakan kualifikasi kejuaraan sepakbola U-22.

Bangunan gedung stadion seluas 7,4 hektar, sedangkan luas total dengan sekelilingnya 66,4 hektar. Sekarang kondisi stadion dan sekelilingnya tampak kurang terawat. Rumput ilalang tumbuh tak beraturan. Sampah berserakan dari mulai jalan masuk sampai stadion. Kerusakan dan vandalisme membuat bangunan megah ini menajdi terkesan kumuh. 

Andai dikelola dengan baik, stadion ini bisa menjadi sarana publik yang bermanfaat untuk banyak orang. Masyarakat bisa berolahraga dan mencari nafkah dengan berjualan makanan/minuman. Dana sebesar itu, seharusnya bisa bermanfaat lebih lama, bukan saat PON saja. Selain APBD, biaya pemeliharaan seharusnya bisa diperoleh dari retribusi karcis untuk memasuki venue. Tidak harus semahal Gelora Bung Karno yang mematok tarif Rp00 ribu untuk memasuki stadion. Mungkin 5 - 10 ribu rupiah saja sebagai kontribusi dari pengguna fasilitas publik.

Pemerintah Provinsi Riau sebenarnya telah berniat untuk melakukan revitalisasi fasilitas ini. Namun, mengingat kebutuhan dana yang cukup besar, perbaikan dilakukan secara bertahap. Perbaikan dimulai dari  perbaikan dalam gedung seperti instalasi listrik, air, toilet, dan kebersihan bagian dalam. Sedangkan perbaikan secara total masih menunggu investor atau bantuan dari pemerintah pusat.

Penampakan lingkungan stadion kurang menarik, sehingga tidak banyak orang yang berolahraga disini. Pagi itu, saya adalah orang ketiga yang memasuki lingkungan stadion. Menyusul kemudian serombongan pemuda dan sepasang anak-bapak yang sedang belajar naik sepeda. Saya hitung, total sekitar 20 orang yang melakukan aktivitas jogging, bersepeda, bulu tangkis, atau sekedar duduk-duduk disini. 

Saya menyewa sepeda seharga Rp20.000,- untuk mengelilingi stadion sepuasnya. Tidak ada batasan waktu kapan sepeda harus dikembalikan. Cuaca perlahan berubah menjadi cerah. Mendung mundur teratur, berganti surya yang akan menjalankan perannya menerangi alam semesta.


Jajaran pohon kelapa sawit nan rapi nampak dari kejauhan. Primadona Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang konon mengakibatkan provinsi ini kaya raya. Selain PAD, Sektor Perkebunan kelapa sawit mendapatkan Dana Bagi Hasil (DBH) yang diberikan oleh Pemerintah Pusat. DBH berasal dari APBN yang komponen terbesarnya berasal dari pajak. Pada Tahun 2023 Provinsi Riau menduduki peringkat pertama perolehan DBH sawit, yaitu sejumlah Rp83,13 miliar. Disusul oleh Sumatera Utara dan Kalimantan Barat di urutan kedua dan ketiga.

Tidak perlu heran, karena Riau adalah penghasil sawit terbesar di negeri ini. Provinsi di tepi Selat Malaka ini memiliki 2,86 juta hektar kebun kelapa sawit.  Kurang lebih 19 % dari total kebun kelapa sawit di Nusantara.


Matahari mulai bergerak meninggi. Peluh membasahi kaos yang saya pakai. Mengayuh sepeda beberapa putaran telah memperbaiki mood saya pagi ini. Rupanya benar artikel yang pernah saya baca di website Rumah Sakit Siloam, https://www.siloamhospitals.com/informasi-siloam/artikel/apa-itu-hormon-endorfin. Ketika berolahraga, tubuh akan memproduksi hormon endorfin yang memberikan energi positif dan memperbaiki kesehatan mental.

Sayapun bergegas kembali ke penginapan, karena harus segera kembali ke Jakarta. Sudah kangen dengan suami dan anak-anak.

Pekanbaru, 23 Februari 2024



Senin, 22 Januari 2024

Berkelana ke Samalona


Saya mendengar nama ini dari lagu reggae karya alm. Imanez yang dirilis pada tahun 1996. Generasi Gen Z belum tentu kenal dengan mantan bassis grup musik Slank yang bernama asli Abdul Firmansyah Jusuf Saad ini. Lagu ini bercerita tentang keindahan pulau mungil seluas 2,34 hektar yang berada di sebelah barat daya pantai barat Makassar. Kurang lebih berjarak tujuh kilometer dari sana.

Samalona adalah salah satu pulau di gugusan Kepulauan Spermonde, wilayah Kelurahan Lae-Lae, Kecamatan Ujung Pandang, Kota Makassar. Konon nama Spermonde diberikan oleh orang Belanda, karena jajaran pulau-pulau itu bentuknya mirip seperti gerakan sperma. 

Pertengahan Agustus 2023, saya dan teman-teman berkunjung ke tanah Daeng. Beberapa kawan yang kami jumpai di kota ini merekomendasikan Samalona untuk berwisata. Hari Sabtu pukul tujuh pagi, selepas sarapan kami bergegas menuju dermaga Kayu Bangkoa, Losari. Jarak dari penginapan ke dermaga hanya sekitar 700 meter. Kami tempuh dengan berjalan kaki kurang lebih 10 menit.

Pak Chaerul, pemandu kami, sudah standby menunggu di atas kapal motornya. Setelah berbincang dan mencapai kesepakatan harga, kapal segera melaju menuju Samalona. Beliau menjelaskan, masih banyak pulau-pulau lain dengan penghuni asli yang turun- temurun tinggal disana. Ada Pulau Kayangan, Barrang Lompo, dan Lae-lae.

Kapal motor yang kami tumpangi mampu mengangkut 10-15 penumpang. Tentu saja kami harus mengatur posisi duduk agar kapal seimbang. Tak ada peralatan keselamatan di kapal ini. Jasa antar jemput kapal kami bayar seharga Rp500 ribu untuk seharian.


Kurang lebih 35 menit kami menikmati perjalanan laut.  Cuaca pagi itu cerah, sehingga kami bisa melihat dengan jelas hilir mudik kapal kargo, kapal nelayan pencari ikan, juga kapal kecil yang dinaiki para wisatawan. Udara Makassar yang panas tak terasa, tersapu oleh angin laut yang menderu-deru.

Sampai di dermaga Samalona, plang selamat datang menyambut kami. Terpampang logo Direktorat Jenderal Pajak di papan itu. Ternyata Kanwil DJP Sulawesi Selatan, Barat dan Tenggara pernah mengadakan aksi sosial di pulau ini pada tanggal 28 Juli 2022. Aksi Pajak Peduli Lingkungan dilaksanakan dalam rangka Hari Pajak yang diperingati setiap tanggal 14 Juli.



Sejumlah 81 relawan pajak menyerahkan bantuan sosial kepada penduduk setempat berupa peralatan kebersihan, tempat sampah, perlengkapan ibadah, dan sembako. Para relawan juga melakukan aksi pembersihan sampah, serta memperbaiki papan nama Samalona. Kegiatan ini diharapkan dapat meningkatkan hubungan baik antara DJP dan masyarakat.

Pasir halus berwarna putih menjadi pembatas area pulau dengan laut yang jernih. Rombongan ikan dapat dilihat dengan jelas, sehingga mudah ditombak atau dijaring. Kami menjumpai sebuah keluarga yang sedang membakar ikan ayam-ayam (balistidae) dan cumi berukuran besar, hasil dari menombak. Sedap sekali baunya.


Sembari duduk di saung, kami memesan pisang Peppe, pisang goreng khas Makassar yang disajikan dengan sambal terasi. Awalnya terasa aneh di lidah saya, tapi lama-lama enak juga. Disajikan panas-panas sebagai teman kopi hitam. Apalagi makan bersanding dengan belahan jiwa.  Ahayy nikmatnyaa. 

Selain cemilan, kita bisa memesan makanan besar dengan lauk-pauk lengkap. Penduduk setempat membuka warung makan dengan menu andalan ikan dan hasil laut lainnya. Ikan bisa dimasak dengan bumbu pallumara, pallukaloa, parape, dst.


Seperti lazimnya pantai wisata lain, dermaga Samalona menjadi spot foto terbaik. Latar belakang birunya air laut yang memantulkan cahaya surya menjadi favorit pengunjung. Di sini kami juga menyaksikan anak-anak lokal berlompatan turun ke laut, memamerkan kemampuan berenang mereka yang tentu tak diragukan lagi. Mereka menggoda rombongan ikan sehingga tercerai berai. Anehnya, sekian detik kemudian para ikan itu berkumpul kembali. Insting dari Sang Pencipta, agar mereka dapat membela diri bersama-sama.


Beberapa wisatawan asing tampak menghuni beberapa penginapan sederhana di pulau ini. Pasokan listrik berasal dari genset, karena tidak mungkin listrik PLN sampai ke tempat ini. Warung serba ada menyediakan kebutuhan para pelancong. Barang-barang kebutuhan dikirim melalui kapal, sehingga harganya cukup mahal karena ditambah harga solar sebagai bahan bakar kapal motor.

Penyewaan peralatan snorkeling tampak berjajar di pinggir pantai. Satu set alat yang terdiri dari masker, cerobong udara (snorkel), fins (sepatu katak), dan jaket pelampung disewakan dengan harga Rp150 ribu. Khabarnya terumbu karang dan biota laut di sekitar pulau ini sangat indah, sehingga penyewaan alat snorkeling ini laris manis diserbu pengunjung.

Kami berjalan kaki mengelilingi pulau. Tampak bendera merah putih terpasang di pinggir pantai. Ia berkibar dengan gagah ditiup angin laut, seolah sedang berkata: tempat indah ini milik Indonesia, wajib kau jaga. Kamipun bergiliran mengambil foto disamping Sang Saka. Ada rasa haru menyeruak di dada.


Matahari mulai tergelincir ke arah barat. Pak Chaerul sudah beberapa kali memberi kode, agar kami segera menaiki kapal. Waktu berkunjung telah habis, dan kami harus segera kembali ke Losari. Sebagai kenangan terakhir, beliau memutar haluan kapal, kemudian mengambil foto kami dengan latar belakang Samalona yang indah.  Berfoto dengan handphone jadul pun hasilnya  seindah ini. 
Ahh.. priceless moment.



Berbekal udara bersih dan segar yang telah memenuhi paru-paru, kami kembali ke Makassar. Menabung memori, bahwa kami pernah sampai di pulau eksotis ini. Insyaallah, suatu saat nanti kami akan kembali.

See you next time, Samalona




Sabtu, 20 Januari 2024

Mamuju, Kutitipkan Suamiku Padamu


        Akhirnya saya berkesempatan singgah di kota ini. Sehari sebelum berangkat, teman-teman kantor kompak ngeledek, "MAMUJU - MAju MUndur JUrang, gak ada apa-apa disana. Hmm. apa iya? batin saya. Bukankah statusnya ibukota provinsi?

         Selain menjenguk suami, agenda saya disana adalah membersamai ibu-ibu Dharma Wanita Persatuan (DWP) BPKP Perwakilan Sulawesi Barat. Mereka mengadakan pelatihan kewirausahaan dalam rangka ulang tahun DWP dan memperingati Hari Ibu. Kebetulan saya diminta untuk mengajarkan ketrampilan merajut. Selain saya ada dua narasumber lain, yaitu Bu Kaper -Tuti Harry Bowo yang mengajarkan ketrampilan coklat praline dan Bu Dharma Biarawati Soenyoto, pendamping dari Diskoperindag-UMKM Provinsi Sulawesi Barat

Langit biru berhias awan putih menemani si burung besi terbang dari Cengkareng menuju bumi Manakarra via Makassar.  Perjalanan udara dari bandara Internasional Soekarno Hatta menuju Makassar kami tempuh selama 2 jam 30 menit. Sedangkan durasi perjalanan dari Bandara Hasanuddin - Bandara Tampa Padang adalah 55 menit. 

Perjalanan ini tidak terasa membosankan. Ketika pesawat mulai memasuki siluet huruf K, jajaran pulau-pulau kecil menyapa. Perpaduan yang elok antara birunya laut, pasir putih, dan pohon hijau memanjakan mata. Awan putih berarak-arak, langit luas tak terbatas, menegaskan bahwa kita ini sungguh makhluk kecil tak berdaya. Tak berhak jumawa. 

Sepuluh menit sebelum mendarat, deretan jurang lebar menyambut kami. Ternyata benar kata mereka: maju mundur jurang. Perbukitan dan hamparan pantai saling berpagutan membentuk irama harmoni. Saling melengkapi. 

Berdasarkan laman resmi Provinsi Sulawesi Barat www.berita.sulbarprov.go.id, provinsi ini berdiri pada tanggal 5 Oktober 2004 melalui UU No. 26 Tahun 2004. Mamuju dipilih sebagai ibu kota, dan menjadi salah satu dari tujuh ibu kota provinsi di Indonesia yang belum bersatus otonom. Enam kota lainnya adalah Manokwari di Papua BaratSofifi di Maluku UtaraMerauke di Papua SelatanNabire di Papua TengahTanjung Selor di Kalimantan Utara, dan Wamena di Papua Pegunungan.

Luas wilayah provinsi di pinggang Sulawesi ini 16,796.19 km² dengan jumlah penduduk sebanyak 283.282 jiwa. Bandingkan dengan Provinsi DKI Jakarta yang luasnya hanya 661,52 km, tetapi jumlah penduduknya 38 kali lipat (10,6 juta jiwa). Saya yang terbiasa dengan kemacetan dan hiruk-pikuk ibukota, jadi betah dengan situasi kota kecil ini. Udara terasa segar dan kemana-mana lancar.



        Sore hari saya singgah sejenak di pantai Manakarra, salah satu pantai di jantung kota Mamuju. Begitu turun dari mobil, terdengar lagu campursari Stasiun Balapan-nya alm. Didi Kempot. Rupanya disetel oleh penjaga stand komidi putar, mengiringi anak-anak yang tergelak-gelak menikmati hiburan sore. Sulawesi rasa Jawa rupanya. 

        Dari arah kanan, sayup-sayup mengalun lagu Bugis, "Itaneng Tenri Bolo", artinya:  ditanam tapi tak disiram. Lagu yang menceritakan perasaan seseorang yang diperlakukan seenaknya oleh pasangan yang dicintainya. 

        Ternyata penghuni kota ini terdiri dari campuran berbagai suku. Mayoritas dihuni oleh Suku Mandar (49,15%), disusul beberapa suku lainnya yaitu Toraja (13,95%), Bugis (10,79%), Jawa (5,38%), Makassar (1,59%) dan sisanya suku lainnya (19,15%). Tak heran jika jenis jajanan di sini beraneka ragam. Ada makanan Jawa, Sulawesi, bahkan Sumatera.

        Senja terasa syahdu. Saya menikmati alunan adzan maghrib nan merdu dari Masjid Jami' Nurul Muttahida yang berada di seberang pantai, sambil memandang para remaja tanggung bermain bola air. Matahari perlahan-lahan pulang ke peraduan. Warna jingga  merona pelan-pelan berubah menjadi gelap sempurna. Isyarat untuk kita, agar rehat sejenak dari riuhnya urusan dunia.

Pasca dihantam gempa bumi berskala 6,2 skala Richter di tahun 2021, kota yang semula hancur lebur kini mulai berbenah. Beberapa gedung pemerintahan telah dibangun kembali. Masyarakat mendapatkan subsidi berupa uang tunai dari pemerintah melalui Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) untuk membangun kembali rumah-rumah mereka yang roboh. Perekonomian perlahan mulai menggeliat. Toko dan rumah makan bermunculan.



        Pada hari kedua saya mengunjungi pantai Tapandullu dan Pantai Rangas. Kok pantai terus? Ya karena disana belum ada tempat wisata selain itu. Ada satu pusat perbelanjaan, bernama Maleo Town Square (MATOS). Mall ini beroperasi kembali pada tanggal 16 Desember 2023, setelah mengalami kerusakan parah akibat gempa. Belum banyak tenant yang berjualan di dalamnya. 



        Pemandangan di pantai yang saya kunjungi sangat indah. Laut biru terhampar, disela oleh pulau kecil yang menyembul malu-malu. Disini tidak ada polusi dan sampah plastik yang biasa kita temukan di pantai-pantai Jawa. Sayangnya, sarana dan prasarana seperti toilet, warung, penginapan, belum selengkap pantai di kota wisata lainnya. Jika dikelola dengan baik, pantai ini bisa menjadi potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang cukup menjanjikan. 
    Ikan-ikan panjang berbentuk aneh berseliweran di pantai bersih sebening kaca. Aneh buat saya yang lahir di gunung, taunya cuma ikan cue dan ikan tongkol. Rasanya kepengin bawa serokan, terus ikannya dibakar, dimakan dengan nasi panas dan sambel dabu2. Aduhai nikmatnya.

    Hari ketiga saya berkunjung ke Tempat Pelelangan Ikan (TPI) di Jl. Dr. Sam Ratulangi No.73, Binanga. Berbagai jenis ikan laut segar dijual dengan harga murah. Sekilo ikan tongkol cuma dihargai Rp10 ribu. Baronang, kerapu, tuna, cakalang, tenggiri lengkap ada disini. Saya menahan diri untuk tidak memborong ikan, beli secukupnya saja. Mengingat kami hanya berdua, dan suami (sebagai jomblo lokal) tidak punya alat lengkap untuk memasak.

         

        Ikan segar tak hanya bisa kita beli dari TPI, tetapi juga di pasar tradisional, baik Pasar Lama maupun Pasar Baru Mamuju. Pasar Lama setidaknya pernah mengalami lima kali kebakaran, terakhir pada 26 Februari 2023. Kebakaran tersebut diduga akibat korsleting listrik dari lapak pedagang. Kondisi drainase yang kurang baik serta kurangnya pengelolaan sampah mengakibatkan bau yang kurang sedap. Penataan lapak pedagang kurang rapi, sehingga terkesan semrawut. Meskipun begitu, pasar ini tetap menjadi favorit ibu-ibu setempat, karena sangat lengkap dan harganya murah.

Setelah terbengkalai selama kurang lebih 2 tahun, Pasar Baru Mamuju di jalan Abd. Syakur diresmikan pada 14 April 2021. Kondisi pasar yang pembangunannya menghabiskan dana sebesar Rp5 miliar ini cukup rapi. Pelataran difungsikan sebagai area parkir yang mampu memuat banyak kendaraan, mobil maupun motor. Sayur-mayur, buah-buahan, dan hasil bumi lainnya bisa kita beli disini.

Tak terasa sudah empat hari saya berada di kota ini. Saatnya kembali ke kehidupan nyata. Menjalani Long Distance Marriage (LDM) dengan bapaknya anak-anak. Kami harus menjalankan peran masing-masing. Suami menjemput rejeki di Sulawesi, sedangkan saya mengurus anak-anak di Jakarta. Meski tak mudah, ada Allah yang selalu menjaga. 

Mamuju, kutitipkan suamiku padamu.



Mamuju, Sulawesi Barat

Desember 2023

Kamis, 04 Januari 2024

Flexible Working Space, Cara Ngantor Kekinian





Opini pada Majalah INTAX, Edisi 6 Tahun 2023

Latar Belakang

Status pandemi di Indonesia resmi berakhir pada pertengahan tahun ini. Presiden Joko Widodo menandatangani Keppres Nomor 17 Tahun 2023 tentang Penetapan Berakhirnya Status Pandemi Corona Virus Disease 2019 di Indonesia tanggal 22 Juni 2023. Pola kerja Work From Home (WFH) yang berlaku saat pandemi, telah mengubah makna diksi “bekerja” ke dalam terminologi baru, yaitu tidak harus berada di kantor utama.  

Pasca era WFH, Flexible Working System (FWS) menjadi alternatif pilihan baru. Selain di kantor, pegawai bisa bekerja di tempat tinggal masing-masing atau lokasi lain yang relatif dekat dengan tempat tinggal pegawai. FWS diharapkan menjadi cara kerja baru yang dapat menjaga dan meningkatkan produktivitas pegawai.

 Manfaat dan Tantangan

Beberapa manfaat FWS antara lain:

1.     Mengurangi waktu perjalanan ke kantor.

Pegawai harus menyediakan banyak waktu untuk mencapai kantor. Apalagi jika melewati rute kemacetan yang menambah durasi perjalanan dan menimbulkan suasana hati yang tidak nyaman. Waktu tersebut seharusnya dapat digunakan untuk melakukan kegiatan lain yang lebih bermanfaat.  

2.     Menghemat biaya.

Pegawai dapat mengalokasikan biaya transportasi dan makan siang di kantor untuk keperluan lain.

3.     Work Life Balance.

Produktifitas pegawai meningkat karena mereka dapat melaksanakan pekerjaan dengan baik dan masih ada waktu untuk diri sendiri dan keluarga. Pegawai dapat mengatur waktu dan tempat bekerja sesuai dengan selera dan suasana hatinya.

4.     Mengurangi kemacetan dan polusi udara. 

Pegawai yang berkantor di kota-kota besar harus menghadapi kemacetan setiap hari. Emisi kendaraan bermotor memenuhi udara dengan polutan yang berdampak buruk pada kesehatan pegawai.

 

Setiap perubahan tidak hanya hanya menimbulkan manfaat, tapi juga tantangan seperti:

1.     Koordinasi antar pegawai terhambat, sehingga perlu ditetapkan waktu tertentu untuk berkumpul dengan semua pegawai di kantor.

2.     Batasan jam kerja yang tidak jelas juga menjadi keluhan pegawai. Penugasan diluar jam kerja sering terjadi, sehingga pegawai menjadi sering lembur di lokasi FWS.

3.     Gangguan kerja baik dari diri sendiri maupun keluarga menjadi kendala, sehingga diperlukan kedisiplinan dan manajemen waktu yang baik.

4.     FWS tidak disukai oleh pimpinan yang kurang percaya kepada bawahan. Di sisi lain, cara ini juga tidak cocok untuk bawahan yang kinerjanya tergantung kepada pengawasan pimpinan. Sistem monitoring kinerja pegawai harus disiapkan untuk menjembatani kendala ini.

 FWS pada Kementerian Keuangan

Kementerian Keuangan telah dua kali melaksanakan survei kepada pegawai terkait FWS, yaitu pada Tahun 2019 dan 2022. FWS merupakan salah satu topik yang ditanyakan kepada responden melalui Survei Ministry of Finance Organizational Fitness Index (MOFIN). Tujuan survei MOFIN  untuk menjaga kesehatan organisasi, dengan mengukur apa yang terjadi dan juga alat untuk menyampaikan aspirasi pegawai kepada organisasi.

Hasil survei disajikan pada diagram berikut:

Keterangan:

A.    Harapan Pegawai

Fleksibilitas jam kerja diharapkan oleh 57% responden. Sejumlah 31% responden ingin menerapkan pola kerja FWS, dan sisanya tidak mengharapkan pola kerja fleksibel sebanyak 12%.

B.    Harapan Pegawai

Sebanyak 60,82% responden berminat untuk menerapkan pola kerja FWS dengan lokasi bekerja di mana saja. 24,67% responden mengharapkan dapat bekerja dari Kantor Kemenkeu terdekat. Sedangkan sisanya ingin bekerja dari rumah sejumlah 14,5%.

 

Hasil survei MOFIN terkait FWS tersebut ditindaklanjuti dengan penetapan dasar hukum sebagai pijakan pelaksanaan FWS, yaitu:

1.     Keputusan Menteri Keuangan Nomor KMK-223/KMK.01/2020 tanggal 6 Mei 2020 tentang Implementasi Fleksibilitas Tempat Bekerja (Flexible Working Space) di Lingkungan Kementerian Keuangan;

2.     Keputusan Menteri Keuangan Nomor KMK-453/KMK.01/2020 tanggal 8 Oktober 2020 tentang Pedoman Pelaksanaan Activity Based Workplace di Lingkungan Kementerian Keuangan;

3.     Keputusan Menteri Keuangan Nomor KMK-416/KMK.01/2020 tanggal 26 November 2023 tentang Sistem Kerja Fleksibel di Lingkungan Kementerian Keuangan.

Kriteria pekerjaan yang diprioritas untuk melaksanakan FWS adalah yang terkait dengan perumusan kebijakan atau rekomendasi kebijakan, pekerjaan yang tidak berhubungan secara tatap muka dengan pengguna layanan (baik internal maupun eksternal Kementerian Keuangan), dan pekerjaan yang dapat dilakukan dengan menggunakan fasilitas daring. Selain ketiga kriteria tersebut, masing-masing Unit Eselon I atau Unit Organisasi Non-Eselon dapat menetapkan kriteria lainnya setelah mendapat rekomendasi dari Sekretaris Jenderal.

Siapa saja yang boleh melaksanakan FWS? Pegawai yang dapat melaksanakan FWS harus memenuhi seluruh kriteria sebagai berikut:

1.     memiliki Nilai Prestasi Kerja Pegawai (NPKP) paling rendah bernilai "baik" untuk satu tahun penilaian sebelumnya;

2.     tidak sedang dalam proses pemeriksaan terkait dengan pelanggaran disiplin atau tidak sedang menjalani hukuman disiplin berdasarkan ketentuan yang berlaku; dan

3.     dapat bekerja secara mandiri, bertanggung jawab, berkomunikasi efektif dengan atasan, rekan kerja dan pihak lain serta responsif terhadap instruksi penugasan.

Pimpinan yang berwenang dapat menugasi sebagian/seluruh pegawai pada unit kerjanya untuk melaksanakan FWS jika terjadi bencana alam, bencana non alam, bencana sosial atau keadaan tertentu lainnya.

Kementerian Keuangan telah menetapkan lokasi dan mekanisme pelaksanaan FWS yang dibagi ke dalam 4 kategori yaitu: Work From Home, Co-Working Space, Satellite Office, dan lokasi lainnya.

Work From Home adalah bekerja dari rumah, tempat tinggal sementara, dan homebase. Pegawai wajib menyediakan sarana dan prasarana penunjang seperti ruang kerja yang memadai,  perangkat komputer, koneksi internet yang baik, serta mengaktifkan aplikasi percakapan dan rapat daring apabila diperlukan. Pegawai  harus mampu mengontrol dirinya dan membangun kebiasaan disiplin secara mandiri tanpa pengawasan atasan.  Bekerja dari rumah atau di kantor tetap memiliki kewajiban dan tanggung jawab yang sama.

Co-working Space adalah unit pada Kementerian Keuangan yang telah menerapkan konsep Activity Based Workplace (ABW) dan digunakan sebagai ruang kerja bersama. Kantor Pengelolaan Teknologi Informasi dan Komunikasi Barang Milik Negara (KPTIK BMN) Makassar ditunjuk sebagai piloting project metode ini, selanjutnya diikuti oleh berbagai kantor lain di lingkungan Kementerian Keuangan. Pegawai tidak mendapatkan alokasi meja secara khusus. Mereka bersama-sama berada pada ruang terbuka sehingga bisa saling bertukar meja. Cara ini diharapkan dapat mendorong terciptanya iklim kolaboratif, inovatif, dan kreatif di kalangan pegawai.

Satellite Office adalah kantor di luar kantor pusat atau kantor utama yang dapat digunakan untuk bekerja oleh pegawai di seluruh unit di Kementerian Keuangan. Pada tahap awal, Sekretariat Jenderal Kemenkeu telah menunjuk Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) Bogor yang berada di daerah Paledang, Bogor sebagai pilot project satellite office. Kota Bogor terpilih karena menjadi penyangga Ibukota Jakarta, sehingga pegawai yang berkantor di Jakarta tidak harus menempuh perjalanan jauh menuju ke kantor. Pada lokasi tersebut disiapkan ruang kerja dengan konsep open space yang dapat menampung banyak pegawai. Ruang tersebut dilengkapi dengan koneksi internet dan intranet, tempat penyimpanan barang pribadi, sarana ibadah dan fasilitas pelengkap lainnya.

Lokasi lain dapat ditetapkan sebagai tempat bekerja pegawai apabila terdapat kondisi tertentu dan tentu saja atas persetujuan pimpinan. Lokasi tersebut harus memiliki sarana dan fasilitas penunjang pelaksanaan tugas, serta tidak membahayakan keamanan, kesehatan, keselamatan, dan mencemarkan nama baik pegawai dan organisasi.

Kementerian Keuangan terus melakukan upaya peningkatan sarana dan prasarana terkait FWS, diantaranya: penyempuranaan fitur kolaborasi pada aplikasi e-Kemenkeu, perbaikan proses bisnis yang mendukung pelaksanaan FWS, serta penyesuaian pengadaan Barang Milik Negara (BMN) dengan mengganti komputer meja (desktop) menjadi komputer jinjing (laptop).

Selain tempat bekerja, fleksibilitas waktu bekerja juga telah diatur pada KMK-416/2023 tersebut. Pekerjaan dapat dilakukan melalui pengaturan khusus, dimana ketentuan hari dan jam kerja pegawai ditetapkan dengan mempertimbangkan jenis mekanisme sbb:

1.     mekanisme rotasi kerja (shift);

2.     mekanisme penjadwalan (roster); dan

3.     mekanisme bekerja lainnya.

Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPANRB) menyatakan bahwa pengaturan FWS pada Kemenkeu adalah salah satu best practice yang dapat dijadikan teladan oleh kementerian lain. Pada tanggal 29 September 2020, tim dari Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan mendapatkan undangan untuk melakukan sharing session penerapan FWS sebagai masukan untuk penyusunan kebijakan Flexible Working Arrangement  tingkat nasional.

 

Penutup

Flexible Working Space merupakan salah satu Inisiatif Strategis untuk menyukseskan transformasi digital yang merupakan bagian dari Reformasi Birokrasi Kementerian Keuangan. Penerapan FWS diberlakukan secara selektif dengan memperhatikan karakteristik dan kriteria pegawai, agar tujuan mewujudkan proses bisnis dan layanan yang  efektif dan efisien dari sisi biaya, mutu, dan waktu dapat terwujud. Penerapan konsep ini memerlukan integritas, profesionalisme dan tanggung jawab dari seluruh jajaran pegawai, baik pimpinan maupun bawahan.